Polusi Udara Jakarta, Apa Penyebabnya dan Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Kebijakan pemeliharaan udara di Jakarta tidak cukup bila hanya melihat dari segi panduan teknis, perlu juga untuk meningkatkan segi ilmiahnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 21 Des 2023, 13:20 WIB
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sigit Reliantoro dalam kegiatan Advancing Air Quality Science: Exchanging International Insights and Solutions di Westin Jakarta, Kamis (21/12/2023). (Tasha/Liputa6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sigit Reliantoro mengungkapkan bahwa polusi udara di Jakarta disebabkan oleh faktor yang kompleks.

Salah satunya karena masalah (wicked problem) yang melibatkan banyak kepentingan, sehingga investasi pada udara bersih teralihkan.

“Ada 3 tipe pencemaran udara di Indonesia. Pertama dari kebakaran hutan, kemudian dari wilayah perkotaan yang sebagian besar menggunakan kendaraan bermotor, dan daerah pembangkit listrik terutama PLTU,” ungkap Sigit dalam kegiatan Advancing Air Quality Science: Exchanging International Insights and Solutions di Westin Jakarta, Kamis (21/12/2023).

 

“Di Kalimantan Selatan (terjadi polusi) karena kebakaran lahan, kemudian di Sulawesi (polusi udara) juga terdeteksi dari kegiatan nikel yang sebagian besar masih menggunakan bahan baku dari fossil fuel,” Sigit membeberkan contoh.

Terkait kasus polusi udara di Jakarta, Sigit mengatakan, berkaitan dengan wicked problem atau masalah yang melibatkan banyak pemangku kepentingan, yang semuanya memiliki gagasan berbeda tentang apa sebenarnya masalahnya dan apa penyebabnya.

Wicked Problem dapat dianggap sebagal gejala dari masalah lain. Meskipun permasalahan-permasalahan bisa bersifat mandiri. Wicked Problem saling berkaitan dengan permasalahan-permasalahan lain. Namun, mereka tidak mempunyai satu akar permasalahan pun,” demikian paparan Sigit.

Wicked Problem merupakan masalah yang sulit didefinisikan, karena semua orang punya kepentingan, interest dan banyak orang yang menganggap air-udara sebagai barang yang bebas, barang gratis. Jadi banyak dari mereka menggunakan namun tidak banyak yang berinvestasi untuk memperbaikinya, jelas dia.

Sigit menyebut, kebijakan pemeliharaan udara di Jakarta tidak cukup bila hanya melihat dari segi panduan teknis, perlu juga untuk meningkatkan segi ilmiahnya.

Oleh karena itu, dibutuhkan terjalinnya kolaborasi. “Kita perlu belajar (penanganan polusi udara) dari Beijing (China) dan Korea Selatan. Sejauh ini kita telah berkolaborasi di tingkat Asia Tenggara,” bebernya.


Polusi Udara Bisa Hambat Tercapainya Indonesia Emas 2045

Suasana lalu lintas kendaraan di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (31/7/2019). Gubernur Anies Baswedan menyampaikan sistem pembatasan kendaraan berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap menjadi salah satu rencana Pemprov DKI mengatasi polusi udara di Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanan

Sebelumnya, kualitas udara memengaruhi cita-cita mencapai Indonesia Emas 2045. Pasalnya, menurut dokter spesialis anak Frida Soesanti, paparan polusi tidak hanya memengaruhi generasi masa kini.

Menurut dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu, pengaruh polusi cenderung luas termasuk pada ibu hamil, janin, dan generasi berikutnya.

“Dan itu akan muter terus circle-nya kalau kita nggak pernah setop. Nah, yang paling penting adalah apa sih yang mau kita berikan pada generasi yang akan datang. Kita mau ngasih lingkungan yang bagus atau kita mau kasih lingkungan yang amburadul?” kata Frida dalam Forum Menuju Indonesia Emas 2045: Dampak Kualitas Udara terhadap Manusia Indonesia di Jakarta, Jumat (24/11/2023).

Frida menambahkan, memberikan lingkungan yang bagus pada anak adalah bentuk pemenuhan hak anak.

“Supaya anaknya enggak cuman survive, kita enggak bicara soal survive doang tapi kita bicara bagaimana anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Masa depan Indonesia ada di generasi yang akan datang, bukan di kita,” jelas Frida.

Dalam penelitian, lanjut Frida, 26 persen kematian balita atau anak di bawah lima tahun sebetulnya bisa dicegah kalau semua pihak bisa memberikan lingkungan yang baik.


Angka Kematian Balita di Indonesia dan Potensi Jumlah Nyawa yang Bisa Diselamatkan

Frida juga menyampaikan, angka kematian anak di bawah lima tahun atau balita di Indonesia adalah 22 per 1.000.

“Saya ambil data Jakarta, di Jakarta anak balita 2,4 juta pada tahun 2022. Jadi, kalau kita lihat angka kematiannya 22 per 1.000, maka kira-kira 53.280 balita meninggal setiap tahunnya,” katanya dalam diskusi bersama Komunitas Bicara Udara.

Sementara, 26 persen kematian balita yang dapat dicegah adalah lebih kurang sepertiga dari jumlah tersebut. Dengan kata lain, jika semua pihak berhasil mengupayakan lingkungan yang baik salah satunya terkait polusi udara, maka jumlah balita yang bisa diselamatkan adalah 13.852 balita per tahun.

Frida menambahkan, anak adalah populasi rentan atas semua pengaruh termasuk pengaruh lingkungan.

Frida sebagai dokter endokrin kerap menemukan kasus anak-anak yang mengalami pubertas jauh lebih dini ketimbang anak-anak generasi dulu.

Ini bukan serta merta pengaruh keturunan, melainkan akibat epigenetik. Istilah epigenetik dikaitkan dengan perubahan ekspresi gen dalam tubuh yang dipengaruhi lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang memicu epigenetik adalah polusi.

“Sejak kapan polusi mengubah ekspresi dari gen kita? Kapan sebetulnya yang paling vulnerable? Mulai dari dalam kandungan, anak lahir, sampai remaja. Itu semuanya adalah fase yang sangat kritis untuk berkembang,” jelas Frida.

Infografis 10 Kota Dunia dengan Kualitas Udara yang Buruk akibat Polusi

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya