Liputan6.com, Jakarta - AI generatif dapat menjadi ancaman terhadap privasi, bahkan dengan praktik media sosial yang aman. Mahasiswa pascasarjana di Stanford University mengembangkan aplikasi bernama Predicting Image Geolocations (Pigeon) yang mampu menemukan lokasi seseorang dari latar belakang foto, bahkan hanya dari tampilan jalan.
Pigeon, menggunakan jaringan saraf CLIP dari OpenAI, dapat dengan akurat memprediksi negara yang digambarkan dalam foto dengan akurasi 92 persen.
Advertisement
Bahkan, AI ini dapat menentukan lokasi dalam jarak 25 kilometer dari lokasi target dengan tingkat keberhasilan lebih dari 40 persen.
Mengutip ZDNet, Selasa (26/12/2023), Pigeon awalnya dikembangkan sebagai proyek terinspirasi dari permainan GeoGuessr, di mana pemain menebak lokasi dari foto Google Street View.
Pigeon berhasil menempati peringkat 0,01 persen teratas di permainan tersebut dan bahkan mengalahkan pemain profesional GeoGuessr, Trevor Rainbolt, dalam pertandingan online yang disaksikan oleh lebih dari 1,7 juta penonton.
Cara kerja Pigeon melibatkan pelatihan dengan dataset mencakup 100.000 lokasi asli dari GeoGuessr dan 400.000 gambar yang mencakup seluruh "panorama" di lokasi tertentu.
Meskipun jumlah pelatihan Pigeon jauh lebih kecil dibandingkan model AI lainnya, seperti DALL-E 2 dari OpenAI, hasilnya tetap mengesankan.
Proyek serupa bernama Pigeotto dilatih dengan lebih dari empat juta foto dari Flickr dan Wikipedia untuk mengidentifikasi lokasi dari satu gambar. Kinerja Pigeotto bahkan mengungguli hasil sebelumnya dalam akurasi kota dan negara.
Meskipun teknologi ini memiliki potensi positif, seperti dalam pengemudi otonom dan investigasi visual, ada risiko pelanggaran privasi yang signifikan.
Para pengembang Pigeon menyadari implikasi etisnya dan memutuskan untuk tidak merilis model secara publik, hanya merilis kode untuk validasi akademis. Sebuah langkah yang menunjukkan kepedulian terhadap dampak potensial pada privasi pengguna.
Mengaku Tak Siap Sekolah, Sebagian Besar Mahasiswa Gunakan ChatGPT untuk Belajar
Di sisi lain, setelah kehilangan waktu belajar karena pandemi, banyak siswa merasa tidak siap untuk kembali ke sekolah. Laporan McGraw Hill menunjukkan 21 persen mahasiswa merasa tidak siap untuk melanjutkan studi mereka di perguruan tinggi. Jumlah ini meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya.
Menurut Edscoop, dikutip Rabu (1/11/2023), tren ini mengubah cara siswa mencari dukungan pembelajaran, dengan 80 persen siswa menggunakan ChatGPT dan media sosial seperti TikTok atau YouTube.
Namun, Justin Singh, kepala transformasi dan strategi McGraw Hill, menekankan bahwa masalah utamanya adalah penggunaan media sosial yang berlebihan untuk pembelajaran, hingga lebih dari lima jam dihabiskan di platform tersebut setiap minggunya.
Menurut laporan tersebut, meskipun sumber online seperti ChatGPT sangat disukai oleh siswa, sebagian besar guru dan siswa tidak benar-benar percaya pada tanggapan kecerdasan buatan (AI).
Kendati tidak percaya AI, sebanyak 46 persen profesor dan 39 persen mahasiswa menyatakan kepercayaan dapat ditingkatkan jika alat tersebut dikembangkan dan diperiksa oleh sumber akademis terpercaya.
Ketidakpastian ini juga mempengaruhi kesehatan mental siswa yang 56 persen dari mereka mengaku stres, dan 58 persen mengatakan kewalahan.
Profesor menyadari masalah ini, dan 90 persen mahasiswa setuju bahwa kesehatan mental adalah kunci keberhasilan mahasiswa. Beberapa bahkan mempertimbangkan untuk meninggalkan kuliah.
Meskipun banyak kampus telah menanggapi dengan membuka klinik di dalam kampus, akses ke layanan kesehatan mental tetap sulit, terutama karena pendidikan online semakin populer.
Survei yang dilakukan oleh McGraw Hill untuk memahami dampak pandemi menekankan betapa pentingnya menanggapi perubahan preferensi siswa dengan menggunakan teknologi menarik seperti ChatGPT dan media sosial sambil mempertahankan keakuratan dan kepercayaan.
Advertisement
Robot AI Jadi Asisten Kepala Sekolah di Inggris
Beralih ke sisi terang AI di dunia akademis, seorang kepala sekolah Cottesmore di Oakham Inggris, Tom Rogerson, mengungkapkan bahwa dia telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendapatkan nasihat dalam mengelola sekolahnya.
Melalui wawancara dengan The Telegraph, Rogerson menjelaskan bahwa AI ini, yang disebut 'Abigail Bailey', membantunya dalam berbagai aspek, mulai dari dukungan staf hingga penanganan masalah siswa dengan ADHD serta penyusunan kebijakan sekolah.
Abigail Bailey nama Robot AI ini beroperasi dengan cara yang mirip dengan Chat GPT, layanan AI online yang memungkinkan pengguna untuk mengajukan pertanyaan dan menerima jawaban dari algoritma chatbot.
Menurut Rogerson, prinsip AI telah dikembangkan dengan pengetahuan dalam bidang pembelajaran mesin dan manajemen pendidikan, termasuk kemampuan untuk menganalisis data dalam jumlah besar. Berikut selengkapnya Liputan6.com merangkum kisah kepala sekolah punya asisten AI, Rabu (18/10/2023).
Sekolah Cottesmore, yang telah menerima berbagai penghargaan, termasuk "Sekolah Persiapan Tahun Ini" dari Tatler, adalah lembaga asrama yang melayani anak laki-laki dan perempuan berusia antara empat dan 13 tahun.
"Terkadang memiliki seseorang atau sesuatu untuk membantu Anda adalah pengaruh yang sangat menenangkan. Senang rasanya memikirkan seseorang yang sangat terlatih siap membantu Anda mengambil keputusan,” ungkap Rogerson menjelaskan manfaat Robot AI.
Rogerson menekankan bahwa meskipun ide ini mungkin terdengar futuristik, Abigail Bailey telah terbukti efektif dalam memberikan saran mengenai berbagai masalah, termasuk bagaimana mendukung staf sekolah, penyusunan kebijakan sekolah, dan bahkan membantu siswa yang menderita ADHD.
Setahun ChatGPT, Makin Banyak Orang Minat Belajar Keterampilan AI Generatif
Sementara itu, platform pembelajaran online Udemy mengungkapkan, banyak orang Indonesia yang tertarik untuk mempelajari keterampilan kecerdasan buatan, dalam satu tahun sejak diluncurkannya ChatGPT.
Menurut Udemy, ketertarikan orang Indonesia terhadap artificial intelligence atau AI, terlihat dengan meningkatnya pendaftar kursus untuk keterampilan-keterampilan semacam ini di platform mereka.
Data Udemy yang dikumpulkan sejak peluncuran ChatGPT pada 30 November 2022 hingga 31 Oktober 2023, hampir 800 instruktur telah membuat dan mengunggah lebih dari 1.000 kursus terkait ChatGPT di platform itu.
Selain itu, mengutip siaran pers, Senin (4/12/2023) terdapat lebih dari 2,2 juta pendaftar kursus ChatGPT di Udemy, dengan lebih dari 26.000 pendaftar di Indonesia.
Udemy juga menyebut, instruktur mereka sudah mengajarkan kursus untuk ChatGPT dalam 25 bahasa termasuk Indonesia.
Jumlah pendaftar kursus untuk tools AI ini di Indonesia pun tercatat lebih banyak, daripada jumlah pendaftar di beberapa negara lain, seperti Australia dan Korea Selatan.
"Seiring dengan percepatan transformasi digital yang terjadi di pasar Indonesia, adopsi AI generatif menjadi semakin penting," ujar Giri Suhardi, Head of Indonesia di Udemy.
Menurut Giri, AI generatif bisa membantu perusahaan-perusahaan untuk berkembang, mulai dari membuat segala sesuatunya berjalan lebih cepat hingga memunculkan ide-ide baru.
"Ini bukanlah tren yang akan berlalu begitu saja, ini adalah alat yang harus dimiliki untuk menavigasi lika-liku pasar Indonesia dan memastikan bisnis terus bergerak maju," kata Giri menambahkan.
Advertisement