Islam Melarang Perbuatan Dusta, Kecuali dalam 3 Kondisi ini

Dusta atau bohong merupakan perbuatan yang dilarang. Namun ada 3 situasi yang diperbolehkan untuk berbohong dalam Islam, apa saja?

oleh Putry Damayanty diperbarui 22 Des 2023, 20:30 WIB
Ilustrasi kebohongan, bohong. (Image by rawpixel.com on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Bohong atau dusta merupakan perbuatan yang diharamkan. Ada beberapa dalil yang dapat dijadikan sebagai pedoman agar terhindar dari perbuatan yang Allah tidak disukai ini.

Salah satunya tertuang dalam firman-Nya yaitu QS. Al Isra ayat 36:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Dalam hukum Islam, tidak ada keringanan untuk berdusta kecuali sebab darurat atau kebutuhan yang mendesak. Hal itu pun dengan batas yang sangat sempit. Misalnya tidak ada lagi cara lain lain untuk mewujudkan tujuan yang baik selain harus berbohong.

Ada satu cara yang mirip dengan dusta tapi bukan dusta. Dalam kondisi ‘terdesak’, seseorang bisa menggunakan cara ini. Apakah itu? Berikut penjelasannya mengutip dari laman konsultasisyariah.com.

 

Saksikan Video Pilihan ini:


Ma’aridh atau Tauriyah

Ada satu cara untuk mewujudkan keinginan tanpa harus terjerumus pada perbuatan dusta, yaitu ma’aridh atau tauriyah. Bentuknya, seseorang menggunakan kata yang ambigu, dengan harapan agar dipahami lain oleh lawan bicara.

Sebagai contoh, disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

Suatu ketika Nabi Ibrahim pernah bersama istrinya Sarah. Mereka berdua melewati daerah yang dipimpin oleh penguasa yang zalim. Ketika rakyatnya melihat istri Ibrahim, mereka lapor kepada raja, di sana ada lelaki bersama seorang wanita yang sangat cantik –sementara penguasa ini punya kebiasaan, merampas istri orang dan membunuh suaminya– Penguasa itu mengutus orang untuk menanyakannya. “Siapa wanita ini?” tanya prajurit. “Dia saudariku.” Jawab Ibrahim. Setelah menjawab ini, Ibrahim mendatangi istrinya dan mengatakan,

يا سارة ليس على وجه الأرض مؤمن غيري وغيرك، وإن هذا سألني فأخبرته أنك أختي فلا تكذبيني

“Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan engkau anggap aku berbohong….”

Nabi Ibrahim ‘alahis salam dalam hal ini menggunakan kalimat ambigu. Kata “saudara” bisa bermakna saudara seagama atau saudara kandung. Yang diinginkan Ibrahim adalah saudara seiman/seagama, sementara perkataan beliau ini dipahami oleh prajurit, saudara kandung.

Inilah bohong yang dibolehkan, yakni bohong untuk mewujudkan kemaslahatan atau menghindari bahaya yang lebih besar. Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti Uqbah, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا

“Bukan seorang pendusta, orang yang berbohong untuk mendamaikan antar-sesama manusia. Dia menumbuhkan kebaikan atau mengatakan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)


3 Keadaan yang Diperbolehkan untuk Berbohong

Ketika ada dua kubu, A dan B yang berseteru, datang C. Dia sampaikan bahwa kepada A tentang B, yang membuat A ridha dan mau memaafkan kesalahan B, dan sebaliknya. Meskipun bisa jadi, C tidak pernah mendengarnya. Semua itu dalam rangka perdamaian. Demikian keterangan di Syarh Sunnah Al-Baghawi.

Dalam riwayat yang lain:

ولم أسمعه يرخص في شيء مما يقول الناس إلا في ثلاث: تعني الحرب، والإصلاح بين الناس، وحديث الرجل امرأته، وحديث المرأة زوجها.

“Belum pernah aku dengar, kalimat (bohong) yang diberi keringanan untuk diucapkan manusia selain dalam 3 hal: Ketika perang, dalam rangka mendamaikan antar-sesama, dan suami berbohong kepada istrinya atau istri berbohong pada suaminya (jika untuk kebaikan).” (HR. Muslim)

Yang dimaksud berbohong antar-suami istri adalah berbohong dalam rangka menampakkan rasa cinta, menggombal, dengan tujuan untuk melestarikan kasih sayang dan ketenangan keluarga. Seperti memuji istrinya hingga tersanjung, atau menampakkan kesenangan bersamanya sampai pasangannya tersipu malu.

Satu yang perlu diberi garis tebal, bukan termasuk bohong yang dibolehkan dalam hadis ini, berbohong untuk mengambil hak pasangannya atau lari dari tanggung jawab. Demikian keterangan An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Al-Hafidz ibnu hajar mengatakan,

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْكَذِبِ فِي حَقّ الْمَرْأَة وَالرَّجُل إِنَّمَا هُوَ فِيمَا لَا يُسْقِط حَقًّا عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهَا أَوْ أَخْذ مَا لَيْسَ لَهُ أَوْ لَهَا

“Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bohong antar-suami istri adalah bohong yang tidak menggugurkan kewajiban atau mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Fathul Bari, 5:300)

Sementara bohong ketika perang bentuknya dengan pura-pura menampakkan kekuatan atau menipu musuh dengan strategi perang dan seterusnya. Dan tidak termasuk bagian ini adalah mengkhianati perjanjian.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya