Liputan6.com, Washington, DC - Dewan Keamanan (DK) PBB telah meloloskan resolusi yang menyerukan pengiriman bantuan skala besar ke Jalur Gaza dalam upaya menahan ancaman kelaparan dan epidemi mematikan.
Namun, resolusi tidak menuntut penghentian permusuhan, sesuatu yang ditentang Amerika Serikat (AS). Selain itu, AS juga bersikeras menghapus klausul yang memberikan kendali eksklusif kepada PBB ats pengiriman bantuan kemanusiaan.
Advertisement
Sebaliknya, resolusi hanya menyerukan terciptanya kondisi untuk penghentian permusuhan yang berkelanjutan, penunjukan segera seorang koordinator kemanusiaan PBB untuk memimpin tugas meningkatkan aliran pasokan kemanusiaan ke Jalur Gaza, dan menuntut pihak-pihak yang terlibat -terutama yang merujuk ke Israel- memberikan kerja sama penuh kepada koordinator tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sendiri skeptis bahwa resolusi DK PBB tanpa klausul gencatan senjata akan menciptakan kondisi efektif bagi operasi bantuan.
"Saya berharap resolusi DK PBB hari ini dapat membantu meningkatkan penyaluran bantuan yang sangat dibutuhkan, namun gencatan senjata kemanusiaan adalah satu-satunya cara untuk mulai memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat di Gaza dan mengakhiri mimpi buruk mereka yang sedang berlangsung," tulis Guterres di media sosial.
"Banyak orang mengukur efektivitas operasi kemanusiaan di Gaza berdasarkan jumlah truk dari Bulan Sabit Merah Mesir, PBB, dan mitra kami yang diizinkan menurunkan bantuan melintasi perbatasan. Ini sebuah kesalahan."
Dia menambahkan, "Masalah sebenarnya adalah cara Israel melakukan serangan ini menciptakan hambatan besar terhadap distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza."
Melansir The Guardian, Sabtu (23/12/2023), voting untuk meloloskan resolusi telah ditunda empat kali sebelum rancangan resolusi yang telah disesuaikan pada Kamis (21/12) malam didukung AS.
Pada Jumat (22/12), semua anggota DK PBB memberikan suara mendukung resolusi yang digagas Uni Emirat Arab ini, kecuali AS dan Rusia, yang memilih abstain.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan pihaknya sangat mendukung resolusi, namun abstain karena tidak mengecam serangan Hamas pada 7 Oktober yang memicu perang saat ini.
"Kami sangat kecewa, sebenarnya terkejut, bahwa sekali lagi DK tidak dapat mengutuk serangan teroris Hamas yang mengerikan pada 7 Oktober. Dan saya tidak mengerti mengapa beberapa anggota DK menghalangi dan mengapa mereka menolak untuk mengutuk kejahatan ini dengan tegas," tutur Linda.
Sementara itu, Duta Besar Rusia Vasily Nebenzya menilai AS telah membuat resolusi tidak berdaya.
"Pada akhirnya, kata-kata yang diambil melalui pemungutan suara hari ini telah sangat dikebiri," kata Nebenzya, seraya menambahkan bahwa resolusi tersebut memberikan kebebasan penuh bagi pasukan Israel untuk bertindak.
"Siapapun yang memberikan suara mendukung ... akan memikul tanggung jawab atas hal itu, yang pada dasarnya menjadi terlibat dalam kehancuran Gaza."
Menjelaskan sikap abstain Rusia, dia mengatakan, "Jika dokumen ini tidak didukung oleh sejumlah negara Arab, tentu saja kami akan memvetonya."
AS dan Rusia merupakan dua dari lima anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto. Adapun anggota tidak tetap DK PBB terdiri dari 10 negara yang menjabat selama dua tahun.
Resolusi yang dilahirkan DK PBB mengikat secara hukum.
Israel: Resolusi terkait Bantuan Tidak Perlu
Perwakilan tetap Israel untuk PBB Gilad Erdan menyebut fokus resolusi pada mekanisme bantuan tidak perlu dan tidak sesuai dengan kenyataan.
"Israel sudah mengizinkan pengiriman bantuan dalam skala yang diperlukan," klaim Erdan.
Saat ini sekitar 200 truk bantuan memasuki Gaza setiap hari, yang menurut PBB dan lembaga bantuan lainnya merupakan persentase kecil dari apa yang dibutuhkan untuk populasi lebih dari 2,2 juta orang, di mana 90 persen di antaranya adalah pengungsi.
Pemungutan suara untuk meloloskan resolusi dilakukan ketika Israel memperluas serangan daratnya di Gaza. Mereka memerintahkan evakuasi baru di Bureij, sebuah kamp pengungsi perkotaan di sebelah barat jalur tersebut dan mengumumkan rencana untuk mengirim lebih banyak pasukan darat untuk berperang di selatan Khan Younis.
Kedua wilayah itu sebelumnya dinyatakan aman bagi warga sipil yang melarikan diri dari Gaza Utara. Warga Palestina yang selamat dari pengeboman udara selama berminggu-minggu kini terpaksa mengungsi ke wilayah yang semakin sempit di Gaza.
Sebelas minggu setelah perang Hamas Vs Israel meletus, hampir 85 persen penduduk Gaza telah mengungsi. Mereka kedinginan, kelaparan dan dilanda penyakit, berdesakan di tempat penampungan yang penuh sesak dan tenda-tenda pemukiman, di mana tidak ada air bersih dan sedikit sanitasi.
Sekitar seperempat populasi – setengah juta orang – sudah menghadapi bencana kelaparan dan dengan adanya blokade terhadap Gaza, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat dengan cepat.
Advertisement
Lebih dari 20.000 Warga Gaza Tewas Dibunuh Israel
James Denselow, kepala advokasi konflik dan kemanusiaan di Save the Children, mengatakan resolusi DK PBB seharusnya membantu membawa pasokan yang sangat dibutuhkan ke Jalur Gaza dengan menciptakan penyeberangan perbatasan baru dan koridor bantuan. Namun, kata Denselow, itu saja tidak cukup.
"Semuanya positif dan disambut baik, namun kita tidak boleh berkhayal bahwa komponen akses bantuan ini saja sudah cukup," ungkap Denselow.
Gaza, ujarnya, membutuhkan proses politik sehingga tidak lagi menjadi tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak, pekerja bantuan, petugas medis atau jurnalis.
"Kita bisa bicara soal penyeberangan perbatasan dan jumlah truk, tapi tidak ada gunanya kecuali truk-truk itu dan bantuan bisa disalurkan secara efektif di Gaza atau bisa aman di dalam Gaza, dan kita bisa membuat orang sampai ke (titik distribusi bantuan) dengan aman - tidak ada tanda-tanda itu semua maka saya merasa kita salah mengartikan persoalan utamanya," tutur Denselow.
Merespons resolusi DK PBB, Komite Penyelamatan Internasional mengatakan, "Dari sudut pandang kemanusiaan, kegagalan (DK PBB) dalam menuntut gencatan senjata segera dan berkelanjutan adalah hal yang tidak dapat dibenarkan."
Pada Jumat, otoritas kesehatan Jalur Gaza - wilayah yang dikelola Hamas - mengumumkan 20.057 orang tewas akibat serangan Israel sejak 7 Oktober. Mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Korban luka mencapai lebih dari 53.000 orang dan banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan perawatan.
Sistem kesehatan Jalur Gaza sungguh memprihatinkan, di mana hanya sembilan dari 36 rumah sakit yang masih berfungsi. Banyak yang menjadi sasaran serangan dan penggerebekan Israel.
Israel menyalahkan Hamas atas jatuhnya korban sipil dan menuduh Hamas menggunakan fasilitas seperti sekolah dan rumah sakit sebagai tameng untuk aktivitas militer.