Liputan6.com, Manama - Pemerintah Kerajaan Bahrain dilaporkan menangkapi para pengunjung rasa yang pro-Palestina. Anak-anak yang ikut unjuk rasa juga ikut ditangkap.
Hal itu diungkap oleh organisasi HAM Human Rights Watch (HRW). Yang ditangkap juga termasuk netizen pro-Palestina.
Advertisement
Dilansir Middle East Monitor, Senin (25/12/2023), HRW mencatat bahwa penangkapan itu terjadi setelah perang pada 7 Oktober 2023.
HRW mendapatkan data dari Americans for Democracy and Human Rights in Bahrain (ADHRB) bahwa ada setidaknya ada 57 orang yang ditangkap di Kerajaan Bahrain karena demo pro-Palestina. Setidaknya ada 25 pendemo di bawah umur yang ditangkap dan satu orang ditangkap karena postingan di media sosial.
Hingga Jumat kemarin, ada 36 orang yang belum dilepaskan, termasuk 23 anak-anak. HRW telah memverifikasi laporan penangkapan tersebut.
HRW menyebut Bahrain menggunakan "mesin represif" untuk membungkam suara unjuk rasa yang damai.
"Otoritas Bahrain telah mengaktifkan mesin represif mereka tidak hanya kepada kritikan damai terhadap pemerintahan otokratik mereka, tetapi juga terhadap rakyat Bahrain yang demonstrasi solidaritas dengan rakyat Palestina yang menghadapi pengeboman, kelaparan, dan apartheid," ujar Niku Jafarnia, peneliti HRW di Bahrain dan Yaman.
Niku juga berkata bahwa tindakan Bahrain yang turut menangkap pendemo anak-anak merupakan aksi yang merendahkan.
Lebih lanjut, ADHRB berkata orang-orang yang ditangkap menghadapi "siksaan psikologis dan fisik untuk secara paksa mengaku".
Salah satu ibu berkata bahwa putranya yang masih 15 tahun ikut ditangkap walau ia tidak ikut unjuk rasa. Wanita itu berkata putranya dan teman-temannya terbawa arus demo sehingga ikut ditangkap juga.
"Tidak ada alasan untuk menangkapnya," ujar wanita itu. "Penangkapan random ini menghancurkan masa depannya.
Sebagai catatan, Bahrain adalah satu satu negara Arab yang sudah melakukan normalisasi diplomasi dengan Israel melalui Abraham Accords dari pemerintahan Donald Trump. Tanda tangan normalisasi itu dilakukan di Gedung Putih pada 2020 lalu.
Pada November lalu, politisi-politisi di parlemen Bahrain dilaporkan berusaha agar normalisasi itu dibatalkan.
Perang di Jalur Gaza: 68 Warga Palestina Tewas dan Angka Kematian Tentara Israel Meningkat Selama Akhir Pekan
Dilaporkan sebelumnya, setidaknya 68 orang tewas akibat serangan Israel di kamp pengungsi Maghazi di Deir al-Balah, Gaza tengah, kata otoritas kesehatan pada Minggu (24/12/2023), sementara jumlah tentara Israel yang tewas dalam pertempuran selama akhir pekan meningkat menjadi 17 orang.
Menurut perhitungan awal rumah sakit, ke-68 korban jiwa termasuk sedikitnya 12 perempuan dan tujuh anak-anak.
"Kami semua menjadi sasaran," kata Ahmad Turokmani, yang kehilangan beberapa anggota keluarganya termasuk putri dan cucunya, seperti dilansir AP, Senin (25/12). "Lagi pula, tidak ada tempat yang aman di Gaza."
Perang Hamas Vs Israel terbaru yang dimulai sejak 7 Oktober, telah menghancurkan sebagian wilayah Gaza, menewaskan sekitar 20.400 warga Palestina, dan membuat hampir seluruh penduduk wilayah itu yang berjumlah 2,3 juta orang mengungsi.
Meningkatnya jumlah korban tewas di kalangan pasukan Israel – 156 orang sejak serangan darat dimulai – disebut dapat mengikis dukungan publik terhadap keberlangsungan perang.
Sebagian besar warga Israel masih mendukung tujuan negara tersebut untuk menghancurkan kemampuan pemerintahan dan militer Hamas serta pembebasan sisa sandera. Hal ini terjadi di tengah meningkatnya tekanan internasional atas serangan Israel dan melonjaknya angka kematian serta penderitaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di kalangan warga Palestina di Jalur Gaza.
"Perang ini menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kami, namun kami tidak punya pilihan selain terus berperang," kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Dalam pidato yang disiarkan secara nasional di televisi, Presiden Israel Isaac Herzog mengimbau negaranya untuk tetap bersatu.
"Momen ini adalah sebuah ujian. Kami tidak akan pecah atau berkedip," ujarnya.
Advertisement
Protes ke Netanyahu
Ada kemarahan yang meluas terhadap pemerintahan Netanyahu, yang banyak dikritik karena gagal melindungi warga sipil saat serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober dan mempromosikan kebijakan yang memungkinkan Hamas memperoleh kekuatan selama bertahun-tahun.
"Seiring berjalannya waktu, masyarakat akan sulit mengabaikan harga mahal yang harus dibayar, kecurigaan bahwa tujuan yang digembar-gemborkan masih jauh dari tercapai, dan bahwa Hamas tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah dalam waktu dekat," tulis Amos Harel, komentator urusan militer untuk surat kabar Haaretz.
Militer Israel mengklaim pihaknya telah menyelesaikan pembongkaran markas bawah tanah Hamas di Jalur Gaza Utara, bagian dari operasi untuk menghancurkan jaringan terowongan yang luas dan membunuh para komandan penting yang menurut para pemimpin Israel akan memakan waktu berbulan-bulan.
Di lain sisi, upaya menuju negosiasi, dilaporkan terus berlanjut. Pemimpin Jihad Islam Palestina, Ziyad al-Nakhalah, disebut berada di Mesir untuk tujuan itu. Kelompok militan tersebut, yang juga ambil bagian dalam serangan 7 Oktober, mengatakan pihaknya siap mempertimbangkan pembebasan sandera hanya setelah pertempuran berakhir.
Beberapa hari sebelumnya, pemimpin tertinggi Hamas Ismail Haniyeh telah melakukan perjalanan ke Kairo untuk upaya serupa.
Kekejian Israel Belum Berhenti
Serangan Israel telah menjadi salah satu aksi militer paling dahsyat dalam sejarah modern. Otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa lebih dari dua pertiga dari 20.000 warga Palestina yang terbunuh adalah perempuan dan anak-anak.
Pada Jumat (22/12), serangan udara Israel terhadap dua rumah di Gaza menewaskan 90 warga Palestina. Serangan ke salah satu rumah, yang terletak di Kota Gaza, tercatat menjadi salah satu yang paling mematikan dalam perang ini, di mana menurut juru bicara Departemen Pertahanan Sipil Gaza Mahmoud Bassal, 76 orang keluarga al-Mughrabi tewas dalam tragedi itu.
Dalam peristiwa terpisah, Bulan Sabit Merah Palestina menuturkan seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dibunuh oleh serangan pesawat tak berawak Israel saat berada di dalam Rumah Sakit al-Amal di Khan Younis, yang diyakini militer Israel sebagai tempat persembunyian para pemimpin Hamas.
Setidaknya dua orang tewas dan enam lainnya luka-luka setelah sebuah rudal menghantam bangunan di kamp pengungsi Bureij di Gaza tengah.
Pengeboman besar-besaran dan tembakan Israel dilaporkan juga terjadi di Jabaliya, wilayah di utara Kota Gaza yang diklaim Israel telah mereka kendalikan.
Israel menghadapi kecaman internasional atas jumlah korban sipil yang tewas, namun mereka menyalahkan Hamas, dengan alasan kelompok militan tersebut memanfaatkan kawasan permukiman padat dan terowongan. Selain itu, Israel juga menghadapi tuduhan menganiaya pria dan remaja Palestina yang ditahan di rumah, tempat penampungan, rumah sakit, dan tempat lain selama perang.
Mereka membantah tuduhan tersebut dan mengaku mereka yang tidak memiliki hubungan dengan kelompok militan akan segera dibebaskan.
Berbicara kepada AP dari ranjang rumah sakit di Rafah setelah pembebasannya, Khamis al-Burdainy dari Kota Gaza mengisahkan bagaimana pasukan Israel menahannya setelah tank dan buldoser menghancurkan sebagian rumahnya. Dia mengatakan dirinya diborgol dan ditutup matanya bersama dengan sejumlah pria lainnya.
"Kami tidak tidur. Kami tidak mendapatkan makanan dan air," kata dia sambil menangis.
Tahanan lain yang dibebaskan, Mohammed Salem, dari lingkungan Shijaiyah di Kota Gaza, mengatakan pasukan Israel memukuli mereka.
"Kami dipermalukan," ujarnya. "Seorang tentara wanita akan datang dan memukuli seorang lelaki tua berusia 72 tahun."
Baca Juga
Tempati Posisi 3 Klasemen Kualifikasi, Begini Peluang Timnas Indonesia Lolos ke Piala Dunia 2026
Erick Thohir Tentang Lokasi Kandang Timnas Indonesia untuk Lawan Bahrain: SUGBK Masih yang Terbaik
Hasil Kualifikasi Piala Dunia 2026: Timnas Indonesia Kalah 0-4 dari Jepang, Lebih Baik dari Bahrain dan China
Advertisement