Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada para pendukungnya bahwa dia tengah berupaya menemukan negara-negara yang siap "menyerap" warga Palestina dari Jalur Gaza.
Surat kabar Israel Hayom mengatakan Netanyahu melontarkan pernyataan tersebut dalam pertemuan Partai Likud pada Senin (25/12/2023).
Advertisement
"Masalah kita adalah negara-negara yang siap menyerap mereka dan kami sedang berupaya mengatasinya,” kata Netanyahu, seperti dilansir Middle East Eye, Rabu (27/12).
"Dunia sudah mendiskusikan kemungkinan imigrasi sukarela."
Netanyahu dilaporkan menambahkan, "Sebuah tim harus dibentuk untuk memastikan mereka yang ingin meninggalkan Gaza ke negara ketiga dapat melakukannya. Hal ini perlu diselesaikan. Hal ini memiliki dampak strategis penting pasca perang."
Ucapannya selaras dengan pernyataan tokoh senior Partai Likud lainnya. Mantan menteri dari Partai Likud Danny Danon, misalnya, secara terbuka menyerukan negara-negara Barat untuk menerima pengungsi dari Gaza.
Warga Palestina telah lama mengatakan bahwa serangan membabi buta Israel saat ini ke Jalur Gaza bertujuan mengusir mereka secara permanen. Sebuah kemungkinan yang mengingatkan kita pada Nakba tahun 1948, ketika milisi Zionis mengusir lebih dari 700.000 warga Palestina dari tanah air mereka untuk memberi jalan bagi berdirinya Israel.
Strategi militer Israel juga diyakini bertujuan membuat Gaza tidak dapat dihuni dengan menghancurkan apa pun yang menopang kehidupan, dengan harapan bahwa warga Palestina akan "secara sukarela" meninggalkan wilayah tersebut.
Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara-negara Timur Tengah pada khususnya telah menolak pembersihan etnis secara paksa di Jalur Gaza, namun Israel telah melanggar garis merah yang ditetapkan oleh negara-negara tersebut sebelumnya dengan dampak yang kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.
Kemungkinan tujuan eksodus tersebut mencakup Mesir, Yordania, dan negara-negara Barat. Namun, Mesir dan Yordania dengan tegas menolak menerima warga Palestina di perbatasan mereka.
Pertempuran Terus Berlanjut
Laporan tentang pernyataan Netanyahu muncul ketika militer Israel mengatakan mereka telah menyerang lebih dari 100 sasaran dalam 24 jam, termasuk situs militer dan terowongan di Jabalia tengah dan Khan Younis di Gaza Selatan, ketika pertempuran darat yang sengit terus berlanjut.
Seorang saksi dari Khan Younis mengatakan kepada Middle East Eye bahwa Israel telah mengintensifkan pengeboman terhadap kota tersebut dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Senin malam. Militer menargetkan rumah-rumah warga sipil dan infrastruktur perumahan, termasuk di sekitar Rumah Sakit Nasser di Khan Younis.
"Pengeboman tidak berhenti di malam hari. Peluru-peluru menghantam di dekat kami," kata Younis al-Hallaq.
Otoritas kesehatan Jalur Gaza pada Selasa (26/12) mengumumkan, setidaknya 20.915 orang tewas dan 54.918 lainnya terluka akibat serangan Israel sejak 7 Oktober.
Dikutip dari AP, militer Israel sejauh ini mencatat 161 kematian anggotanya sejak serangan darat mereka berlangsung.
Tujuan utama dari serangan Israel yang sedang berlangsung adalah membunuh pemimpin Hamas Yahya Sinwar, yang diyakini bersembunyi di sistem terowongan di Gaza.
Namun, salah satu pemimpin utama militer mengklaim bahwa diperlukan waktu hingga 10 tahun untuk menemukannya. Menurut harian Israel, Yedioth Ahronoth, Kepala Staf Israel Herzi Halevi menyampaikan pernyataan tersebut dalam percakapannya dengan seorang anggota kabinet.
Advertisement
Israel Berperang di Banyak Front
Ketika Israel melanjutkan serangan brutalnya di Gaza, Israel juga berkonfrontasi dengan Iran setelah membunuh seorang anggota tingkat tinggi Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) dalam serangan udara di Damaskus pada Senin.
Seyyed Razi Mousavi adalah penasihat senior di IRGC yang mengoordinasikan berbagai faksi yang bersekutu dengan Iran di Suriah. Iran telah memperingatkan Israel bahwa mereka akan menanggung akibat yang besar atas pembunuhan tersebut.
Dalam front lainnya, gerakan Hizbullah yang didukung Iran terus melakukan baku tembak dengan Israel di perbatasan selatan Lebanon.
Pekan ini Netanyahu menolak laporan Wall Street Journal yang mengatakan Presiden AS Joe Biden telah mencegah Israel menyerang Hizbullah terlebih dahulu.
"Saya telah melihat publikasi palsu yang mengklaim bahwa AS telah mencegah dan menghalangi kami melakukan operasi operasional di wilayah tersebut," kata Netanyahu. "Ini tidak benar. Israel adalah negara berdaulat. Keputusan kami dalam perang didasarkan pada pertimbangan operasional dan saya tidak akan menjelaskannya lebih lanjut."
Masuknya Hizbullah ke dalam konflik yang sedang berlangsung telah menjadi bahan spekulasi sejak serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober.