Liputan6.com, Jakarta - Pada Oktober 2023, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi berbangga karena Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Bahkan, Indonesia disebut meraih suara tertinggi dalam voting.
Indonesia mengusung tema "Inclusive Partner for Humanity" sebagai anggota Dewan HAM PBB. Ini merupakan keenam kalinya Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB.
Advertisement
"Terpilihnya Indonesia sebagai Dewan HAM yang ke-enam kalinya, dan kali ini memperoleh suara terbanyak, merupakan wujud trust yang diberikan bagi Indonesia untuk terus dapat berkontribusi bagi pemajuan dan pelindungan HAM," pungkas Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam pernyataan pers pada Oktober lalu.
Kemlu RI juga menegaskan bahwa tidak boleh ada tertinggal dalam penegakkan HAM.
Satu bulan kemudian, ratusan warga Rohingya datang ke Indonesia melalui jalur laut.
Kedatangan pengungsi Rohingya ternyata menghadapi penolakan warga Aceh. Para mahasiswa pun sampai turun ke jalan untuk menolak Rohingya.
Kemlu RI berkata Indonesia tetap menerima Rohingya sebagai negara yang beradab, namun mengingatkan bahwa Indonesia -- yang notabene anggota Dewan HAM PBB -- tidak pernah menadantangani konvensi pengungsi.
"Sebagai negara beradab, Indonesia memiliki kewajiban moral dan kewajiban kemanusiaan dan itulah yang dilakukan. Sehingga hampir semua pendatang yang masuk dari Cox's Bazar dalam periode November-Desember, tidak ada yang diusir. Semuanya diterima masuk ke wilayah Indonesia," ujar Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal seperti dikutip VOA Indonesia, Kamis (28/12/2023).
Meski diterima, media lokal dan internasional telah memberitakan gelombang penolakan Rohingya di Indonesia.
Pemerintah Dianggap Tak Serius
Dilaporkan VOA Indonesia, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Faudzan Farhana kepada VOA mengatakan penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia selama ini seperti diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah, lanjutnya, tidak pernah serius menangani persoalan tersebut.
“Ya pasti akan ada risiko seperti yang terjadi belakangan ini, bahwa masyarakat biar bagaimanapun ketika memberikan bantuan sebisa mereka, sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara masyarakat di Aceh, kita tahu kondisi mereka seperti apa. Saya melihat reaksi penolakan belakangan ini semacam bara dalam sekam yang selama ini menunggu untuk terbakar," ungkapnya.
Farhana menyebutkan kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia bukan hal baru dan pemerintah sebenarnya sudah memiliki Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi Rohingya yang datang dari laut. Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa pada pelaksanaannya mulai tingkat pusat hingga daerah penanganan pengungsi Rohingya tidak berjalan baik.
"Kekurangannya di perpres itu hanya mengatur soal penanganan darurat. Kalau ada (pengungsi Rohingya) ditolong dulu, dikasih makan, dikasih baju, dikasih minum. Tapi setelah itu bagaimana, nggak diatur. Dibentuk satgas untuk mengerjakan itu. Namun, satgas tidak dibekali dengan dana khusus untuk memberi makan," kata Farhana.
Advertisement
Diskusi dengan Myanmar
Untuk menyelesaikan akar permasalahan itu, Farhana mengatakan Indonesia sedianya mendesak Myanmar sebagai negara asal pengungsi Rohingya untuk duduk bersama negara-negara yang kini kedatangan pengungsi itu, yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Selain memperkuat pembahasan di tingkat pejabat senior ASEAN, perlu juga memperluas mandat dari Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan ASEAN dalam Penanggulangan Bencana (Asean Coordinating Centre For Humanitarian Assistance/AHA Center) yang selama ini hanya memberikan bantuan kemanusiaan terhadap korban bencana alam. AHA Center sedianya dapat juga menangani bencana akibat perang, termasuk penanganan pengungsi Rohingya.
Pada level nasional Indonesia, lanjut Farhana, pemerintah tidak bisa hanya melakukan penanganan darurat dan menyerahkan kepada IOM atau UNHCR, tetapi ikut juga membantu dana penanganan pengungsi ini.
Bagi Indonesia yang baru saja terpilih untuk keenam kalinya dengan suara tertinggi sebagai anggota Dewan Hak-hak Asasi Manusia (HAM )PBB 2024-2026, penanganan pengungsi Rohingya sedianya menjadi peluang untuk mewujudkan perannya terhadap kemanusiaan dan HAM saat ini. Meskipun di saat bersamaan, isu ini juga dapat menjadi batu sandungan bagi langkah diplomasi ke depan.
Untuk itu Faudzan Farhana menilai sudah saatnya merevisi Perpres 125 dengan melengkapi perlindungan HAM, baik kepada pengungsi yang ditangani maupun aktor-aktor pelaksana penanganan pengungsi di lapangan.
Perdagangan Manusia
Farhana menjelaskan dalam praktiknya penanganan darurat pengungsi Rohingya diserahkan kepada Organisasi Migrasi Internasional (International Organization for Migration/IOM) dan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) urusan Pengungsi (United Nations High Commissioner For Refugees/UNHCR).
Menurutnya, penanganan pengungsi Rohingya sedianya dilakukan di dua level, yaitu di akar persoalan yang membuat etnis minoritas ini tidak diakui di negaranya sendiri, dipersekusi dan dipaksa keluar dari Myanmar dan di level nasional Indonesia sendiri.
Sementara, Fakta di lapangan menunjukkan indikasi sangat kuat pengungsi Rohingya menjadi korban sindikat perdagangan manusia. Indonesia, ujar Iqbal, sebagai penandatangan konvensi anti-perdagangan manusia mempunyai kewajiban untuk mencegah dan memerangi kejahatan perdagangan manusia, khususnya dalam kasus pengungsi Rohingya karena mereka yang menjadi korban.
Seorang pengungsi Rohingya berinisial MA, telah ditetapkan oleh Polresta Banda Aceh sebagai tersangka kasus perdagangan manusia. Ia terbukti aktif mengajak para pengungsi Rohingya di kamp Cox's Bazar Bangladesh untuk ikut berlayar ke Aceh, dengan meminta bayaran Rp 14-16 juta per orang. Polisi masih menelusuri keterlibatan pihak lain, termasuk warga di dalam Indonesia sendiri, yang terlibat dalam perdagangan manusia ini.
Advertisement