Liputan6.com, Jakarta - Adalah Alon Ysan Cohen, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) asal Israel yang menyuarakan ketidaksetujuannya pada serangan militer negaranya di Gaza. Dalam serangan yang telah berlangsung selama lebih dari dua bulan, ribuan perempuan dan anak-anak Palestina telah terbunuh.
Cohen mengatakan pada Anadolu, dikutip dari situs webnya, Kamis (28/12/2023), "Saya mengikuti apa yang terjadi di Gaza. Saya melihat penderitaan, saya melihat pembunuhan, saya melihat pembantaian. Sekitar 20 ribu orang (Palestina) telah terbunuh, bahkan mungkin lebih banyak lagi, dan ini menghancurkan hati saya."
Advertisement
"Ini mengerikan! Saya pikir kita harus segera menghentikannya. Saya yakin ini tidak manusiawi. Kita perlu menghentikan penderitaan di Gaza," desaknya.
Cohen, yang berbagi pandangan di media sosial Facebook dan Instagram, menyambung, "Hanya karena pandangan saya (yang bersimpati pada warga Palestina), saya menerima sejumlah ancaman pembunuhan di kotak masuk saya, sederet kecaman, dan penghinaan pribadi yang sangat buruk."
"Ini sangat membuat saya takut ketika mengutarakan pendapat saya, tapi saya akan tetap melakukannya," tegas dia. "Beberapa minggu lalu, ketika saya menentang perang, saya menerima ancaman pembunuhan lagi di kotak masuk saya."
"Jadi, berbicara saat ini sangat menakutkan bagi saya, namun saya tetap merasa penting untuk bersuara menentang perang. Karena sangat sedikit orang di Israel yang saat ini bersuara menentang perang tersebut. Saya ingin jadi salah satu dari mereka. Saya ingin mengatakan bahwa inilah waktunya bagi dunia untuk menentang (perang)," tambah aktivis HAM Israel itu.
Tidak Sendirian
Cohen menegaskan bahwa satu-satunya solusi terhadap masalah ini terletak pada dialog dan negosiasi. "(Perang) menimbulkan penderitaan bagi warga Palestina, membawa lebih banyak kekerasan di sini (ke Israel), membawa lebih banyak kebencian, dan menyebabkan tempat ini semakin gelap," ucapnya.
"Kami, kita semua, harus menghentikan tren menuju kegelapan yang lebih besar ini," katanya lagi. "Kita harus berbicara, mencari solusi, dan mencari cara menjadikan tempat ini lebih baik bagi semua orang. Kita harus menemukan cara agar semua orang bisa hidup setara, bersama, damai, dan adil."
Cohen tidak sendirikan, karena ada Jonathan Gabinovic (19) yang berpartisipasi dalam demonstrasi anti-perang di Tel Aviv. Ia adalah salah satu aktivis HAM Israel yang bersuara menentang serangan Israel yang sedang berlangsung di Gaza.
Gabinovic mengatakan, sebagai seorang Yahudi yang tinggal di Israel, sangat sulit menentang perang dan pembunuhan warga sipil karena tekanan masyarakat. "Dalam beberapa tahun terakhir, saya semakin terpapar dengan konflik Israel-Palestina. Saya telah melihat orang-orang Palestina, saya telah melihat penderitaan mereka, dan perang ini benar-benar tidak tertahankan," ujar dia.
Ia menekankan bahwa rasa sakit yang ditimbulkan tentara Israel tidak hanya terbatas di Gaza saja, mengingat ia menerima pesan dari seorang teman Palestina yang tinggal di Tepi Barat. "Ia mengatakan bahwa anak temannya ditembak di kepala oleh tentara Israel, bukan di Gaza, tapi di Tepi Barat. Ini adalah kejahatan, ini adalah kejahatan perang."
Advertisement
Hadapi Banyak Tekanan
Gabinovic mengatakan, banyak masyarakat Israel yang sebelumnya beraliran kiri kini mendukung partai sayap kanan akibat perang ini. "Mereka berkata, 'Saya berharap saya masih jadi sayap kiri, tapi perang ini tidak tertahankan, dan saya harus jadi sayap kanan sekarang. Saya harus mendukung partai saya dan rakyat saya.'"
"Ada banyak tekanan dari keluarga, orang-orang secara umum, polisi, tentara, siapapun yang berbicara bahasa Ibrani, dan semua orang yang tinggal di sini. Bagi saya, hidup sekarang adalah salah satu periode paling menantang yang pernah saya lalui."
Ia melanjutkan, "Saya telah melihat banyak kematian sepanjang hidup saya, tapi ini adalah sesuatu yang benar-benar baru dan mengerikan. Saya tidak bisa mengungkap betapa muaknya saya dengan apa yang dilakukan negara saya atas nama demokrasi."
"Kami membunuh anak-anak atas nama demokrasi, dan ini sangat mengerikan. Saya tidak dapat menemukan kata-kata untuk menggambarkan hal ini di dalam hati saya. Sungguh memilukan, saya sangat menderita, dan jika saya mengatakan bahwa saya mendukung Palestina, saya akan dibungkam, diancam, atau diserang di jalanan."
"Orang-orang di Tel Aviv bergerak di sekitar kota dengan senjata seperti militan. Israel berada di bawah komando militan M16 pimpinan Ben-Gvir, dan ini sangat menakutkan. Saya tidak bisa pergi ke kota saya sendiri tanpa (melihat) orang-orang membawa senjata. Semua orang yang saya lihat sekarang memegang senjata."
"Proses mendapatkan izin senjata sangat mudah karena mereka ingin darah, mereka ingin kekacauan, mereka ingin kontrol, mereka ingin kekuasaan," tambahnya.
Tidak Dimulai pada 7 Oktober 2023
Gabinovic menekankan bahwa konflik antara Israel dan Palestina tidak dimulai pada 7 Oktober 2023, dan diperparah dengan naiknya kekuasaan Perdana Menteri Israel Binyamin Netanyahu dan menteri paling radikal di kabinet, Itamar Ben-Gvir.
"Mereka telah menindas warga Palestina selama beberapa dekade. Mereka tidak mendengarkan kami dan penderitaan kami. Ini sangat sulit. Saya tidak tahu bagaimana hidup di sini, dan saya tidak tahu bagaimana mengatakan, 'Saya bersama kalian' pada keluarga saya, teman-teman (Palestina)."
"Saya tidak bisa berbicara dengan mereka karena kengerian yang mereka alami. Saya mencoba, tapi sangat sulit untuk berbicara dengan mereka. Teman-teman Palestina saya saat ini sedang dikepung," tambahnya.
Mengkritik dukungan yang diberikan AS pada Israel, Gabinovic mengatakan, "AS mengirim lebih banyak uang ke sini, ke Timur Tengah, dan mengirim kapal induk nuklir untuk mengancam dan seharusnya melindungi demokrasi (Israel). Ini sangat mengejutkan. Ini adalah perang proksi dan itu sulit dipercaya."
Ketika ditanya apakah ia masih memiliki harapan untuk perdamaian setelah semua peristiwa ini, ia berkata, "Saya ingin percaya masih ada harapan dan bahwa saya bisa hidup damai dengan negara-negara dan masyarakat lain. Namun, saat ini, ada masa yang sangat kelam di dunia."
Advertisement