Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menerangkan komitmen dan upaya yang digencarkan Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Ia menyebut bahwa 2023 menjadi salah satu tahun yang paling menantang dalam konteks pengendalian perubahan iklim.
"Khususnya di tahun ini, di bulan Juli, kita mengalami hari terpanas sejak 1940," kata Laksmi dalam "Refleksi Akhir Tahun 2023 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" yang digelar secara hybrid, Kamis (28/12/2023).
Advertisement
Ia mengungkapkan bahwa ada 11 provinsi di 2023 yang rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), khususnya di daerah Sumatera Selatan, Kalimatan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Akhir 2022 lalu, pihaknya juga mendeteksi ada musim kemarau yang panjang di 2023.
"Jadi kita sudah lakukan teknologi modifikasi cuaca atau hujan buatan dengan durasi (Riau 62 hari, Jambi 28 hari, Sumsel 66 hari, Kalbar 37 hari, Kalteng 34 hari, Kalsel 34 hari, total hari 266, NaCl 42,48 ton)," tambahnya.
Upaya lain yang dilakukan adalah dengan patroli di 264 desa, bekerja sama dengan ragam pihak, termasuk Masyarakat Peduli Api. "Intinya adalah kita menjaga agar risiko kebakaran lahan dan hutan yang merupakan kontributor terbesar dari emisi gas rumah kaca di Indonesia bisa dikendalikan," tutur Laksmi.
Pihaknya juga mencoba membandingkan karhutla di 2019 dan 2023. "Karena kondisi pengaruh El Nino relatif hampir sama, 2023 lebih kering dibanding 2019, tapi Alhamdulillah kita bisa menekan kebakaran hutan dan lahan jauh lebih kecil dibanding 2019," tambahnya.
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
"Kita bisa menurunkan 30,80 persen dibanding dengan kondisi El Nino yang sama atau bahkan lebih tinggi di tahun 2019," ungkap Laksmi.
Lantas, bagaimana implikasinya kepada emisi gas rumah kaca? Laksmi menyebut bahwa bila dibandingkan dengan kondisi business as usual, Indonesia bisa mengurangi sebesar 42 persen emisi gas rumah kaca di 2022.
"Kita jauh melebihi target yang kita tentukan, di 2023 masih kita hitung. Profil emisinya tidak hanya dari karhutla, tapi juga dari limbah, pertanian, industri, dan dari sektor energi," tuturnya.
Selain pengurangan emisi gas rumah kaca, KLHK juga mengungkap upaya peningkatan kapasitas ketahanan terhadap dampak-dampak negatif perubahan iklim. Hal tersebut diwujudkan melalui program yang disebut ProKlim.
"Tahun 2023 kita juga mencatat era baru dari ProKlim, di mana program Kampung Iklim sudah berubah menjadi program Komunitas untuk Iklim. Jadi tidak hanya di kampung, tapi juga di semua tempat dan semua komunitas akan berkontribusi," katanya.
Advertisement
Kurangi Konsumsi Bahan Perusak Ozon
"Tahun ini kita bisa meningkatkan jumlah site atau ProKlim sebanyak 2.490 site baru di 2023," terang Laksmi.
Tahun ini juga disebutnya akan membuka era baru untuk emisi gas rumah kaca. "Kita sedang menyusun dokumen baru, di mana akan ada emisi gas rumah kaca baru yang akan kita atur, salah satunya adalah hidrofluorokarbon (HFC) melalui Amendemen Kigali Montreal Protocol," katanya.
"Kita sudah ratifikasi di awal tahun dan di akhir tahun ini licensing-nya, pelarangan dan pengurangan konsumsi dan ekspor atau impor bahan HFC sudah dilakukan melalui Kementerian Perdagangan," tambahnya.
Dikatakan Laksmi, bahan perusak ozon HFC mempunyai global warming potential. "Jadi pada saat kita mengurangi konsumsi bahan perusak ozon, otomatis kita akan mengurangi emisi gas rumah kaca," terangnya.
Ia menambahkan, "Jadi InsyaAllah tahun 2024, kita akan punya pengurangan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih besar dengan tambahannya mengurangi bahan perusak ozon atau konsumsi bahan perusak ozon."
ProKlim, Program Komunitas Untuk Iklim
Dikutip dari laman PPID KLHK, Kamis (28/12/2023), KLHK melalui ProKlim mendorong upaya aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak. Melalui ProKlim diharapkan upaya peningkatan ketahahan terhadap dampak negatif perubahan iklim sekaligus pengurangan emisi gas rumah kaca atau GRK dapat dilakukan mulai dari tingkat tapak.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pada "Peresmian Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RK2IK)", 23 Oktober 2023, menyampaikan bahwa Program Kampung Iklim (ProKlim) bertransformasi menjadi program yang berbasis komunitas. Selama ini masyarakat mengenal ProKlim sebagai program yang memberikan pengakuan terhadap partisipasi aktif masyarakat dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun, pada Penghargaan ProKlim 2023 pada 24 Oktober 2023, ProKlim bertransformasi menjadi Program Komunitas untuk Iklim. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih mendorong berbagai pemangku kepentingan dalam melakukan aksi adaptasi dan mitigasi di tingkat tapak.
ProKlim tidak hanya mencakup aksi pengendalian perubahan iklim berbasis wilayah administrasi tetapi juga akan mencakup berbagai aksi yang dilakukan berbagai komunitas. Diharapkan upaya peningkatan ketahanan terhadap dampak negatif perubahan iklim sekaligus pengurangan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan mulai dari tingkat dasar.
Advertisement