Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham China absen pada pesta bursa saham global pada 2023. Sejumlah faktor mulai dari krisis real estate hingga tingginya pengangguran kaum muda telah berdampak terhadap bursa saham China.
Dikutip dari CNN, Sabtu (30/12/2023), meski 2023 merupakan tahun terbaik bagi bursa saham global sejak sebelum pandemi COVID-19 dengan pasar di Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan India menikmati reli yang kuat, investor semakin melirik China.
Advertisement
Serangkaian masalah termasuk krisis real estate, belanja konsumen yang melemah dan tingginya pengangguran kaum muda telah membuat China tidak berada dalam posisi yang menguntungkan.
Indeks saham blue chip CSI 300 China turun lebih dari 11 persen pada 2023. Sementara itu, indeks Hang Seng di Hong Kong merosot hampir 14 persen. Sementara itu, indeks MSCI World menguat 22 persen, dan catat pertumbuhan terbesar tahunan sejak 2019.
Indeks S&P 500 di Amerika Serikat dan indeks Stoxx 600 di Eropa masing-masing naik hampir 25 persen dan 13 persen pada akhir 2023. Indeks Nikkei 225 di Jepang telah melonjak 30 persen sejak awal tahun. Indeks acuan Sensex yang berisi 30 perusahaan besar telah naik hampir 19 persen pada 2023.
Saham-saham telah kembali bangkit berkat turunnya inflasi, meningkatkan harapan investor kalau bank sentral dunia akan segera menurunkan suku bunga, serta euforia atas potensi kecerdasan buatan yang dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan.
Di sisi lain, India memperoleh keuntungan dari spekulasi bullish terhadap perekonomiannya. Sedangkan saham di Jepang sebagian diuntungkan oleh valuasi yang relatif murah dan melemahnya mata uang.
Ekonomi China Belum Pulih
Namun, meskipun kebijakan lockdown ketat akibat COVID-19 sudah ditinggalkan pada akhir 2022, ekonomi China belum mencatat pemulihan kuat seperti yang diharapkan oleh banyak investor.
Di antara berbagai tantangan yang ada, lesunya permintaan telah membatasi harga konsumen hampir sepanjang 2023 dan terdapat risiko deflasi. Perusahaan-perusahaan asing juga semakin waspada terhadap meningkatnya pengawasan pemerintahan China dan meninggalkan negara tersebut.
Prospek jangka panjangnya juga tidak bagus. Pada November, Dana Moneter Internasional atau the International Monetary Fund (IMF) prediksi tingkat pertumbuhan China akan mencapai 5,4 persen pada 2023, dan secara bertahap turun menjadi 3,5 persen pada 2028 karena perekonomiannya bergulat dengan masalah mulai dari produktivitas yang lemah hingga populasi yang menua.
"Tantangan tahun 2024 bagi perekonomian China bukan pertumbuhan PDB yang kemungkinan akan berada di atas 4,5 persen," ujar Senior Fellow the American Enterprise Institute, Derek Scissors.
Advertisement
Harga Minyak Merosot
Ekonomi China yang sulit telah mendorong koreksi harga minyak pada 2023. Harga minyak Brent turun hampir 9 persen pada 2023 dan diperdagangkan sekitar USD 78 per barel.
Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) yang menjadi patokan Amerika Serikat turun lebih dari 10 persen menjadi sekitar USD 72 per barel.
Sebagai importir minyak terbesar di dunia, 71 persen minyak yang dikonsumsi berasal dari luar negeri, tanda-tanda melemahnya permintaan di China telah memicu aksi jual oleh investor. Rekor tingkat produksi minyak di Amerika Serikat pada 2023 juga berperan besar dalam mendorong penurunan harga itu.
The US Energy Information Administration prediksi produksi minyak mentah akan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa yakni rata-rata 12,9 juta barel per hari pada 2023 dan mencapai rekor rata-rata lainnya 13,1 juta barel per hari pada 2024.
Awal bulan ini, Goldman Sachs memangkas perkiraan rata-rata harga minyak pada 2024 sebesar 12 persen seiring melimpahnya produksi AS.
Harga telah turun meskipun the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan sekutunya yang dikenal sebagai OPEC+ akan memperpanjang mengurangi pasokan sebesar 2,2 juta barel per hari hingga kuartal I 2023 untuk mendukung harga.