Tradisi Bakar-Bakar Malam Tahun Baru Bisa Berdampak pada Perubahan Iklim, Ada Alternatif Lebih Ramah Lingkungan?

Tidak hanya soal arang atau gas pemanggang, pilihan alat makan sampai upaya menekan sampah makanan juga memengaruhi tradisi bakar-bakar malam Tahun Baru yang lebih ramah lingkungan.

oleh Asnida Riani diperbarui 30 Des 2023, 20:30 WIB
Ilustrasi bakaran malam Tahun Baru pakai arang. (credit: Unsplash/grills australia)

Liputan6.com, Jakarta - Berbicara tradisi malam Tahun Baru kiranya tidak lengkap tanpa bakar-bakar. Berguyub dengan keluarga maupun teman dekat, ragam bahan makanan disiapkan untuk disantap bersama. Kendati seru, tahukah Anda bahwa bakar-bakar berpotensi menambah beban perubahan iklim?

Mengutip Washinton Post, Sabtu (30/12/2023), penelitian di seluruh dunia telah menemukan beberapa hal buruk yang dimasukkan ke dalam arang, termasuk logam berat. Produksi arang juga merupakan penyebab utama deforestasi di banyak negara tropis.

Brasil, produsen arang terbesar di dunia, bersama Nigeria, Tanzania, dan Republik Kongo membuka lahan hutan untuk perkebunan kayu, bahan produksi arang. Setiap orang kiranya mempunyai preferensi pribadi mengenai jenis pemanggang yang ingin digunakan.

Namun, jika menyangkut dampak lingkungan, masih belum jelas apakah pemanggang berbahan bakar gas atau arang yang lebih ramah lingkungan. Mengutip Good Housekeeping, analisis yang dilakukan para ahli di Universitas Illinois menyoroti fakta bahwa arang mengeluarkan dua kali lipat emisi karbon ketika dibakar dibanding propana yang digunakan untuk menyalakan gas.

Propana sendiri berasal dari bahan bakar fosil dan akan ada dampak lingkungan terkait proses pemurniannya. Namun, laporan ini juga mencatat bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) dari alat pemanggang, baik arang maupun gas, hanya menyumbang sebagian kecil dari total emisi GRK.

Barbekyu, kata fisikawan Greg Blonder, adalah tentang asap, dan hampir semua orang salah paham. "Saya memulai ilmu pangan 20 tahun lalu karena saran dalam buku masak yang salah," katanya. "Itu melanggar termodinamika atau tidak ada bukti di balik pernyataan tersebut. Seluruh bidang ini lemah berdasarkan kenyataan. Itu adalah kumpulan ide-ide buruk."


Pilih Arang dengan Bijak

Ilustrasi bakar-bakar malam Tahun Baru dengan arang. (credit: Unsplash/Paul Hermann)

Inti dari memasak dengan arang, kata Blonder, adalah menciptakan jenis asap yang tepat untuk memberi rasa khas pada makanan. Karenanya, jika berencana mengolesi iga dengan saus yang dibeli di toko atau menumpuk burger dengan mustard, saus tomat, bawang bombai, dan bahan lain, itu mungkin enak, tapi Anda tidak memerlukan asap.

Asap untuk memberi rasa terbaik, menurut perkiraannya, dihasilkan bara kayu keras dengan suhu antara 343 dan 399 derajat celcius. "Barbekyu, menurut sebagian besar definisi, berarti memasak dengan api kecil dan lambat, serta secara tidak langsung mematikan api," kata Blonder. "Tujuannya adalah api dari kayu berpendar merata dan memberi rasa smoky."

Bongkahan kayu keras merupakan "arang asli." Namun, arang tidak harus berasal dari pohon. Ini adalah karbon yang mudah terbakar, yang mana bisa diubah dengan tanaman atau bahan organik yang dipanaskan dalam lingkungan rendah oksigen.

Bila itu terlalu rumit, Anda disarankan mencari logo FSC pada kemasan arang. Hal ini menunjukkan bahwa arang di dalamnya terbuat dari kayu yang memenuhi standar terkait pengelolaan hutan bertanggung jawab, pelestarian keanekaragaman hayati, dan perlakuan adil terhadap pekerja.


Jangan Pakai Plastik Sekali Pakai

Ilustrasi sendok garpu plastik. (dok. unsplash/Brian Yurasits)

Tidak hanya dari pemanggang, dalam rangkaian bakar-bakar, hindari penggunaan plastik sekali pakai. Peralatan makan sekali pakai memang berarti lebih sedikit mencuci, namun juga berarti lebih banyak sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 35,93 juta ton timbulan sampah pada 2022. Jumlah tersebut naik 22, 04 persen dari 29,44 juta ton sampah pada 2021.

Dari jumlah tersebut, 22,45 juta ton atau 62,49 persen di antaranya telah terkelola. Sisanya, ada 37,51 persen atau 13,47 juta ton sampah yang belum terkelola sepanjang tahun lalu. Menurut jenisnya, mayoritas timbulan sampah pada 2022 berupa limbah makanan dengan proporsi 40,5 persen, disusul 17,9 persen sampah plastik.

Secara data, produksi plastik di seluruh dunia tercatat meningkat dan telah menciptakan lebih banyak polusi. Kepala Lingkungan Hidup PBB pun memperingatkan bahwa manusia tidak bisa hanya mendaur ulang untuk keluar dari permasalahan sampah.

Mengutip Japan Today, 5 Oktober 2023, ia menyerukan perubahan total dalam menggunakan plastik. Direktur Program Lingkungan Hidup PBB, Inger Andersen, menggarisbawahi pentingnya menghilangkan sebanyak mungkin plastik sekali pakai.

"Menghilangkan hal-hal yang sejujurnya tidak diperlukan, seperti benda-benda yang dibungkus plastik yang sama sekali tidak ada gunanya," katanya dalam wawancara dengan AFP.


Kurangi Sampah Makanan

Ilustrasi sampah makanan. (dok. unsplash.com/simon peel)

Di samping itu, Anda juga sangat disarankan menekan volume sampah makanan. Sekitar sepertiga makanan yang diproduksi secara global untuk konsumsi manusia dibuang begitu saja. Hal ini merupakan pemborosan besar sumber daya yang digunakan untuk memproduksinya, dan apapun yang berakhir di TPA dapat mengeluarkan metana saat membusuk.

Badan Standar Makanan Inggris merekomendasikan agar makanan yang telah dikeluarkan dari lemari es selama empat jam atau lebih harus dibuang. Karena itu, segera simpan sisa makanan ke lemari es secepat mungkin untuk membantu memastikan makanan tersebut tidak terbuang percuma.

Mengutip World Economic Forum, tercatat bahwa sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi hilang atau terbuang setiap tahun, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Karenanya, salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan PBB adalah mengurangi separuh limbah pangan global.

Juga, mengurangi kehilangan pangan dalam produksi dan pasokan pada 2030. Sebuah studi menilai emisi kehilangan dan pemborosan makanan di setiap rantai pasokan, mulai dari saat makanan dipanen hingga berakhir di TPA atau kompos.

Infografis Bencana-Bencana Akibat Perubahan Iklim. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya