Liputan6.com, Jakarta - Pada 1964, Theodore Schultz, penerima Nobel ekonomi, menghadirkan wawasan menarik dalam bukunya berjudul Transforming Traditional Agriculture. Schultz mencerminkan bahwa keengganan petani tradisional untuk berinovasi bukan semata-mata karena kurang semangat, melainkan juga dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menetapkan harga panen rendah dan beban pajak tinggi.
Narasi Schultz dimulai dengan perjumpaannya dengan pasangan petani lanjut usia, tampak sederhana namun penuh kepuasan. Mereka bahagia meski dalam kesulitan ekonomi, mengungkapkan keyakinan bahwa kehidupan mereka bukanlah kemiskinan karena mereka mengorbankan lahan pertanian untuk menyekolahkan keempat anak mereka ke perguruan tinggi.
Advertisement
Keyakinan ini menandai awal pemahaman Schultz tentang kekayaan yang lebih dalam. Lalu pertanyaannya, bagaimana kondisi pertanian di Indonesia? Dapatkah sektor pertanian membimbing masyarakat menuju kesejahteraan?
Pertanyaan ini menuntut jawaban yang teliti, mengingat data BPS 2022 mencatat bahwa 29,96 persen dari 135,3 juta pekerja di Indonesia berkecimpung dalam sektor pertanian.
Laporan BPS 2022 yang menegaskan bahwa sektor pertanian adalah penyumbang utama lapangan pekerjaan dengan melibatkan 40,64 juta orang di Indonesia. Lebih menarik, mayoritas petani adalah laki-laki 76,84 persen, sementara petani perempuan mencapai 23,16 persen.
Data ini seharusnya memicu perhatian, terutama pemerintah, terhadap potensi besar Indonesia sebagai pemimpin dunia pertanian. Dengan lahan pertanian mencapai 101 juta hektar, di mana 47 juta hektar telah digarap, potensi perluasan pertanian mencapai 54 juta hektar.
Menghadapi potensi pertanian Indonesia yang luar biasa, langkah benar untuk kesejahteraan petani adalah hilirisasi pertanian. Upaya meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi telah menjadi tren dalam kebijakan pemerintah Indonesia, dengan sektor pertanian menonjol.
Hilirisasi menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan petani, terutama dalam penjualan langsung produk pertanian. Dalam konteks padi, perjalanan dari penanaman hingga menjadi bahan pangan siap konsumsi adalah perubahan bentuk yang signifikan.
Transformasi Pertanian
Petani padi sering terbatas pada penjualan gabah kering panen tanpa kemampuan mengolahnya menjadi beras. Pendapatan dari penjualan gabah tidak mencapai potensi optimal, sehingga kebijakan hilirisasi menjadi sangat penting. Kebijakan ini tidak hanya harus memfasilitasi penjualan gabah tetapi juga memberikan peluang kepada petani untuk mengolahnya menjadi beras.
Penulis menegaskan bahwa hilirisasi pertanian bukan hanya tentang modernisasi profesi petani, melainkan juga perubahan paradigma dari "petani gabah" menjadi "petani beras."
Transformasi ini melibatkan pergeseran pemikiran dan tindakan petani, dengan mengadopsi praktik pertanian modern, teknologi, dan peningkatan keterampilan dalam mengelola produksi beras.
Pentingnya hilirisasi tercermin dalam upaya mencapai swasembada pangan dan peningkatan kesejahteraan petani melalui proyek Food Estate. Meskipun mendapat kritik, proyek ini memiliki potensi besar untuk mengembangkan pertanian Indonesia.
Food Estate dapat menjadi laboratorium pengembangan pertanian dengan fokus pada teknologi dan praktik pertanian terkini, mengembangkan lahan tidak produktif, memberikan peluang rehabilitasi ekosistem, meningkatkan keberlanjutan lingkungan, dan menciptakan peluang ekonomi di wilayah terpencil.
Tantangan Food Estate adalah memastikan petani mendapatkan nilai tambah maksimal. Melalui pendekatan hilirisasi, pemerintah dapat membantu petani mengadopsi praktik modern dan memaksimalkan hasil panen. Kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan lembaga terkait lainnya menjadi kunci kesinambungan dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
Dengan mengintegrasikan konsep hilirisasi ke dalam Food Estate, pemerintah dapat menciptakan sinergi antara modernisasi pertanian, peningkatan produksi, dan kesejahteraan petani.
Ini bukan hanya tantangan mengubah status "petani gabah" menjadi "petani beras," melainkan juga menciptakan model pertanian yang berdaya saing dan berkelanjutan di era Food Estate. Langkah-langkah ini diharapkan membawa dampak positif pada kemandirian pangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Penulis: La Ode Labsin Naadu, entrepreneur sektor perikanan dan pertanian
Advertisement