Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kapal perusak Amerika Serikat menembak jatuh dua rudal balistik anti-kapal yang ditembakkan dari Yaman pada Sabtu (30 Desember).
Aksi ini dilakukan sebagai tanggapan atas permintaan bantuan dari sebuah kapal kontainer yang terkena serangan terpisah, kata militer Amerika Serikat.
Advertisement
Rudal-rudal tersebut diluncurkan dari wilayah yang dikuasai pemberontak Houthi yang didukung Iran, kata Komando Pusat AS (CENTCOM) dalam sebuah unggahan di media sosial.
Pihaknya menggambarkan aksi ini sebagai “serangan ilegal ke-23 yang dilakukan Houthi terhadap pelayaran internasional” sejak 19 November, dikutip dari laman Channel News Asia, Minggu (31/12/2023).
Kelompok Houthi telah berulang kali menargetkan kapal-kapal di jalur pelayaran penting Laut Merah dengan serangan yang mereka katakan untuk mendukung warga Palestina di Gaza, tempat Israel memerangi kelompok militan Hamas.
CENTCOM mengatakan bahwa USS Gravely dan USS Laboon – keduanya kapal perusak – menanggapi permintaan bantuan dari Maersk Hangzhou, sebuah kapal kontainer berbendera Singapura.
Saat merespons, Gravely menembak jatuh rudal tersebut, yang ditembakkan "ke arah kapal", katanya.
Serangan yang dilakukan oleh pemberontak Yaman membahayakan rute transit yang membawa hingga 12 persen perdagangan global, sehingga mendorong Amerika Serikat untuk membentuk satuan tugas angkatan laut multinasional awal bulan ini untuk melindungi pelayaran Laut Merah.
Putaran terakhir konflik Israel-Hamas dimulai ketika kelompok militan Palestina melakukan serangan mengejutkan lintas batas dari Gaza pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.140 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka-angka Israel.
Bantuan Militer AS ke Israel
Setelah serangan itu, Amerika Serikat bergegas memberikan bantuan militer ke Israel, yang telah melakukan kampanye tanpa henti di Gaza yang telah menewaskan sedikitnya 21.672 orang, sebagian besar adalah warga sipil, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikelola Hamas.
Kematian mereka telah memicu kemarahan yang meluas di Timur Tengah dan mendorong terjadinya serangan oleh kelompok bersenjata di seluruh wilayah yang menentang Israel.
Pasukan AS di Irak dan Suriah juga berulang kali mendapat kecaman akibat serangan pesawat tak berawak dan roket yang menurut Washington dilakukan oleh kelompok bersenjata yang didukung Iran.
Advertisement
Pengamat: Zona Demiliterisasi Jadi Upaya Israel Kontrol Gaza, Tapi Hamas Masih Kuat
Bicara soal kondisi di Gaza, Pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi menilai bahwa upaya pembentukan Zona Demiliterisasi di Gaza adalah bagian dari upaya Israel untuk mengontrol kembali wilayah tersebut yang sudah ditolak oleh dunia internasional.
"Zona Demiliterisasi di Gaza itu artinya Israel dapat mengalahkan, mengeliminasi Hamas. Tapi realitasnya, pada saat ini, Israel belum bisa melumpuhkan hamas," kata Yon Machmudi, saat dihubungi oleh Liputan6.com, Kamis (28/12/2023).
"Kecenderungannya karena posisi Hamas sangat kuat, dan tidak hanya Hamas berjuang di Gaza, tapi juga faksi-faksi bersenjata lainnya."
"Dan itu didukung oleh mayoritas pendukung Gaza. Saya kira, ide ini bagian dari cara Israel untuk mengontrol kembali Gaza dan itu sebenarnya sudah ditolak dunia internasional."
Yon Machmudi menyebut, kalaupun ada demiliterisasi maka harus bagian dari kelanjutan negosiasi Two State Solution.
"Tanpa itu, artinya demiliterisasi mengukuhkan penjajahan Israel di Gaza, yang selama ini Gaza tidak terintervensi oleh kekuatan militer Israel maupun juga pemukiman-pemukiman baru."
Obsesi perang di bawah Netanyahu dinilai oleh Yon Machmudi cenderung mengarah pada genosida terstruktur, masif, menghalangi akses kemanusiaan, menghambat akses penduduk terhadap kebutuhan pokok.
"Berpotensi penduduk Gaza itu mengalami kelaparan dan bisa mengakibatkan kematian yang bersifat massal," kata Yon Machmudi.
"Di samping tentu pengeboman-pengeboman yang jumlahnya dalam bentuk kolektif. puluhan dan ratusan meninggal dalam bersamaan."
"Menurut saya ini bagian dari genosida. Yang perlu diketahui bahwa kita harus memperhatikan bahwa keinginan Israel dalam hal ini menahan agar Palestina tak merdeka."
Berpotensi Ada Nakbah
Senada dengan Yon Machmudi, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah menilai bahwa ambisi Israel membangun Zona Demiliterisasi sulit dipercaya lantaran dalam praktiknya nanti, akan mempercepat terwujudnya Nakbah.
"Dimana seluruh bangunan, rumah, nama jalan, fasilitas umum dan fasilitas sosial akan berganti nama, menjadi beridentitas Yahudi," kata Teuku Rezasyah saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (28/12/2023).
"Warga Palestina akan semakin terpinggirkan di tanah air mereka sendiri, dan menghuni pemukiman tak kayak huni."
"Sebagian dari mereka akan mengungsi ke Gaza bagian Selatan, karena terawasi oleh PBB dan media Internasional."
Advertisement