Liputan6.com, Jakarta - Pihak berwenang Taliban Afghanistan, Sabtu (30/12), mengkritik rencana oleh Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjuk utusan khusus untuk mempromosikan gender dan hak-hak asasi manusia (HAM) di negara itu. Taliban menyebut rencana itu "tidak diperlukan."
Pemerintahan Taliban tidak diakui secara resmi oleh negara atau badan-badan dunia mana pun. PBB menyebut pemerintahan itu sebagai "Otoritas de facto Taliban," dikutip dari VOA Indonesia, Senin (1/1/2024).
Advertisement
Banyak dari mereka yang enggan berinteraksi dengan penguasa Kabul dalam upaya agar Taliban mengurangi kontrol terhadap perempuan dan anak perempuan. Pilihan lainnya adalah membekukan hubungan sampai Taliban memberikan konsesi seperti membuka kembali kesempatan pendidikan bagi perempuan.
Pada Jumat (29/12), DK PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan penunjukan utusan khusus untuk Afghanistan. Resolusi itu bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan dengan negara itu dan para pemimpin Taliban.
Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri Afghanistan, Abdul Qahar Baki, mengatakan "utusan khusus baru tidak diperlukan karena Afghanistan bukan zona konflik dan diperintah oleh pemerintah pusat yang mampu menangani kepentingan nasionalnya."
Dalam kiriman teks di platform X, dia mengatakan Pemerintahan Taliban menyambut baik keterlibatan yang lebih kuat dan ditingkatkan dengan PBB.
"Namun, utusan khusus makin memperumit situasi melalui penerapan solusi-solusi eksternal," imbuhnya.
“Pendekatan pemerintah Afghanistan pada akhirnya akan dipandu oleh keyakinan agama, nilai-nilai budaya, dan kepentingan nasional rakyat Afghanistan yang tidak berubah,” katanya di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
Sejak Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, penguasa baru Kabul menegaskan hak mereka untuk menerapkan kontrol sosial yang keras sesuai dengan interpretasi mereka yang keras terhadap Islam.
Mereka menolak permohonan untuk mematuhi hukum internasional dan menganggapnya sebagai campur tangan yang tidak semestinya dalam urusan dalam negeri mereka.
PBB: Taliban Penjarakan Perempuan Penyintas Pelecehan, Membahayakan Kesehatan Mental dan Fisik Mereka
Laporan PBB menyebutkan bahwa pemerintahan Taliban di Afghanistan memenjarakan perempuan penyintas pelecehan dan mengklaim hal itu demi perlindungan mereka. PBB mengatakan praktik tersebut membahayakan kesehatan mental dan fisik para penyintas.
Dalam laporannya, PBB juga menyatakan tidak ada lagi tempat penampungan perempuan yang disponsori negara karena pemerintah Taliban melihat tidak diperlukannya pusat-pusat tersebut.
Penindasan yang dilakukan Taliban terhadap hak-hak perempuan di Afghanistan disebut adalah salah satu yang paling kejam di dunia.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) mengungkapkan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan diketahui tinggi, bahkan sebelum Taliban mengambil alih Afghanistan. Demikian seperti dilansir BBC, Sabtu (16/12/2023).
Namun, ungkap UNAMA, sejak Taliban mengambil alih Afghanistan, insiden seperti ini semakin sering terjadi, mengingat dampak krisis ekonomi, keuangan dan kemanusiaan yang menimpa negara tersebut. Perempuan semakin terkurung di rumah, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan pasangan intim.
Advertisement
Perampasan Kebebasan Secara Sewenang-wenang
Sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021, menurut UNAMA, terdapat 23 pusat perlindungan perempuan atau tempat penampungan yang disponsori negara di Afghanistan. Kini, seluruhnya telah menghilang.
Pejabat Taliban mengatakan kepada UNAMA bahwa tempat penampungan tersebut tidak diperlukan karena perempuan harus bersama suami atau anggota keluarga laki-laki. Ada yang mengatakan tempat penampungan seperti itu adalah "konsep Barat".
Para pejabat Taliban mengungkapkan mereka akan meminta anggota keluarga laki-laki membuat "komitmen" untuk tidak menyakiti penyintas.
Jika dia tidak mempunyai kerabat laki-laki yang bisa tinggal bersamanya atau jika ada masalah keamanan, korban yang selamat akan dikirim ke penjara untuk perlindungannya. UNAMA menuturkan hal ini serupa dengan bagaimana beberapa pecandu narkoba dan tunawisma ditampung di ibu kota Kabul.
UNAMA menggarisbawahi tindakan ini sama dengan perampasan kebebasan secara sewenang-wenang.
"Mengurung perempuan yang sudah berada dalam situasi rentan di lingkungan yang menghukum juga kemungkinan besar akan berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka, menempatkan mereka kembali sebagai korban dan pada risiko diskriminasi dan stigmatisasi setelah dibebaskan."
Taliban Ingkar Janji
UNAMA juga mencatat bahwa selama periode satu tahun sejak 15 Agustus 2021, penanganan pengaduan kekerasan berbasis gender oleh pemerintahan Taliban "tidak jelas dan tidak konsisten".
Misalnya, tidak adanya perbedaan yang jelas antara pengaduan pidana dan perdata, sehingga tidak menjamin perlindungan hukum yang efektif bagi perempuan dan anak perempuan.
Pengaduan sebagian besar ditangani oleh personel laki-laki dan UNAMA mencatat bahwa ketidakhadiran personel perempuan mengecilkan semangat dan menghambat para penyintas untuk mengajukan pengaduan.
"Para penyintas kini tidak lagi mendapat jaminan ganti rugi atas pengaduan mereka, termasuk upaya hukum perdata dan kompensasi. Mereka dilaporkan lebih takut terhadap pemerintah Taliban dan tindakan sewenang-wenang mereka, sehingga memilih untuk tidak mencari keadilan formal," kata UNAMA.
Meskipun ada upaya untuk memajukan hak-hak perempuan antara tahun 2001 dan 2021 – termasuk reformasi hukum dan kebijakan – upaya-upaya tersebut hampir hilang.
Sejak mengambil kembali kekuasaan pada tahun 2021, pemerintah Taliban telah mengingkari janji mereka sebelumnya untuk memberikan perempuan hak untuk bekerja dan belajar.
Anak perempuan di Afghanistan hanya diperbolehkan bersekolah di sekolah dasar. Remaja perempuan dan perempuan dilarang memasuki ruang kelas sekolah dan universitas.
Mereka tidak diperbolehkan berada di taman, pusat kebugaran, dan kolam renang. Salon kecantikan telah ditutup, sementara perempuan harus berpakaian sedemikian rupa, sehingga hanya memperlihatkan mata mereka. Mereka harus didampingi oleh kerabat laki-laki jika melakukan perjalanan lebih dari 72 km.
Advertisement