Liputan6.com, Jakarta Pakar pendidikan Assoc. Prof. Dr. Susanto. MA membagikan pesan agar orangtua menghindari 5 hal yang dapat berdampak buruk bagi anak di masa depan.
Kelima hal itu adalah:
Advertisement
Memanjakan Anak
Sebagian ahli mengategorikan anak manja sebagai sindrom. Richard Weaver, dalam bukunya Ideas Have Consequences, memperkenalkan istilah the spoiled child syndrome.
Perilaku anak manja cenderung egois, tidak dewasa, tantrum jika keinginannya tak dipenuhi. Anak manja memiliki ketidakmampuan mengatasi keinginan atau tidak dapat menunda keinginan dan memanipulasi untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
McIntosh mengatakan bahwa “sindrom anak manja” disebabkan gagalnya orangtua dalam mendorong anak berperilaku sesuai usianya.
“Anak manja akan rentan membahayakan masa depannya, karena ia mengalami hambatan kematangan dan akan memilih tergantung pada orang lain. Padahal ketergantungan pada orang lain, merupakan pantangan bagi orang sukses,” kata Susanto dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Senin (1/1/2023).
Tak Ajarkan Kemandirian Sesuai Usia Anak
Pendiri Sekolah Berbasis Karakter Genius Islamic School Kota Depok mengatakan, hal kedua yang perlu dihindari orangtua adalah tidak mengajarkan kemandirian sesuai usia anak.
Setiap anak memiliki fase perkembangan sesuai tahapan usianya. Hal-hal sederhana bisa diajarkan sejak dini, seperti:
- Belajar menyiapkan baju sekolah sesuai jadwal
- Belajar menyiapkan buku sesuai jadwal
- Belajar mengerjakan tugas atau project sekolah
- Membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya.
Hal-hal di atas adalah pekerjaan sederhana, tapi merupakan prinsip yang perlu disampaikan pada anak sesuai tahapannya. Karena kemandirian merupakan modal berharga menghantarkan anak memiliki pribadi tangguh, memiliki jiwa perintis dan pengembang dalam kehidupannya.
Jika orangtua tak mendidik kemandirian sesuai tahapan usia, anak akan berpotensi mengalami masalah perilaku yang akan menghambat kesuksesan.
Salah satunya adalah menurunkan kegigihan. Anak yang terlalu sering mendapatkan sesuatu dengan mudah tanpa perjuangan, kelak ketika dihadapkan pada kehidupan nyata, ia akan mudah menyerah, tidak mau berusaha lebih dan rentan jadi generasi gagal.
Selalu Mengatur Anak
Hal ketiga yang perlu dihindari orangtua dalam mendampingi perkembangan anak adalah sifat yang selalu mengatur anak.
Anak perlu menyadari akan aturan, tapi bukan berarti segala hal harus diatur-atur. Pasalnya, ini akan membentuk pribadi yang tak kreatif dan miskin inovasi.
Setiap anak memiliki ide, gagasan, cita-cita dan idealisme. Tugas orangtua menstimulasi dan memandu agar cita-citanya tercapai. Jika anak dalam kondisi lemah semangat, orangtua memberikan motivasi, jika anak mengalami hambatan berikan kesempatan menyelesaikan masalahnya dan doakan agar diberikan kemudahan oleh Tuhan.
Pola pengasuhan dimaksud termasuk kategori Strick Parents. Menurut Cambridge Dictionary, kata strict memiliki beberapa pengertian, salah satunya adalah “membatasi kebebasan seseorang”.
Pola pengasuhan ini rentan menghasilkan generasi mudah marah, jika orang lain tidak mengikuti apa yang dia inginkan, rentan tidak jujur, tidak fokus pada pengembangan diri, tapi suka mengontrol orang lain diluar kewenangannya.
Advertisement
Menyalahkan Anak
Dosen Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta menambahkan, hal keempat yang perlu dihindari orangtua adalah menyalahkan anak.
“Setiap anak adalah unik. Mereka merupakan pribadi yang sempurna sesuai tahapannya. Namun, dalam setiap tahapan, ia selalu melalui proses belajar. Hargailah usaha anak, hargailah kegigihannya, hargailah prosesnya bukan hasilnya.”
“Meski hasilnya tak sesuai harapan, tapi pastikan orangtua selalu menghargai proses yang ia lakukan. Jika anak ternyata salah dalam mengambil keputusan, itulah pelajaran berharga dalam berproses, jangan salahkan anak,” imbau Susanto.
Orangtua perlu mangajak anak merefleksi bukan menyalahkan, agar anak menemukan aspek apa yang harus diperbaiki.
Orangtua tidak perlu menghakimi, tapi memandu agar anak semakin dewasa berproses. Inilah bibit kesuksesan di masa depan.
Misalnya: "Gara-gara kamu, kita jadi telat!" atau "Kamu sih, bangunnya kesiangan!" Alih-alih menggunakan kalimat tersebut, orangtua dapat berkata "Wah, kita terlambat, nih. Besok, bangun lebih pagi ya, Nak!"
Menggunakan Kalimat yang Memicu Emosi Negatif
Kelima, menggunakan kalimat yang bisa menimbulkan emosi negatif anak. Emosi negatif adalah perasaan tidak menyenangkan, mengganggu dan biasanya diekspresikan sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap sesuatu.
Contohnya memberikan label bahwa anak “bandel banget”, mengatakan “gitu aja kamu nggak bisa”, kamu kok gak berubah sih”, “kamu kok nggak seperti kakakmu” adalah contoh kalimat yang berpotensi menimbulkan emosi negatif pada usia anak.
Emosi negatif dapat muncul dalam bentuk sedih, minder, rasa khawatir berlebihan, rendah diri bahkan depresi.
Ketika anak sering memiliki emosi positif, semua pengalaman positif akan tersimpan dalam memorinya dan pengalaman positif ini yang akan “dipanggil/diingat” kembali saat anak telah dewasa.
Semakin anak banyak “memanggil/mengingat” emosi positifnya saat kecil, maka akan semakin positif perilakunya. Mudah beradaptasi dengan dunia baru dan mudah berkompetisi dengan dunia luar, bahkan bisa menjadi pemimpin yang andal.
Sebaliknya, jika anak sering terpapar emosi negatif, anak akan merekam dan memanggil pengalaman negatif itu saat dewasa. Pengalaman negatif saat kecil, rentan melemahkan anak saat usia dewasa dalam menghadapi tantangan hidupnya.
“Maka, hati-hati dalam mendidik anak, karena didikan pada usia anak sejatinya fondasi sukses di masa depan,” pungkas Susanto.
Advertisement