Liputan6.com, Jakarta Indeks dolar Amerika Serikat atau USD kembali menguat memasuki awal tahun pada Selasa, 2 Januari 2024.
Saat ini, pasar berfokus pada data utama nonfarm payrolls untuk bulan Desember, yang akan dirilis pada hari Jumat besok.
Advertisement
"Angka tersebut diperkirakan akan menunjukkan penurunan lebih lanjut di pasar tenaga kerja – sebuah tren yang kemungkinan akan memberikan tekanan lebih besar pada The Fed untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga lebih awal," ungkap Ibrahim Assuaibi, Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka dalam paparan tertulis dikutip Rabu (3/1/2024).
Alat Fedwatch CME menunjukkan, para pedagang memperkirakan peluang lebih dari 70 persen bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Maret 2024.
Namun sebelum pembacaan bulan Maret, bank sentral AS masih harus menghadapi serangkaian pembacaan perekonomian, terutama inflasi dan pasar tenaga kerja.
Meskipun inflasi dan pasar tenaga kerja menurun secara substansial sepanjang tahun 2023, angka inflasi AS masih jauh di atas target The Fed sebesar 2 persen.
Pada Desember 2023, sejumlah pejabat The Fed memperingatkan bahwa bank sentral perlu melihat lebih banyak penurunan inflasi untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga lebih awal.
Selain itu, mereka juga memperingatkan bahwa pertaruhan penurunan suku bunga lebih awal oleh The Fed terlalu optimis.
"Namun The Fed masih diperkirakan akan memangkas suku bunga pada tahun 2024, sebuah skenario yang menjadi pertanda buruk bagi indek dolar AS," beber Ibrahim.
Sementara itu di Asia, data indeks manajer pembelian resmi Tiongkok menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur menyusut lebih besar dari perkiraan pada Desember 2023, sementara aktivitas non-manufaktur tetap mendekati kontraksi.
"Data tersebut menunjukkan bahwa aktivitas bisnis di negara importir komoditas terbesar dunia ini masih lemah, sebuah tren yang dapat mengurangi permintaan komoditas pada tahun 2024,” jelasnya.
Rupiah Melemah pada Tahun Baru 2024
Rupiah ditutup melemah 67 point dalam penutupan pasar tahun baru, walaupun sebelumnya sempat melemah 90 point dilevel Rp. 15.466 dari penutupan sebelumnya di level Rp.15.399.
"Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang 15.450- 15.510,” Ibrahim memprediksi.
Indonesia Menutup 2023 dengan Inflasi 2,61 Persen
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, inflasi Indonesia pada tahun 2023 sebesar 2,61 persen yoy.
Angka tersebut merupakan tingkat inflasi terendah dalam dua dekade terakhir.
Inflasi yang landai pada tahun 2023 didorong pengendalian inflasi yang baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia (BI).
"Terlebih, pada tahun 2023 ada ketIdakpastian yang membayangi pergerakan inflasi dalam negeri, salah satunya fenomena kekeringan panjang atau El Niño. Selain itu, inflasi pada tahun 2023 rendah karena faktor basis tinggi," kata Ibrahim.
Pada tahun 2022, Indonesia sempat dilanda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang menyulut inflasi.
"Sesuai pola musiman, biasanya tingkat inflasi akan menurun pada satu tahun setelah tahun adanya kenaikan harga BBM bersubsidi," papar Ibrahim.
Advertisement
Pasar Memantau Kondisi APBN
Selain igu, pasar juga memantaui kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang tercatat mengalami defisit Rp. 241,4 triliun per 28 Desember 2023.
Angka defisit tersebut didapatkan dari realisasi pendapatan negara yang mencapai Rp2.725,4 triliun.
Sementara belanja negara terealisasi senilai Rp2.966,8 triliun Adapun, realisasi pendapatan negara tersebut telah mencakup 110% target APBN awal senilai Rp2.463 triliun, atau tembus 103,3% dari target revisi yang tercantum dalam Perpres No. 75/2023 dengan angka Rp2.637,2 triliun.
"Walaupun terjadi defisit, kinerja APBN selama 2023 dapat terjaga kuat dan sehat terutama terkait realisasi belanja negara yang semakin berkualitas dengan memastikan bahwa setiap rupiah dari APBN bermakna bagi masyarakat. APBN mampu berperan menjadi peredam benturan (shock absorber) atas risiko-risiko yang dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat," Ibrahim menyoroti.
"Terlebih, kondisi global yang sedang terjadi seperti konflik geopolitik, gejolak ekonomi, dan perubahan iklim membawa dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi global yang berdampak pada kondisi ekonomi Indonesia," tambahnya.