Liputan6.com, Yogyakarta - Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada Lucia Kris Dinarti mengatakan hingga saat ini penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia bahkan Lebih dari 3 juta kematian terjadi sebelum usia 60 tahun. Akan tetapi belum ada sistem deteksi dini penyakit jantung di Indonesia yang diterapkan pada anak-anak sehingga sebagian besar anak dengan keluhan ringan, tidak terdiagnosis dengan tepat.
Sampai saat ini, deteksi dini kesehatan pada anak-anak tidak secara spesifik mendeteksi kelainan bawaan pada jantung. Padahal di negara maju, seperti Jepang misalnya, deteksi dini untuk PJB telah dilakukan secara berjenjang mulai dari masa janin, bayi, anak-anak dan usia sekolah.
“Dengan melakukan metode deteksi dini berjenjang tersebut, Penyakit Jantung Bawaan (PJB) dapat diketahui sejak dini sebelum muncul manifestasi klinis yang lebih berat, sehingga dapat dilakukan tindakan penutupan,” katanya usai menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kardiologi Kedokteran Vaskuler, Kamis 28 Desember 2023.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Lucia, penyakit jantung dapat dikategorikan menjadi dua yakni dalam penyakit jantung dapatan dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Penyakit jantung dapatan terjadi karena paparan faktor lingkungan dan gaya hidup yang terjadi setelah lahir, sementara penyakit jantung bawaan merupakan penyakit jantung yang terjadi akibat abnormalitas perkembangan jantung saat masih dalam janin dan berlanjut hingga setelah lahir.
Lucia mengatakan banyaknya jumlah penderita PJB pada usia dewasa di Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya menjadi gambaran kurangnya deteksi dini atau skrining pada saat awal masa anak-anak. Walaupun terkini deteksi PJB kritis pada bayi baru lahir dengan menggunakan metode pulse oxymetry sudah mulai dilaksanakan dan sudah diadopsi oleh Kementrian Kesehatan menjadi program Nasional.
"Di negara Jepang, keberhasilan deteksi dini berjenjang tersebut menurunkan secara drastis angka kejadian PJB pada usia dewasa," katanya.
Lucia menjelaskan, sejak tahun 2012, telah dilakukan suatu Registri Penyakit Jantung Bawaan dan PH pada pasien usia di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Sampai November 2023 ini, sudah terdaftar 2171 orang pasien dewasa yang menderita PJB.
Dari registri tersebut menunjukkan bahwa mayoritas adalah perempuan (76%) dan 72% nya adalah datang pada usia mampu hamil (72%). Tim Cohard PH juga mengumpulkan data kehamilan dengan penyakit jantung di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta dimana dalam 5 tahun terakhir ternyata PJB menyumbang 53% dari seluruh penyakit jantung pada kehamilan.
“Data ini menyokong fakta bahwa saat ini penyakit jantung berperan sebagai penyebab kesakitan dan kematian ibu hamil. Data di RSUP Dr Sardjito tersebut menunjukkan bahwa ibu hamil dengan PJB mayoritas adalah ASD atau Atrial Septal Defect yang sebagian besar sudah mengalami Pulmonary Hypertension,” paparnya.
Lucia mengatakan demi mengurangi angka prevalensi PJB pada usia dewasa, maka tindakan preventif berupa penemuan awal penderita PJB sejak masa kanak-kanak dengan program skrining dini yang sederhana, aplikatif dapat diterima oleh anak-anak, masyarakat, dan efektif. Sebab pada masa kanak-kanak belum muncul adanya gejala dan tanda yang khas, namun dengan metode pemeriksaan jantung yang sederhana namun teliti, PJB dapat dideteksi dan ditindaklanjuti dengan penanganan secara korektif sehingga tidak menimbulkan komplikasi saat dewasa.
“Sampai saat ini, skrining atau deteksi dini PJB belum menjadi program deteksi dini rutin pada masa kanak-kanak yang dilakukan di Indonesia karena belum adanya metode yang sederhana, aplikatif dan efektif,” katanya.
Peran skrining PJB dimulai saat kelahiran, anak usia sekolah, remaja, calon pengantin maupun ibu hamil harus dimulai dari sekarang. Menurutnya, DIY sebagai inisiator program skrining Penyakit Jantung Bawaan ini selayaknya dieskalasi menjadi program nasional sehingga komplikasi Pulmonary Hypertension dapat diminimalkan.