Liputan6.com, Jambi - Hamid Has urung pulang ke kampungnya di Desa Simpang Tiga Rawang, Kecamatan Hamparan Rawang, Kota Sungai Penuh, Jambi, usai liburan tahun baru di Kota Jambi, pada Senin 1 Januari 2024. Malamnya, tepat tahun baru itu putranya mengabarkan kalau rumahnya sudah terendam banjir sepinggang orang dewasa.
"Anak di sana telepon dan bilang enggak usah balik dulu. Barang-barang elektronik sudah diamankan di atas. Cuma kulkas yang tidak bisa diamankan," kata Hamid.
Advertisement
Dari Jambi, ia selalu memantau banjir melalui pemberitaan di media sosial. Dalam berita itu ia mendapat informasi daerahnya tengah berduka; warga hanyut, orang-orang mengungsi, tanah longsor, dan jembatan putus.
Pensiunan guru di Kerinci itu, seumur-umur baru kali ini melihat banjir parah menerjang di banyak kampung dan desa di Sungai Penuh dan Kerinci. Pun selama ia tinggal di sana, baru sekarang ini banjir mampu merangsek ke dalam rumahnya.
"Seumur saya tinggal di Kerinci (banjir) ini yang paling parah, dulu tidak pernah sampai rumah saya terendam," ujar Hamid dengan logat Kerinci yang sangat kental itu.
Kini sudah memasuki hari ke-empat atau sejak malam pergantian tahun, bencana banjir yang menggenang di wilayah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh Jambi belum surut. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi mencatat sekitar 27 ribu warga di dua daerah itu menjadi korban banjir.
Sementara itu, otoritas penanggulangan bencana daerah Kabupaten Kerinci mencatatbencana banjir di daerah ini menyebabkan 41 desa di 9 kecamatan terendam dengan total sebanyak 7.659 jiwa yang terdampak.
Kemudian untuk di Kota Sungai Penuh, dilaporkan ada 4 wilayah kecamatan terendam banjir dengan jumlah warga yang terdampak sebanyak 19.472 jiwa.
Lokasi banjir paling parah terjadi di Kecamatan Depati Tujuh, yakni ada 13 desa. Outlet media lokal Kerinci melaporkan sebanyak 2.942 jiwa dari 1.138 kepala keluarga (KK) mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Wilayah Depati Tujuh ini menurut Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman, sependek pengetahuannya belum pernah terendam banjir. Tapi, justru kali ini wilayah tersebut paling parah terdampak banjir.
Beberapa desa di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh juga dilaporkan terisolasi akibat banjir besar itu. Sebagian besar warga tidak bisa keluar dari rumah dan harus dievakuasi menggunakan perahu karet karena pasokan makanan habis.
Tak hanya bencana banjir parah. Bencana hidrometeorlogi itu turut menimbulkan longsor di beberapa titik dan mengakibatkan gangguan akses jalan dan jembatan yang putus. Kabupaten Kerinci--daerah yang berada di wilayah barat Provinsi Jambi sendiri merupakan kawasan dataran tinggi dan dikelilingi gawir, yang mana daerah tersebut rawan terjadi longsor.
Gubernur Jambi Al Hari meninjau langsung dampak banjir di dua daerah tersebut. Selain meninjau dia juga memberikan bantuan kepada warga yang mengungsi akibat bencana tersebut.
Mantan Bupati Merangin itu menyampaikan keprihatinannya ihwal musibah banjir dan longsor di Kerinci dan Sungai Penuh. Al Haris mengaku dirinya sengaja turun ke lokasi untuk melihat langsung kondisi warganya yang terdampak banjir.
Dia juga meminta kedua kepala daerah pemerintahan tersebut untuk terus siaga karena curah kata dia masih tinggi. Selain itu dia juga meminta agar warga yang berada di daerah rawan banjir dan longsor untuk segera mengungsi ke tempat aman.
“Selama kondisi seperti ini saya minta semua siaga karena curah hujan tinggi, yang dipinggir sungai diimbau untuk ungsi, takut tiba-tiba air naik,” kata Al Haris.
Eksploitatif di Hulu Sungai
Bagi Nukman Permindo, tragedi banjir bandang dan tanah longsor di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, pada awal tahun ini yang merendam puluhan desa dan memutus akses menjadi peringatan bagi semua pihak untuk mengembalikan kearifan lokal dalam memanfaatkan sungai dan alam seisinya.
Menurut Budayawan Jambi yang berasal dari Kerinci itu, orang-orang tua dahulu dengan teguh menjaga kearifan lokalnya dengan memperlakukan alam secara bijaksana. Namun, akhir-akhir ini jika ditengok sebaliknya, ada sengkarut aktivitas eksplotitaif di bagian hulu sungai Batang Merao
"Apakah kita sudah meninggalkan kearifan menjaga dan merawat alam yang sudah dititipkan ke kita. Kita perlu melihat lagi bagaimana sekarang kita memperlakukan secara arif terhadap sumber mata air, tanah dan hutan kita," kata Nukman.
Segendang sepenarian, Akademisi Teknik Geologi Universitas Gajah Mada (UGM) Dr.Eng Akmaludin berpendapat bahwa tragedi banjir dan tanah longsong di dua daerah itu disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut dia, intensitas hujan tinggi hanya pemicu dari bencana tersebut.
Bencana banjir ini dalam hipotesa Akmal, terjadi akibat luapan sungai Batang Merao yang tidak mampu menampung tingginya debit air. Pendangkalan sungai akibat endapan sedimen menjadi musabab utama banjir, di tambah aktivitas eksplotitatif dan kerusakan hutan di wilayah hulu.
Hal itu kata dia, bisa ditilik, air banjir yang meluap tersebut membawa material erosi dari wilayah hulu. Dalam topografinya lembah Kerinci mempunyai kemiringan dan terjal dengan bebatuan vulkanik, sehingga gawir-gawir di sepanjang Kerinci potensial terjadi longsor.
Bukan hanya galian C atau penambangan pasir yang sudah over di hulu Batang Merao, deforestasi dan alif fungsi di kanan-kiri badan sungai turut memperparah banjir. Ini menjadi ancaman sepanjang tahun musim penghujan.
"Sangat terlihat jelas airnya coklat dan berlumpur. Ini akibat di wilayah hulunya sungai sudah sangat rusak parah," ujar Akmal.
Menurut Akmal, Akademisi UGM yang berasal dari Kerinci itu, perlu dicermati bahwa semua sungai di sepanjang lembah Kerinci bermuara di Batang Merao. Batang Merao yang membelah Kerinci mulai dari Hulu di Siulak dan Kayu Aro sampai ke hilir di Danau Kerinci, saat ini kata dia, sudah jenuh dan terjadi sedimintasi dan pendangkalan akut.
"Pendangkalan sungai-sungai besar di Kerinci sudah sangat akut. Kalau hujan lebat sedikit langsung (arinya) cepat meluap," jelas Akmal.
Kondisi itu juga diperparah dengan daya tampung sungai yang sudah berkurang akibat endapan sedimen di sepanjang sungai. Danau Kerinci yang merupakan danau vulkanik itu kata Akmal, menjadi muara bagi semua sungai yang ada di wilayah Kerinci dan Sungai Penuh.
Namun, Danau Kerinci sebagai bedungan alami kini tak mampu menampung limpasan air dari sungai, sehingga sumber luapan juga berasal dari danau. Keluarnya air dari Danau Kerinci ini berada di Sanggaran Agung dan Batang Merangin.
Batang Merangin yang airnya bersumber dari Danau Kerinci seperti diketahui saat ini tengah dibangun bendungan raksasa untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kerinci Merangin Hidro dengan kapasitas 350 MW.
"Kalau bendungan itu sudah beroperasi saya duga ada pengaruhnya terhadap banjir di Kerinci, karena keluarnya air dari Danau Kerinci itu hanya ada dua, kalau satu dibendung, maka yang di Sanggaran Agung tidak mampu. Tapi soal ini perlu kajian lebih lanjut ya," kata Akmal menjelaskan.
Untuk jangka pendek dalam penanganan banjir di dua daerah tersebut sambung Akmal, debit air yang keluar perlu segera diatasi. Setelah itu normalisasi sungai harus dilakukan secara optimal sehingga ketika ada hujan tidak langsung meluap.
"Yang paling cepat untuk jangka pendek adalah mengatur keluarnya debit air yang ada di Danau Kerinci, mengeruk pendangkalan sungai. Kemudian yang tak kalah penting adalah menata aktivitas industri di bagian hulu sungai," ujar Akmal.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Abdullah mengatakan, perubahan cuaca dengan intensitas hujan yang tinggi hanya menjadi pemicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Pemerintah menurut Abdullah, perlu melihat persoalan bencana ini dari aspek tata kelola lingkungan.
Selain itu, pemerintah selaku pemangku kebijakan mestinya melihat penyebab utama dari bencana itu adalah kerusakan lingkungan yang semakin masif, seperti deforestasi, dan aktivitas industri yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan hidup.
Daya rusak tutupan hutan dan kerusakan ekosistem sungai menurut Abdullah, menyebabkan daerah di dataran tinggi, dan lereng seperti Kerinci dan Sungai Penuh sangat sudah sangat rawan dengan bencana ekologi.
"Ini menjadi alarm bagi para pihak, bahwa ada kondisi alam kita tidak sedang baik-baik saja. Jika tidak diatasi, maka risiko bencana ekologis akan kita alami dan juga anak cucu kita nanti," ujar Abdullah.
Dengan mengeksploitasi sungai dan hutan bersamaan secara besar-besaran, ditambah perubahan iklim, kedepan diyakini akan menjadi sumber bencana ekologi. Segera pulih bumi "Sakti Alam Kerinci"
Advertisement