Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewaspadai masih adanya warung atau toko penjual gas yang mengabaikan aturan penjualan LPG 3 kg saat ini. Yakni dengan membiarkan pembelian tabung gas melon tanpa menyertakan KTP dan KK.
Oleh karenanya, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji meminta PT Pertamina Patra Niaga untuk mengawasi langsung transaksi LPG 3 kg di tingkat sub penyalur resmi atau pengecer.
Advertisement
"Pasti ada yang terjadi seperti itu. Kita akan minta bantuan Pertamina untuk mengawasi hal itu. Jadi itu jangan terjadi lagi lah. Kalau untuk pengecer memang Pertamina baru melaksanakan kan. Jadi masih proses transisi," ujarnya di Kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jakarta Rabu (3/1/2024).
Menimpali arahan tersebut, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menegaskan, pembelian LPG 3 kg baik di pangkalan resmi Pertamina atau agen penyalur wajib melalui sistem merchant apps dengan turut membawa KTP.
"Harusnya enggak bisa (beli LPG 3 kg tanpa KTP). Nanti kita coba lihat ya, nanti kita evaluasi, titiknya di mana (yang masih belum sesuai ketentuan) nanti dicek," kata Irto.
Terkait proses registrasi pembelian yang telah dilaksanakan per 1 Maret 2023, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mencatat masih adanya sejumlah evaluasi dalam program pembelian LPG 3 kg.
Pasalnya, Sugeng mencermati, dari total alokasi subsidi LPG 3 kg sebesar 8 juta metrik ton (MT) pada APBN 2023, tingkat kebocorannya masih sangat tinggi hingga menyentuh 40 persen.
"Subsidi itu kan untuk orang miskin. Hanya saja selama ini kita akui ketidak tepat sasarannya sangat tinggi. Bahkan mencapai angka di atas 35 persen, kalau tidak salah 37-40 persen tidak tepat sasaran," ujar Sugeng kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Jangan Justru Jadi Hambatan
Menurut dia, tabung gas melon saat ini sudah jadi kebutuhan pokok bagi warga kelas menengah bawah untuk masak memasak. Oleh karenanya, ia sepakat pembatasan pembelian LPG 3 kg harus betul-betul tepat sasaran bagi konsumen sesuai skema by name by address.
"Kalau dilaksanakan kapan, saya menyarankan harus melalui sosialisasi yang masif dulu. Supaya masyarakat yang memang berhak tidak terhambat gara-gara, misalnya, tidak punya KTP, tidak mampu menunjukan KTP dan sebagainya. Sehingga tidak perlu menimbulkan dinamika yang tidak perlu," ungkapnya.
Kategori konsumen LPG 3 kg sesuai data KTP jadi suatu kewajiban mutlak. Sehingga ia menyarankan perlunya kategorisasi data konsumen tidak mampu yang melibatkan kolaborasi lintas instansi. Di sisi lain, ia juga melihat sosialisasi pembelian LPG 3 kg per 1 Januari 2024 cenderung belum masif.
"Jadi kalau mau dimulai per 1 Januari 2024, pertanyaannya apakah sosialisasi masif sudah dilakukan? Kalau belum, saya kira kita khawatir terjadi tidak optimal gara-gara itu," kata Sugeng.
Advertisement
Masih Belum Tepat Sasaran
Sugeng melihat proses pemilahan konsumen by name by address merupakan sesuatu yang telah dilakukan untuk penyaluran program bansos lain, namun cenderung belum optimal. Sehingga ia mendesak untuk dicarikan mekanisme yang betul-betul tepat sasaran.
"Kenapa, karena banyak sekali masyarakat yang berhak justru tidak kebagian. Masyarakat yang justru semustinya tidak berhak, masuk kemampuan ekonomi berlebih justru kebagian," imbuh Sugeng.
"Ini memang diperlukan kerjasama intensif antar pemangku kepentingan. Desa, kelurahan, mustinya punya data valid tentang masyarakat yang memang berhak, agar tetap aktual. Karena faktanya tadi, ketidaksadarannya tinggi sekali, bahkan sampai 40 persen," tuturnya.