Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki berbagai warisan budaya, salah satunya adalah kain batik yang diakui dunia. Mengutip buku 'Batik Edisi 2' karangan Herry Lisbijanto, kata "batik" berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu "amba", yang mempunyai arti "menulis" dan "titik" yang mempunyai arti "titik". Di mana, dalam pembuatan kain batik, sebagian prosesnya dilakukan dengan menulis, dan sebagian dari tulisan tersebut berupa titik.
Titik dapat pula berarti tetes, seperti diketahui bahwa dalam membuat batik, dilakukan pula penetesan lilin di atas kain putih. Mengutip buku 'Seni Batik Indonesia', karya S.K Sewan Susanto, batik Indonesia dinilai kaya akan teknik, simbol, filosofi, dan budaya yang terkait dengan kehidupan masyarakat.
Advertisement
Dengan makna batik Indonesia yang begitu mendalam tersebut, akhirnya pada 2 Oktober 2009 UNESCO mengakui sekaligus menetapkan batik Indonesia sebagai karya agung warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi (masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity).
Pengakuan oleh UNESCO itu dapat menjadi tonggak penting untuk mengembangkan eksistensi batik di kancah internasional. Sebagai wujud syukur sekaligus bangga atas pengakuan itu, Presiden Republik Indonesia, pada 17 November 2009, telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009 tentang Hari Batik Nasional yang jatuh pada 2 Oktober mulai 2009.
Kain batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang menjadi identitas bangsa. Warisan budaya ini bahkan sudah ada sejak zaman kerajaan Mataram, sekitar tahun 1587. Agar tidak punah dan ditinggalkan, generasi muda harus selalu melestarikannya dengan berbagai upaya, apa sajakah yang telah dilakukan?
Menyadari pentingnya pelestarian wastra Indonesia yang berupa kain dan batik, berbagai upaya dilakukan oleh Swara Gembira, yaitu sebuah Creative House yang mengupayakan revolusi seni budaya Indonesia.
Pelestarian Wastra Indonesia oleh Swara Gembira
Direktur Kemitraan Swara Gembira, Natasha Zevanya, mengungkapkan alasan mengapa pelestarian batik adalah suatu hal yang penting untuk dilakukan. "Mungkin semua orang sudah mengetahui bahwa batik adalah warisan leluhur, (batik) itu warisan budaya. Tapi, sampai kapan batik dan wastra itu cuma dijadikan sebagai warisan dan sekadar produk budaya saja, tanpa dikembangkan?," jelasnya kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, melalui Zoom Meeting, beberapa waktu lalu.
Zevanya juga mengungkapkan, ada urgensi dalam pelestarian batik, karena selain agar warisan budaya tersebut tidak hilang dimakan zaman, pembuatan batik juga melibatkan banyak pengrajin yang mencari nafkah dari membatik.
"Jadi dengan menyelamatkan dan melestarikan wastra indonesia seperti kain songket, tenun, dan juga batik banyak sektor-sektor industri yang terselamatkan juga," tutur Zevanya.
Dalam upaya pelestarian wastra Indonesia, Swara Gembira melakukan berbagai program, yang salah satunya adalah kampanye melalui media sosial. "Sudah memulai kampanye yang diprakarsai oleh Swara Gembira dari 2017, kemudian lebih agresif lagi kampanye itu dilakukan tahun 2019 selama masa pandemi," bebernya, seraya menambahkan bahwa kampanye dilakukan dengan tagar #BerkainBersama dan #BerkainGembira di media sosial.
Advertisement
Kampanye Berkain Bersama
Kampanye yang mereka inisiasi sontak menjadi sebuah tren yang diikuti oleh banyak orang. Mereka yang ikut serta pada tren tersebut membagikan video mengenai kain dan batik yang dipadupadankan dengan pakaian modern di media sosialnya.
Lebih lanjut, Zevanya menjelaskan dampak sosial dari kampanye yang dilakukan oleh Swara Gembira. "Setelah tahun 2019 orang-orang menjadi lebih sadar, dan semenjak saat itu orang-orang pun, menurut penglihatan saya, tidak aneh lagi, (ketika) melihat orang (lain) pakai kain ke konser, orang pakai kain ke mall, mau hangout sama teman-teman, atau sekadar nongkrong, itu menjadi hal yang lumrah, bukan sesuatu yang aneh lagi," papar Zevanya.
Selain itu, dalam upayanya menyebarkan kecintaan terhadap wastra Indonesia, Swara Gembira memayungi sebuah komunitas pecinta wastra Indonesia di kalangan generasi muda, yaitu Remaja Nusantara. "Remaja nusantara ini membantu anak-anak muda lebih khususnya untuk lebih percaya diri memakai kain, untuk menormalisasi memakai kain di kehidupan sehari-hari," terangnya.
Komunitas Remaja Nusantara
Ia menjelaskan bahwa Remaja Nusantara mengadakan program bimbingan berkain setiap bulannya. Cara penggunaan kain yang diajarkan akan selalu berbeda pada setiap sesinya. "Ada cara pakai kain bali, ada cara pakai kain jawa, itu tergantung harinya," tuturnya.
Sebelum sesi bimbingan berkain dilakukan, ia mengatakan, bahwa juga akan dijelaskan tentang sejarah wastra di Indonesia. Selain itu, ada penjelasan wastra sebagai identitas bangsa, yang sangat membantu menyebarkan edukasi kepada generasi muda tentang kain dan batik Indonesia.
Terinspirasi dari Remaja Nusantara, Zevanya menjelaskan, bahwa bermunculan pula komunitas pecinta wastra di berbagai daerah Nusantara. "Di Pekalongan itu ada Bumi Wastra, di Surabaya ada Pemuda Berkain Surabaya. Jadi, komunitas pecinta wastra ini juga muncul di tiap daerah, itu sangat membantu kami juga sebagai gerakan seni budaya, sangat membantu untuk melestarikan kecintaan anak-anak zaman sekarang terhadap kain," ungkapnya.
Ia juga menjelaskan hambatan generasi muda kurang mencintai wastra Indonesia. Menurut Zevanya, bagi generasi muda, kain selalu diasosiasikan sebagai suatu hal yang kuno dan sakral.
Advertisement
Hambatan Para Generasi Muda Kurang Melestarikan Wastra
"Jadi, tiap mau pakai, seakan-akan harus tau cara pakainya, ada corak tertentu yang gak boleh kita pakai, bilangnya cuma raja saja yang boleh pakai, kalau kamu bukan warga Keraton kamu gak bisa pakai corak ini, warna ini cuma bisa dipakai sama warga Keraton," jelasnya.
"Menurut saya itu menghambat, padahal di kesehariannya itu bebas, tidak ada aturan khusus, misalnya orang tertentu orang gak boleh pakai (kain)," ia menambahkan.
Selain itu, menurutnya motif dan desain kain batik saat ini, kurang relevan dengan selera para generasi muda sehingga mereka cenderung merasa bosan dengan variasi motif yang ada. "Padahal, boleh banget kalau misalnya, kain warnanya dibikin jadi pop (mencolok). Warnanya, dibikin terang seperti misalnya orange terang," paparnya.
Pengrajin yang sudah berusia lanjut juga menjadi kendala dalam menghadirkan kain batik dengan motif yang relevan bagi para generasi muda. Menurut Zevanya, mereka juga sudah mulai kesulitan mengetahui apa yang disukai oleh anak muda saat ini.
"Sebenarnya, pengrajin kan kebanyakan orang lama ya, jadi anak-anak muda yang ingin melanjutkan industri batik sebenarnya sudah mulai sedikit," imbuhnya.
Pembatik Muda dari Yogyakarta
Menjawab persoalan mengenai semakin sedikitnya pengrajin batik dari generasi muda, Nuri Ningsih Hidayati asal Sleman, Yogyakarta, adalah salah satu pembatik muda yang melestarikan warisan budaya tersebut. Ia merintis sebuah bisnis kain batik bernama Marenggo Warna Alam pada 2015, saat ia berusia 23 tahun.
"Ketertarikannya berawal dari melihat motif batik yang bagus. Lalu, aku ingin mencoba untuk membuat motif sendiri, jadi mengembangkan dari berbagai motif yang aku lihat," ungkap Nuri, Founder Marenggo Batik, kepada Tim Lifestyle Liputan6.com.
Nuri juga mengungkapkan, perjalanannya dalam memulai bisnis batik Marenggo. "Walaupun beberapa orang menganggap itu (kain batik) adalah sesuatu yang kuno, namun ternyata setelah saya membuat motif yang berbeda atau inovasi motif, ternyata diterima di pasaran dan dari situ mulailah untuk terus mengembangkan batik," tutur Nuri.
Ia juga mengungkapkan bahwa menurutnya, batik bukan hanya sekadar goresan tangan, tapi di situ ada banyak nilai-nilai yang terkandung dalam motif dan simbolnya, yang masih dipercaya sampai saat ini. "Tidak hanya sekadar membuat batik, gambaran, tapi ternyata di situ ada makna-maknanya yang bisa kita gali dan bisa kita implementasikan di kehidupan kita," jelas Nuri
Advertisement
Motif Batik Marenggo
Sebagai contoh, ia menyebutkan, misalnya dari motif batik Wahyu Temurun, motif tradisional itu memiliki arti rejeki yang terus mengalir. Nuri juga menjelaskan, bahwa Marenggo Batik, juga mengembangkan berbagai motif salah satunya adalah dari bentuk kawung yang memiliki arti cinta dan kasih.
Bentuk kawung tersebut dikombinasikan dengan bunga marenggo, daun marenggo, dan bunga sakura. Ia juga membuat koleksi dengan motif baru lainnya, yaitu dengan tema Tanah Basah.
"Kita mengambil tema Tanah Basah itu karena konsepnya memang (agar) kita jangan lupa untuk dimanapun kita berada, kita harus selalu berpijak pada bumi kita tercinta," ungkapnya.
Nuri juga menjelaskan bahwa motif tanah basah adalah simbol untuk menebarkan kasih sayang kepada semua makhluk yang ada di dekat kita. Koleksi itu juga merupakan hasil eksperimen untuk menghasilkan yang warna baru.
Marenggo Batik beserta timnya meneliti berbagai warna-warna tanah yang ada di Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk menemukan warna tanah terbaik. Melalui risetnya, ia menemukan salah satu tanah di daerah Klaten, Jawa Tengah, yang digunakan dalam pembuatan koleksi barunya itu.