Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kasus dugaan pemerkosaan yang terjadi di dunia virtual (virtual reality/VR) atau metaverse, tengah diselidiki oleh pihak kepolisian Inggris.
Korban, yang diketahui seorang gadis remaja berusia sekitar 16 tahun, dikabarkan mengalami pemerkosaan dalam dunia virtual, saat dia sedang berada di sana dengan headset VR, dalam bentuk avatar.
Advertisement
Dalam kabar yang pertama kali dilaporkan oleh Daily Mail, sumber polisi menyebutkan meski tidak mengalami luka fisik, korban mungkin menderita trauma seperti korban pemerkosaan di dunia nyata.
"Ada dampak emosional dan psikologis pada korban yang memiliki dampak jangka panjang dibandingkan cedera fisik apa pun," kata pihak kepolisian kepada Daily Mail, seperti mengutip New York Post, Jumat (5/1/2024).
Meski begitu, pihak berwenang Inggris khawatir bahwa tidak mungkin untuk mengajukan tuntutan apabila merujuk pada undang-undang yang ada, di mana didefinisikan bahwa kekerasan seksual sebagai sentuhan fisik secara seksual tanpa persetujuan.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri James Cleverly, membela dilakukannya investigas terhadap dugaan pemerkosaan dalam realitas virtual ini.
"Saya tahu mudah untuk menganggap hal ini tidak nyata, namun inti dari lingkungan virtual ini adalah lingkungan tersebut sangat imersif," kata Cleverly dalam program Nick Ferrari at Breakfast di LBC.
"Dan kita berbicara tentang seorang anak di sini, dan seorang anak mengalami trauma seksual. Hal ini akan menimbulkan dampak psikologis yang sangat signifikan dan kita harus sangat berhati-hati jika mengabaikan ini."
Menurut Cleverly, seseorang yang ingin memperkosa avatar anak-anak dalam gim di dunia virtual, bisa jadi adalah orang yang ingin melakukan hal-hal buruk di dunia nyata.
Ciptakan Pintu Gerbang Bagi Predator
Sementara menurut Ian Critchley, kepala investigasi perlindungan dan pelecehan anak di National Police Chief's Council, metaverse menciptakan pintu gerbang bagi predator, untuk menjadikan anak-anak sebagai korban.
Critchley pun menyoroti perlunya evolusi berkelanjutan dalam metode kepolisian untuk mengatasi kejahatan yang dilakukan secara online dan perlunya pengesahan undang-undang yang relevan.
Dua juga meminta perusahaan teknologi untuk berbuat lebih banyak demi menjaga keamanan penggunanya.
Kejadian ini sebenarnya bukan laporan pertama, terkait kekhawatiran serangan bermotif seksual di dunia virtual. Mengutip BBC, tahun 2022, peneliti Nina Jane Patel menyebut dirinya dilecehkan di dunia virtual Meta, Horizon Venues (sekarang bagian dari Horizon Worlds).
Patel mengatakan, ia dikelilingi oleh tiga hingga empat avatar bersuara dan mewakili laki-laki, yang melakukan pelecehan seksualsecara verbal dan kemudian melakukan pelecehan seksual terhadap avatarnya.
Advertisement
Meta Sebut Sudah Punya Perlindungan Otomatis
Patel menyebut pelaku menggunakan bahasa-bahasa misoginis, serta terus menyentuh avatarnya, "dengan cara yang hanya dapat digambarkan sebagai serangan seksual" terhadap avatarnya.
Patel pun mengungkapkan dia khawatir bahwa di masa depan, teknologi akan memungkinkan seseorang merasakan serangan virtual semacam itu secara fisik.
Terkait kejadian ini, Meta mengatakan bahwa perilaku seperti yang digambarkan pada kasus ini tidak memiliki tempat dalam platform mereka.
Meta pun menyebut, mereka juga sudah punya perlindungan otomatis untuk semua pengguna yang disebut personal boundary, di mana fitur ini menjauhkan orang tidak dikenal beberapa meter dari pengguna.
"Meskipun kami tidak diberi rincian apa pun tentang apa yang terjadi sebelum berita ini diterbitkan, kami akan memeriksanya ketika rincian sudah tersedia bagi kami," ujar perusahaan.
Meta juga menggunakan sejumlah teknologi yang dirancang khusus, untuk membatasi paparan pengguna remaja terhadap konten ofensif dan interaksi dengan orang yang tidak mereka kenal.
6 Tips Lindungi Diri dari Pelecehan Seksual
Advertisement