Liputan6.com, Jakarta - Pada 2024 ini pemilu dan pilkada dihelat. Momentum seleksi kepemimpinan pada kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Hak pilih warga negara menjadi jalan bagaimana nasib negeri ini dipertaruhkan oleh mereka yang terpilih. Apakah yang terpilih itu manusia yang memiliki kepemimpinan ataukah sebatas demagog yang jago mencitra diri.
Advertisement
Masa kampanye memang terlimitasi oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye, yakni 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Namun jauh hari, telah berseliweran sosialisasi para calon pemimpin peserta Pemilu yang mencitrakan diri sebagai calon pemimpin yang akan dipilih.
Secara formil memang bukan kampanye, namun secara materil aktivitas tersebut adalah kampanye. Karena tujuannya toh sama saja, yakni ingin dipilih.
Dunia media sosial kita penuh dengan sosok calon pemimpin. Citranya menarik. Ada yang terkesan merakyat dengan konten terjun langsung di beceknya pasar, menyantuni kaum miskin kota. Ada yang mencoba meraih simpati dengan berseluncur di isu-isu popular berbekal flyer.
Bahkan ada yang tampil lucu nan konyol, berkolaborasi dengan pelawak, hanya untuk menggaet kedekatan emosional dan meraih popularitas.
Ragam teknik tersebut merayakan suatu fase, yang dalam filsafat disebut postmodern. Menurut Baudrillard (1980), perkembangan media elektronik menjadi faktor pendorong terbesar postmodern.
Media, dalam penilaiannya, telah mengubah hubungan manusia dengan sejarah dan menciptakan tatanan baru. Kehidupan sosial manusia pada era postmodern dipengaruhi oleh sign atau tanda yang muncul melalui media.
Sebagai efek dari postmodern, terdapat aktivitas digital politik. Fenomena digital politik telah muncul sebagai kombinasi dari teknologi digital dan taktik politik. Menciptakan lanskap baru bagi politisi, pemilih, dan aktivis.
Media sosial memberi politisi platform untuk menjangkau pemilih. Tantangannya, misinformasi dapat menyebar cepat dan polarisasi opini meningkat. Sebaliknya, membedah informasi asli dari yang palsu menjadi tantangan bagi pemilih. Lebih lanjut menilik faktor daya baca dan minat baca.
Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center di tahun 2022 memaparkan hasil survei indeks literasi digital kita di 3,54 angka agregat, dengan skala 0-5. Angka ini notabene rendah sebagai cerminan literasi digital di Indonesia.
Soal bagaimana penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam mencari, menganalisis, menyebarkan informasi. Data diambil dari sampel 10.000 yang beragam (multistage random sampling) di 514 kabupaten/kota.
Rinciannya, indeks literasi digital 28 % dari Baby Boomers (55-70 tahun), 39 % dari Gen X (39-54 tahun). Gen Z (13-22 tahun) memiliki indeks literasi digital yang tinggi yakni sebanyak 59,7% dan Gen Y (23-38) atau milenial 54%. Data ini terbaca bahwa semakin tua manusia, semakin rendah literasi digitalnya.
Notabene, mencermati data Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), pada Pemilu 2024 sebanyak 52% pemilih adalah Gen Z dan Milenial. Dua kelompok tersebut masuk dalam klasifikasi manusia yang banyak berinteraksi dengan dunia digital.
Sedang 48% nya adalah usia di atas 38 – 70 tahun yang memiliki kelemahan dalam mencermati informasi di dunia maya. Tak heran penyebaran hoax, kampanye hitam, secara tidak sadar yang menjadi korban adalah kelompok umur tersebut.
Arah digital politik kita akan menjadi variabel penting dalam menciptakan makna kepemimpinan hari ini dan seterusnya. Masyarakat hak pilih diperhadapkan oleh kepemimpinan yang dibangun di media sosial.
Rekam jejak kini tak lebih penting dari viral belaka. Sebagai teori yang dapat menggambarkan fenomena hari ini adalah Neo-emergent theory oleh Philip (2003).
Dalam teori yang dianggap paling mutakhir ini, pemimpin dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya melalui media. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi wacana ideal tentang pemimpin yang dipromosikan itu.
Makna Kepemimpinan
Jadi, bukan hal-hal substansial dan bisa divalidasi langsung sebagai tindakannya. Melainkan tangkapan tanda dan makna sebagaimana fenomena postmodern.
Tak heran jika ke depan makna kepemimpinan menjadi bergeser. Bahkan politisi berekam jejak penipu dapat meraih peluang dukungan terbanyak jika mampu mengelola data dan memanfaatkan kecanggihan teknologi disertai strategi dan taktik politik yang tepat.
Ini bukan tidak mungkin jika diperhadapkan karakter pemilih Indonesia yang lebih cenderung sebagai pemilih emosional.
Berdasarkan data Badan Riset dan Invasi Nasional, sebagaimana diungkap Wasisto Raharjo Jati, pada 2014-2019, pemilih rasional berkisar pada angka 5-10%. Umumnya tinggal di perkotaan, dari kelompok ekonomi menengah atas dan kelompok kritis.
Kemudian, data KPU RI mencuatkan 48% pemilih adalah usia di atas 38 – 70 tahun yang memiliki kelemahan dalam mencermati informasi di dunia maya.
Jumlah pemilih emosional yang sangat tinggi, diikuti angka pemilih yang rendah literasi digitalnya juga tinggi, adalah data bahwa masih banyak mangsa empuk kampanye digital politik yang tidak substansial.
Banyak calon pemilih yang akan memilih tanpa disertai pertimbangan rasional, sebagaimana fenomena postmodern.
Logika postmodern tidak lagi memakai silogisme, tapi bahasa dan makna. Makna menentukan segalanya. Siapa yang memberi makna adalah siapa saja.
Penggunaan buzzer politik, mesin influencer, stakeholder memiliki pengaruh signifikan dalam menyebarkan makna tersebut. Terlebih Dengan kemajuan teknologi, data pemilih dapat dianalisis untuk mengidentifikasi tren, preferensi, dan bahkan prediksi perilaku pemilih.
Ragam prespektif data pemilih yang dicatut diatas setidaknya mencerminkan bahwa kita sangat membutuhkan penguatan dari sisi faktor pendidikan, penguatan literasi digital dan pendidikan politik.
Demokrasi tak bisa sehat tanpa asupan itu semua. Upaya tersebut patut dimunculkan sebagai gerakan bersama dalam meningkatkan jumlah pemilih yang rasional.
Patut direnungkan bahwa demokrasi bukan sekadar soal formal yang membicarakan perihal semua orang bisa memimpin (equal) semua orang. Namun notabene yang lebih penting dari itu adalah harus memperhatikan manusia mana yang layak memimpin kita.
Itulah pentingnya kita menjaga makna kepemimpinan. Jangan biarkan tergerus oleh fenomena postmodern yang dimanfaatkan aktivitas kampanye politik menipu, yang melahirkan pemimpin karbitan, pencitraan palsu yang menutupi kapasitas dan rekam jekanya.
Dalam pergulatan sejarah, dulu pemimpin lahir dari desingan peluru, mimbar rakyat, aktivisme yang fenomenal menciptakan Bung Karno, Sutan Syahrir, K.H Agus Salim dkk dengan kapasitas intelektual yang mumpuni.
Orang-orang hebat lahir dari proses yang hebat. Ke depan jangan biarkan pemimpin lahir dari gimik di facebook, goyangan di tiktok, foto instagramable. Lahir dari tipuan tampilan di media sosial tanpa rekam jejak yang jelas.
Sebagai calon pemimpin masa depan, generasi muda patut memaknai fenomena hari ini dengan adaptif. Menciptakan rekam jejak yang baik sejak dini dan menguasai teknologi dus memahami politik digital.
Kepemimpinan haruslah dimaknai secara filosofis. Melepaskan sekadar tanda dan makna yang dicitrakan media, membangun citra tersebut dengan faktual. Hebat di jalanan, gemilang di media.
Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilih, wajib menelusup ke hal-hal substansial, berdasarkan kesadaran rasional. Kita mencari pemimpin yang memiliki kapasitas dan kualitas intelektual.
Bukan pemimpin yang ketika rakyatnya lapar, ia memosting memanen padi di media sosial, sementara harga beras tak kunjung turun, mafia pupuk adalah kerabatnya juga. Notabene rakyat yang lapar tidak memakan foto dan citranya, meskipun cukup terhibur dan sebenar-benarnya tertipu.
Baca Juga
Penulis: La Ode Muhram Naadu/ Ketua KNPI Kabupaten Muna
Advertisement