Liputan6.com, Jakarta - Para pilot Japan Airlines yang bertabrakan dengan pesawat Penjaga Pantai Jepang (JCG) di landasan pacu Bandara Haneda pada Selasa, 2 Januari 2024, mengaku tak melihat keberadaan pesawat tersebut saat mereka mendarat. Pihak maskapai menyampaikan informasi tersebut berdasarkan hasil penyelidikan internal mereka.
Mengutip Kyodo, Jumat (5/1/2024), data kontrol penerbangan yang diumumkan pada Rabu, 3 Januari 2024, menunjukkan tidak ada arahan menara kontrol yang mengarahkan pesawat Japan Airlines untuk segera membatalkan pendaratannya. Itu menunjukkan bahwa pilot maskapai maupun pihak pengontol tidak menyadari pesawat JCG sedang memasuki landasan yang hendak didarati pesawat jet tersebut.
Advertisement
Pesawat JCG diyakini berhenti di landasan sekitar 40 detik sebelum kecelakaan, kata sumber yang dekat dengan masalah tersebut. Pihak Japan Airlines mengatakan bahwa salah satu dari tiga pilot di pesawat tersebut mengatakan dia melihat sesuatu tepat sebelum kecelakaan itu yang menyebabkan dia khawatir.
Data kontrol penerbangan menunjukkan pengontrol menyalakan lampu hijau sebagai panduan sekaligus tanda pesawat jet diizinkan untuk mendarat sambil mengarahkan pesawat JCG untuk melanjutkan ke titik tunggu. Pesawat itu berhenti sebelum memungkinkannya memasuki landasan pacu tempat tabrakan terjadi.
Kapten pesawat JCG yang selamat dari kecelakaan itu, mengatakan dia diizinkan memasuki landasan pacu, menurut penjaga pantai. Namun, sambung JCG, bagian belakang pesawat mereka tiba-tiba terbakar.
Pihak Japan Airlines mengatakan akan memberikan semua informasi yang dibutuhkan ke otoritas transportasi Jepang dan kepolisian yang bertugas menginvestigasi penyebab kecelakaan fatal itu. Lima dari enam penumpang pesawat Bombardier DHC8-300 dari Penjaga Pantai Jepang meninggal dalam insiden tersebut.
Proses Evakuasi Berlangsung Kilat
Di sisi lain, seluruh penumpang dan awak kabin pesawat Japan Airlines bernomor 516 berhasil dievakuasi dengan cepat tak lama setelah kebakaran terjadi. Di antara para penumpang terdapat delapan anak berusia di bawah dua tahun.
Para awak kabin dengan sigap menggunakan megafon untuk menenangkan dan mengarahkan para penumpang yang panik agar segera keluar dari pintu darurat. Mereka mengarahkan secara manual setelah sistem pengumuman di pesawat tak berfungsi setelah tabrakan terjadi. Mengutip CNN, Rabu, 3 Januari 2024, banyak ahli penerbangan yang menganggap hal itu sebagai keajaiban di dunia penerbangan.
"Aku dengar ledakan sekitar 10 menit setelah semua orang dan aku keluar dari pesawat," kata penumpang bernama Tsubasa Sawada (28) kepada Reuters. "Aku hanya bisa menyebutnya sebagai sebuah keajaiban, kami bisa saja meninggal bila kami telat."
Pihak maskapai mengatakan empat dari seluruh penumpang pesawat yang dievakuasi langsung dilarikan ke rumah sakit. Namun, luka terparah yang dilaporkan adalah lebam-lebam yang dialami seorang penumpang.
Aksi para awak kabin yang bisa memobiliasi seluruh penumpang dengan cepat diapresiasi banyak pihak. "Masih terlalu dini untuk mengomentari secara spesifik insiden tersebut, tetapi yang jelas adalah bahwa para kru tampil dengan cara yang patut dicontoh," kata Steven Erhlich, Ketua PilotsTogether, sebuah badan amal yang didirikan di masa pandemi untuk mendukung para kru.
Advertisement
Sikap Para Penumpang Saat Evakuasi Berlangsung
Menurut Erlich, fakta bahwa para penumpang bisa dievakuasi tanpa membawa bawaan mereka yang tersimpan di bagasi juga membantu menyelamatkan nyawa mereka.
"Keterlambatan dalam evakuasi bisa menjadi bencana besar, semua demi membawa laptop atau tas jinjing. Kejadian ini bisa menjadi lebih buruk jika penumpang tidak mengindahkan peringatan untuk meninggalkan barang bawaannya," ujarnya.
Di samping itu, para penumpang dilaporkan tidak panik menghadapi situasi darurat di pesawat. Seorang penumpang bernama Satoshi Yamake bersaksi tentang hal itu. Saat pesawat mendarat, ia mengatakan tak merasakan sesuatu yang aneh.
"Kami mendarat dengan normal, tidak merasakan goncangan atau apapun," kata Yamake sesaat setelah dievakuasi dari pesawat yang bertabrakan itu.
Ia mengaku melihat api sesaat sebelum pengumuman evakuasi disampaikan. "Kami bisa membaui asap, tetapi para penumpang tidak terlalu panik," katanya seraya menyatakan ia tak terlalu takut saat kejadian berlangsung.
"Karena kami sudah mendarat, aku berpikir pesawat itu mungkin tidak akan meledak dengan segera. Kami semestinya baik-baik saja sepanjang semua orang keluar dari pesawat dengan teratur," imbuhnya lagi.
Kerugian yang Diderita JAL
Japan Airlines (JAL) memperkirakan kerugian yang harus ditanggung mencapai lebih dari USD 100 juta dari kecelakaan pesawat yang terbakar di Bandara Haneda, pada awal Januari 2024. Tepatnya, Japan Airlines memperkirakan bahwa tabrakan penerbangan JL516 dengan pesawat Penjaga Pantai mengakibatkan kerugian operasional sekitar 15 miliar yen atau USD 104,81 juta. Jika dikonversi ke Rupiah, nilai kerugian itu mencapai Rp1,6 triliun.
Mengutip Channel News Asia, Kamis, 4 Januari 2024, kerusakan pesawat milik maskapai akan ditanggung asuransi. Namun hingga kini, perusahaan masih menilai dampaknya terhadap perkiraan pendapatan untuk tahun keuangan yang berakhir pada 31 Maret 2024. Mengutip Japan Today, perusahaan diharapkan meraup laba laba bersih sebesar 80 miliar yen dari penjualan 1,68 triliun yen pada 2023.
Sumber-sumber industri asuransi mengatakan perusahaan asuransi AS, AIG, adalah perusahaan asuransi utama yang memberikan polis "semua-risiko" senilai USD 130 juta untuk pesawat berusia dua tahun yang hancur akibat kebakaran tersebut. Menurut Aviation Safety Network, ini merupakan kerugian pertama secara global pada pesawat model A350. Jenis ini, sebagian besar terbuat dari komposit karbon, yang mulai digunakan secara komersial pada 2015.
Saham JAL naik 0,4 persen karena perdagangan dilanjutkan setelah liburan Tahun Baru. Mereka awalnya turun sebanyak 2,4 persen sebelum pulih dari penurunan tersebut.
Advertisement