Pemerintah Israel Terpecah Belah soal Masa Depan Jalur Gaza

Perpecahan dalam koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ini terjadi saat perang Hamas Vs Israel memasuki bulan ketiga. Jika pemerintahannya runtuh, Israel kemungkinan akan menghadapi pemilu baru, di mana Netanyahu diprediksi dapat dikalahkan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Jan 2024, 15:49 WIB
Ilustrasi Israel (AP Photo/Tom Pringle)

Liputan6.com, Tel Aviv - Perselisihan dalam pemerintahan Israel terkuak ketika para anggota kabinet berdebat mengenai rencana masa depan Jalur Gaza dan bagaimana menangani penyelidikan terhadap kegagalan keamanan seputar serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Menteri keuangan Israel yang berhaluan kanan Bezalel Smotrich menggambarkan pertemuan kabinet keamanan pada Kamis (4/1/2024) sebagai diskusi penuh badai, sementara mantan Menteri Pertahanan Benny Gantz mengatakan serangan bermotif politik telah diluncurkan.

Perpecahan dalam koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ini terjadi saat perang Hamas Vs Israel memasuki bulan ketiga. Jika pemerintahannya runtuh, Israel kemungkinan akan menghadapi pemilu baru, di mana Netanyahu diprediksi dapat dikalahkan.

Sementara itu, rencana untuk tahap selanjutnya dari perang di Jalur Gaza dan masa depan wilayah itu pasca perang dibeberkan oleh Menteri Pertahanan Yoav Gallant dalam dokumen tiga halaman berjudul "Day After".

Gallant menggambarkan "pendekatan tempur baru" dengan fokus berkelanjutan untuk menargetkan para pemimpin Hamas di bagian selatan Jalur Gaza. Di Gaza Utara, dia mengatakan serangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan mencakup "penggerebekan, penghancuran terowongan teror, aktivitas udara dan darat, serta operasi khusus".

Setelah perang, militer Israel akan mempertahankan kebebasan operasional untuk bertindak di Jalur Gaza dan Israel akan terus melakukan pemeriksaan barang-barang yang memasuki wilayah tersebut.

Gallant, anggota Partai Likud yang berhaluan kanan-tengah pimpinan Netanyahu, menuturkan bahwa ketika tujuan perang telah tercapai maka tidak akan ada kehadiran warga sipil Israel di Jalur Gaza. Dia juga meluncurkan konsep satuan tugas multinasional pimpinan Amerika Serikat (AS) yang bertugas melakukan rehabilitasi Jalur Gaza.

Namun, rencana Gallant tidak memberikan banyak rincian mengenai pemerintahan masa depan di Jalur Gaza dengan hanya mengatakan bahwa entitas yang mengendalikan wilayah Palestina akan memanfaatkan kemampuan aktor-aktor lokal yang tidak bermusuhan, yang sudah ada di Gaza.

Menurut sebuah sumber, seperti dilansir CNN, Sabtu (6/1), rencana itu memicu diskusi berapi-api. Usai jeda pertemuan, kata sumber tersebut, Menteri Perhubungan Miri Regev melancarkan serangan.

"Setelah jeda, Miri Regev kembali dan meluncurkan pertarungan yang bocor ini," kata sumber tersebut.

Regev, yang juga anggota Likud, tidak menanggapi permintaan komentar.

Adapun Gantz, oposisi yang bergabung dengan kabinet perang pasca 7 Oktober, mengatakan, "Apa yang terjadi kemarin adalah serangan bermotif politik di tengah perang. Saya berpartisipasi dalam banyak rapat kabinet – tindakan seperti itu tidak pernah terjadi dan tidak boleh terjadi."

Dia tidak mengatakan siapa yang melancarkan serangan itu, namun dia mengkritik Netanyahu.

"Kabinet seharusnya membahas proses-proses strategis yang akan memengaruhi kelanjutan serangan dan keamanan kita di masa depan. Hal itu tidak terjadi dan perdana menteri bertanggung jawab atas hal itu," tutur Gantz, sambil mendesak Netanyahu untuk memilih antara persatuan dan keamanan di satu sisi dan politik di sisi lain.

Partai Likud balik mengecam Gantz.

"Selama perang, ketika rakyat bersatu, Gantz diharapkan bertindak secara bertanggung jawab dan berhenti mencari alasan untuk mengingkari janjinya untuk tetap berada dalam pemerintahan persatuan hingga perang berakhir," sebut pernyataan Likud.

Gantz secara luas dianggap sebagai penerus Netanyahu jika pemilu diadakan.


Dorongan untuk Mengusir Warga Gaza

Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berjalan dalam kegelapan dengan senter di kamp tenda darurat di daerah Muwasi, Minggu (31/12/2023). Israel telah mendorong warga Palestina untuk pindah ke Muwasi, dengan mengatakan bahwa mereka akan aman dari serangan pengeboman Israel. (AP Photo/Fatima Shbair)

Rencana Gallant dikritik oleh Smotrich, yang bersama dengan menteri keamanan nasional berhaluan kanan Itamar Ben-Gvir telah mengadvokasi permukiman kembali warga Jalur Gaza di luar daerah kantong tersebut.

"Solusi di Gaza memerlukan pemikiran dari sudut pandang baru dan perubahan konsep dengan mendorong migrasi sukarela dan kontrol keamanan penuh termasuk melanjutkan pemukiman," tulis Smotrich di Facebook.

Israel secara sepihak menghapus permukiman di Jalur Gaza pada tahun 2005.

Pengeboman tanpa pandang bulu yang dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza sejak 7 Oktober, sebut PBB, telah mengubah sebagian besar wilayah kantong itu menjadi gurun pasir, menyebabkan lebih dari 2,2 juta orang berisiko mengalami dehidrasi parah, kelaparan, dan penyakit. Setidaknya 1,93 juta warga Palestina di Jalur Gaza mengungsi akibat perang Hamas Vs Israel terbaru ini.

Pengungsian massal warga Gaza telah disandingkan dengan peristiwa "Nakba" atau bencana, yang merujuk pada pengusiran atau pelarian warga Palestina dari tanah mereka selama berdirinya Israel pada tahun 1948.

Otoritas kesehatan Gaza pada Jumat (5/1) mengatakan bahwa sejak 7 Oktober, serangan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 22.600 orang, di mana 70 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.

Smotrich sebelumnya mengatakan pemindahan warga Jalur Gaza dari tanah mereka dapat membuka jalan bagi Israel untuk "membuat gurun berkembang", sementara Ben Gvir menyatakan bahwa perang saat ini merupakan "peluang untuk berkonsentrasi dalam mendorong migrasi penduduk Gaza".

Seorang nasionalis Yahudi, Smotrich menyangkal keberadaan bangsa atau negara Palestina. Sosok Ben Gvir sendiri dikenal kontroversial, di mana dia sebelumnya pernah dihukum karena menghasut rasisme terhadap orang Arab dan mendukung organisasi teroris.


Kecaman Internasional

Foto yang diambil pada 11 Oktober 2023 ini menunjukkan pemandangan udara dari bangunan-bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel di kamp Jabalia bagi para pengungsi Palestina di Kota Gaza. (Yahya HASSOUNA/AFP)

Awal pekan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Matt Miller dengan tegas mengecam komentar yang menghasut dan tidak bertanggung jawab yang dibuat oleh Smotrich dan Ben-Gvir. Dia menggarisbawahi AS telah berulang kali dan konsisten diberitahu oleh Israel bahwa pernyataan seperti itu tidak mencerminkan kebijakan pemerintah Israel.

Merespons pernyataan Miller, Ben Gvir pada Selasa (2/1) menyebut AS sebagai "teman baik" dan mengatakan emigrasi ratusan ribu orang dari Gaza akan memungkinkan pemukim Israel untuk kembali dan hidup dengan aman.

Smotrich juga menanggapi pernyataan Miller. Melalui platform X alias Twitter dia menulis, "Lebih dari 70 persen masyarakat Israel saat ini mendukung solusi kemanusiaan dengan mendorong imigrasi sukarela warga Arab Gaza dan penyerapan mereka di negara lain."

Pejabat asing lainnya, mulai dari Eropa hingga Arab Saudi, dengan keras mengutuk retorika yang didorong oleh menteri kabinet sayap kanan Israel terkait pengusiran warga Gaza. Seorang pejabat PBB memperingatkan pemindahan paksa warga Palestina ke luar Jalur Gaza adalah tindakan genosida.

"Pemindahan paksa penduduk Gaza adalah tindakan genosida terutama mengingat tingginya jumlah anak-anak," ungkap pelapor khusus PBB untuk hak atas perumahan yang layak Balakrishnan Rajagopal via X.

Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna pada Jumat menegaskan bahwa Jalur Gaza adalah milik Palestina dan masa depannya tidak bergantung pada Israel.

"Bukan tanggung jawab Israel untuk menentukan masa depan Gaza, yang merupakan tanah Palestina; kita perlu kembali ke prinsip hukum internasional dan menghormatinya," ungkap Colonna.

Pada Kamis, kepala hak asasi manusia PBB Volker Turk mengatakan dia sangat terganggu dengan pernyataan pejabat tinggi Israel tentang rencana pemindahan warga sipil dari Gaza ke negara ketiga. Satu hari sebelumnya, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menuturkan, "Pemindahan paksa sangat dilarang karena merupakan pelanggaran berat terhadap HHI (Hukum Humaniter Internasional)."

Para pejabat AS sudah pernah mengatakan bahwa mereka pada akhirnya membayangkan Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki akan diperintah oleh pemerintah bersatu yang dipimpin oleh Otoritas Palestina yang direvitalisasi. Saat ini, Otoritas Palestina menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat, setelah kehilangan kendali atas Jalur Gaza ke tangan Hamas pada tahun 2007.

Delegasi Arab yang terdiri dari pejabat Arab Saudi, Qatar, Yordania, Turki, dan Otoritas Palestina telah menekankan dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Desember 2023, mereka memerlukan jaminan bahwa ada jalan menuju negara Palestina jika mereka berperan dalam rekonstruksi Gaza.

Infografis Ambisi Israel Bangun Zona Demiliterisasi di Gaza dan Tudingan Genosida. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya