Indonesia Mengutuk Keras Pernyataan Menteri Israel soal Pengusiran Warga Gaza, Kemlu RI: Masyarakat Internasional Harus Mencegahnya

Kemlu RI menegaskan bahwa pernyataan dua menteri Israel tersebut sangat provokatif, berlawanan dengan hukum internasional, dan tidak menghormati hak bangsa Palestina.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Jan 2024, 16:00 WIB
Pasukan IDF beroperasi di Jalur Gaza dalam foto selebaran yang dirilis 25 Desember 2023. (Israel Defense Forces (IDF)/Pasukan Pertahanan Israel) ​

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) mengutuk dan menolak keras pernyataan dua menteri kabinet Israel yang mengusulkan pengusiran warga Jalur Gaza dan dimulainya pembangunan permukiman Yahudi di wilayah itu.

"Pernyataan tersebut sangat provokatif, berlawanan dengan hukum internasional dan tidak menghormati hak bangsa Palestina," sebut pernyataan tertulis Kemlu RI yang dirilis pada Sabtu (6/1/2024).

Selain itu, Kemlu RI juga menyatakan bahwa masyarakat internasional harus mencegah pernyataan tersebut menjadi kenyataan.

Sebelumnya dilaporkan bahwa perselisihan dalam pemerintahan Israel terkuak ketika para anggota kabinet berdebat mengenai rencana masa depan Jalur Gaza dan bagaimana menangani penyelidikan terhadap kegagalan keamanan seputar serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Rencana untuk tahap selanjutnya dari perang di Jalur Gaza dan masa depan wilayah itu pasca perang dibeberkan oleh Menteri Pertahanan Yoav Gallant dalam dokumen tiga halaman berjudul "Day After".

Gallant menggambarkan "pendekatan tempur baru" dengan fokus berkelanjutan untuk menargetkan para pemimpin Hamas di bagian selatan Jalur Gaza. Di Gaza Utara, dia mengatakan serangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan mencakup "penggerebekan, penghancuran terowongan teror, aktivitas udara dan darat, serta operasi khusus".

Setelah perang, militer Israel akan mempertahankan kebebasan operasional untuk bertindak di Jalur Gaza dan Israel akan terus melakukan pemeriksaan barang-barang yang memasuki wilayah tersebut.

Gallant, anggota Partai Likud yang berhaluan kanan-tengah pimpinan Benjamin Netanyahu, menuturkan bahwa ketika tujuan perang telah tercapai maka tidak akan ada kehadiran warga sipil Israel di Jalur Gaza. Dia juga meluncurkan konsep satuan tugas multinasional pimpinan Amerika Serikat (AS) yang bertugas melakukan rehabilitasi Jalur Gaza.

Namun, rencana Gallant tidak memberikan banyak rincian mengenai pemerintahan masa depan di Jalur Gaza dengan hanya mengatakan bahwa entitas yang mengendalikan wilayah Palestina akan memanfaatkan kemampuan aktor-aktor lokal yang tidak bermusuhan, yang sudah ada di Gaza.

Menurut sebuah sumber, seperti dilansir CNN, Sabtu (6/1), rencana itu memicu diskusi berapi-api.


Gagasan Kontroversial Smotrich dan Ben-Gvir

Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berjalan dalam kegelapan dengan senter di kamp tenda darurat di daerah Muwasi, Minggu (31/12/2023). Israel telah mendorong warga Palestina untuk pindah ke Muwasi, dengan mengatakan bahwa mereka akan aman dari serangan pengeboman Israel. (AP Photo/Fatima Shbair)

Rencana Gallant dikritik oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang bersama dengan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir telah mengadvokasi pemukiman kembali warga Jalur Gaza di luar daerah kantong tersebut.

"Solusi di Gaza memerlukan pemikiran dari sudut pandang baru dan perubahan konsep dengan mendorong migrasi sukarela dan kontrol keamanan penuh termasuk melanjutkan pemukiman," tulis Smotrich di Facebook.

Israel secara sepihak menghapus permukiman di Jalur Gaza pada tahun 2005.

Smotrich sebelumnya mengatakan pemindahan warga Jalur Gaza dari tanah mereka dapat membuka jalan bagi Israel untuk "membuat gurun berkembang", sementara Ben Gvir menyatakan bahwa perang saat ini merupakan "peluang untuk berkonsentrasi dalam mendorong migrasi penduduk Gaza".

Seorang nasionalis Yahudi, Smotrich menyangkal keberadaan bangsa atau negara Palestina. Sosok Ben Gvir sendiri dikenal kontroversial, di mana dia sebelumnya pernah dihukum karena menghasut rasisme terhadap orang Arab dan mendukung organisasi teroris.

 


Kecaman Dunia

Operasi militer Israel yang tiada henti, sebagai respons terhadap serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober, mengoyak kehidupan penduduk Jalur Gaza. (AP Photo/Fatima Shbair)

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Matt Miller dengan tegas mengecam komentar yang menghasut dan tidak bertanggung jawab yang dibuat oleh Smotrich dan Ben-Gvir. Dia menggarisbawahi AS telah berulang kali dan konsisten diberitahu oleh Israel bahwa pernyataan seperti itu tidak mencerminkan kebijakan pemerintah Israel.

Merespons pernyataan Miller, Ben-Gvir pada Selasa (2/1) menyebut AS sebagai "teman baik" dan mengatakan emigrasi ratusan ribu orang dari Gaza akan memungkinkan pemukim Israel untuk kembali dan hidup dengan aman.

Smotrich juga menanggapi pernyataan Miller. Melalui platform X alias Twitter dia menulis, "Lebih dari 70 persen masyarakat Israel saat ini mendukung solusi kemanusiaan dengan mendorong imigrasi sukarela warga Arab Gaza dan penyerapan mereka di negara lain."

Pejabat asing lainnya, mulai dari Eropa hingga Arab Saudi, dengan keras mengutuk retorika yang didorong oleh menteri kabinet sayap kanan Israel terkait pengusiran warga Gaza. Seorang pejabat PBB memperingatkan pemindahan paksa warga Palestina ke luar Jalur Gaza adalah tindakan genosida.

"Pemindahan paksa penduduk Gaza adalah tindakan genosida terutama mengingat tingginya jumlah anak-anak," ungkap pelapor khusus PBB untuk hak atas perumahan yang layak Balakrishnan Rajagopal via X.

Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna pada Jumat menegaskan bahwa Jalur Gaza adalah milik Palestina dan masa depannya tidak bergantung pada Israel.

"Bukan tanggung jawab Israel untuk menentukan masa depan Gaza, yang merupakan tanah Palestina; kita perlu kembali ke prinsip hukum internasional dan menghormatinya," ungkap Colonna.

Pada Kamis, kepala hak asasi manusia PBB Volker Turk mengatakan dia sangat terganggu dengan pernyataan pejabat tinggi Israel tentang rencana pemindahan warga sipil dari Gaza ke negara ketiga. Satu hari sebelumnya, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menuturkan, "Pemindahan paksa sangat dilarang karena merupakan pelanggaran berat terhadap HHI (Hukum Humaniter Internasional)."

Para pejabat AS sudah pernah mengatakan bahwa mereka pada akhirnya membayangkan Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki akan diperintah oleh pemerintah bersatu yang dipimpin oleh Otoritas Palestina yang direvitalisasi. Saat ini, Otoritas Palestina menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat, setelah kehilangan kendali atas Jalur Gaza ke tangan Hamas pada tahun 2007.

Delegasi Arab yang terdiri dari pejabat Arab Saudi, Qatar, Yordania, Turki, dan Otoritas Palestina telah menekankan dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Desember 2023, mereka memerlukan jaminan bahwa ada jalan menuju negara Palestina jika mereka berperan dalam rekonstruksi Gaza.

Infografis Ragam Tanggapan Rencana Zona Demiliterisasi di Gaza dan Tudingan Genosida. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya