Liputan6.com, Jakarta - Krisis iklim sebelumnya telah diidentifikasi sebagai ancaman terhadap kopi dan bir. Kini, dampaknya dilaporkan dapat meluas ke kenikmatan hidup lainnya: makanan penutup alias dessert.
Harga gula global telah melonjak ke tingkat tertinggi sejak tahun 2011 menyusul kekhawatiran akan rendahnya tingkat produksi di India, yang mengalami musim kemarau ekstrem yang mengancam tanaman pangan, dan Thailand, yang menghadapi kekeringan parah. Kedua negara tersebut merupakan eksportir gula terbesar, setelah Brasil.
Advertisement
Meningkatnya suhu global – tahun 2023 diperkirakan akan dikonfirmasi secara luas sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat – memicu kekeringan dan cuaca ekstrem lainnya yang memengaruhi hasil pangan, termasuk gula. Kenaikan harga sudah mulai meluas ke cokelat, permen, dan dessert lainnya.
Konsumen Amerika Serikat (AS) merasakan harga gula dan permen naik sebesar 8,9 persen pada tahun 2023 dan diperkirakan akan terjadi kenaikan sebesar 5,6 persen pada tahun ini, menurut Kementerian Pertanian AS, yang jauh di atas rata-rata historis.
Pada November, Mondelez, perusahaan besar yang mencakup merek Cadbury, Oreo, dan Toblerone, telah memperingatkan kenaikan harga produk-produknya.
"Harus ada kenaikan harga secara langsung bagi konsumen karena tingginya harga gula dan kakao," kata CEO Mondelez Dirk Van de Put kepada Bloomberg, seperti dilansir The Guardian, Sabtu (6/1/2024).
Diperparah Oleh El Nino
Gernot Wagner, ekonom iklim di sekolah bisnis Universitas Columbia, memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan besar memiliki beragam motivasi untuk menaikkan harga. Namun, ancaman mendasar yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tidak dapat disangkal.
"Cuaca ekstrem memengaruhi makanan – setahun yang lalu alpukat, sekarang gula," tutur Wagner. "Climateflation (fenomena kenaikan harga akibat perubahan iklim) ... semakin buruk."
Permasalahan dalam produksi gula diperparah oleh ancaman pembatasan ekspor dari negara-negara produsen gula, upaya menjaga stok komoditas gula mereka sendiri, dan kemacetan pelabuhan di Brasil, yang menghambat ekspor.
Harga dan impor gula ke AS dipengaruhi oleh berbagai peraturan, artinya dampak dari tingginya harga gula akan lebih kecil dibandingkan di beberapa negara lain. Dampak paling parah akan dirasakan oleh negara-negara berkembang dan petani subsisten, ungkap Joseph Glauber, peneliti senior di International Food Policy Research Institute.
"Tidak diragukan lagi harga gula saat ini sangat, sangat tinggi dan akan tetap tinggi sampai kita melihat El Nino mereda," tutur Glauber, mengacu pada peristiwa iklim berkala yang diperkirakan akan semakin mempercepat suhu global pada tahun ini.
"Masalahnya adalah keterjangkauan. Di AS dan negara-negara berpendapatan tinggi lainnya akan terjadi peningkatan biaya pangan yang akan dirasakan oleh rumah tangga, khususnya rumah tangga yang lebih miskin, namun lain ceritanya jika negara-negara yang 40 persen pengeluarannya adalah untuk makanan, hal ini akan sangat terdampak."
Glauber menambahkan, "Ada kekhawatiran mengenai dampak perubahan iklim dalam jangka panjang dengan perpindahan area tanam dan volatilitas harga barang-barang seperti beras dan gula yang lebih tinggi."
Advertisement
Ancaman Inflasi Pangan Meningkat
Penelitian telah menunjukkan bahwa pemanasan global akan sangat menghambat kemampuan negara-negara seperti China untuk menanam padi dengan volume yang ada saat ini, sementara para peneliti menemukan bahwa produksi jagung global dapat merosot sebesar 24 persen pada tahun 2030.
Di lain sisi, perubahan suhu dan pola curah hujan dapat membantu beberapa tanaman lain seperti gandum tumbuh subur di negara-negara seperti Rusia dan Kanada, yang saat ini suhunya terlalu dingin untuk tumbuh.
"Secara keseluruhan, inflasi pangan di seluruh dunia bisa mencapai 3 persen per tahun pada tahun 2030-an karena krisis iklim jika upaya adaptasi besar-besaran tidak dilakukan," demikian dinyatakan Bank Sentral Eropa tahun lalu.