DJP: Pemberlakuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai 1 Januari 2024 Tak Timbulkan Pajak Baru

Tarif Efektif Rata-rata (TER) PPh Pasal 21 ini bukan merupakan peraturan baru, melainkan sudah diterapkan sejak tahun lalu untuk mempermudah dalam penghitungan PPh 21.

oleh Tira Santia diperbarui 08 Jan 2024, 16:15 WIB
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti, dalam media briefing Update Kebijakan Perpajakan Terkini, di Kantor DJP, Senin (8/1/2024). (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan pemberlakuan Tarif Efektif Rata-rata (TER) PPh Pasal 21 dalam Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2023 tidak menimbulkan potensi pajak baru.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, menegaskan TER PPh Pasal 21 ini bukan merupakan peraturan baru, melainkan sudah diterapkan sejak tahun lalu untuk mempermudah dalam penghitungan PPh 21.

"Yang harus saya sampaikan terkait Tarif Efektif Rata-rata (TER) itu sebetulnya bukan barang baru, bukan pajak baru dan tidak ada tambahan beban baru, ini hanyalah semata-mata kemudahan yang diberikan Pemerintah dalam menghitung PPh pasal 21," kata Dwi dalam media briefing Update Kebijakan Perpajakan Terkini, di Kantor DJP, Senin (8/1/2024).

Diketahui, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pemerintah No. 58 Tahun 2023 (PP 58/2023) tentang tarif pemotongan pajak penghasilan pasal 21 (Pph21) atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib pajak orang pribadi.

Peraturan ini ditetapkan pada 27 Desember 2023 dan mulai di sosialisasikan secara resmi pada tanggal 29 Desember 2023, dan berlaku mulai 1 Januari 2024.

"Ini sudah ada dulu (TER), cuman karena dikeluarkannya sekarang jadi seolah-olah ada penambahan beban baru dan pajak baru, TER ini istilah yang biasa kita gunakan untuk menghitung PPh 21," jelasnya.

Dalam paparannya, Dwi menjelaskan bahwa pemotongan PPh Pasal 21 yang menggunakan TER hanya dilakukan pada masa pajak Januari hingga November. Maka pada Desember, PPh Pasal 21 dihitung ulang menggunakan tarif pasal 17 ayat 1.

Misal sebegai contoh, Tuan 'A' bekerja pada perusahaan PT ABC dan memperoleh gaji Rp 10.000.000 per bulan, serta membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000 per bulan. Tuan 'A' menikah dan tidak memiliki tanggungan (PTKP K/0).

Maka penghitungan dengan TER, yakni Januari - November : 2 persen x Rp 10.000.000 = Rp 200.000 per bulan. Kemudian, untuk Desember Rp 2.175.000 (PPh setahun) - (11x Rp 200.000)= Rp 515.000 pajak terhutang yang harus dibayar wajib pajak.


Mulai Berlaku 1 Januari 2024, Simak Aturan Baru Tarif Efektif PPh 21

Petugas melayani masyarakat yang ingin melaporkan SPT di Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Hingga 9 Maret 2020, pelaporan SPT pajak penghasilan (PPh) orang pribadi meningkat 34 persen jika dibandingkan pada tanggal yang sama tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah merilis aturan baru mengenai perhitungan tarif efektif pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Aturan ini mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2024.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Penerbitan aturan baru perpajakan ini untuk memudahkan dam nenyederhanakan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak atas pemotongan PPh 21.

Penetapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan telah memperhatikan adanya pengurang penghasilan bruto berupa biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti menjelaskan, tarif efektif untuk penghitungan PPh Pasal 21 tidak memberikan beban pajak baru.

“Tidak ada tambahan beban pajak baru sehubungan dengan penerapan tarif efektif,” kata dia dikutip dari Antara, Senin (1/1/2024).

Tujuan diterbitkannya PP tersebut untuk memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak terutang. Menurut Dwi, kemudahan itu tercermin pada kesederhanaan cara penghitungan pajak terutang.

Sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif Pasal 17 UU PPh.


Siapkan Alat Bantu

Warga mengurus layanan perpajakan di Kantor KPP Pratama Jakarta Jatinegara, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022). Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak resmi memulai penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan perpajakan ke depannya. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Dengan PP itu, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif.

“Penerapan tarif efektif bulanan bagi Pegawai Tetap hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain Masa Pajak Terakhir, sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 setahun di Masa Pajak Terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh seperti ketentuan saat ini,” jelas Dwi.

Dwi mengatakan DJP saat ini menyiapkan alat bantu yang akan membantu dalam memudahkan penghitungan PPh pasal 21. Alat itu ditargetkan dapat diakses melalui DJPOnline mulai Januari 2024.

“Selanjutnya pemerintah akan mengatur ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan yang saat ini dalam proses penyusunan tahap akhir,” ujar Dwi. 

Infografis Dugaan Suap di Kantor Pajak. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya