Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini masih melakukan pengujian terkait sistem inti administrasi perpajakan (Coretax Administration System).
"Coretax saat ini terus melakukan habituasi, melakukan pengujian sebagaimana disampaikan oleh Pak Dirjen bahwa penyesuaian implementasi Coretax System ini memang kita memerlukan waktu," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, dalam media briefing Update Kebijakan Perpajakan Terkini, di Kantor DJP, Senin (8/1/2024).
Advertisement
Dwi mengungkapkan, DJP ingin mempersiapkan Coretax dengan matang sebelum benar-benar diimplementasikan . Oleh karena itu, pihaknya masih dalam proses pengujian Coretax.
"Karena kami tidak mau pada saat implementasi 'oh ini masih kurang', pengujiannya kan kalau sistem itu kalau mau diimplementasikan harus diuji, apakah ini sudah sesuai yang kita harapkan atau belum atau masih perlu yang diperbaiki sekarang prosesnya terus berlanjut," ujarnya.
Adapun DJP menargetkan implementasi Coretax administration system akan dimulai pada pertengahan tahun 2024.
"Mudah-mudahan nanti pertengahan tahun kita akan bisa segera mengimplementasikan. Jadi, ini masih jalan terus habituasinya bahkan terus bekerja keraslah agar bisa sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan," ujarnya.
Melansir dari laman resmi DJP, Core Tax Administration System merupakan sebuah sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP, termasuk automasi proses bisnis.
Maksud dari automasi proses bisnis ini, seperti pemrosesan surat pemberitahuan, dokumen perpajakan, pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, pendaftaran wajib pajak, hingga pada fungsi taxpayer accounting.
Sebelumnya, diketahui, DJP sudah mulai menghubungkan Coretax administration system dengan seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP); Kantor Wilayah (Kanwil); serta Kantor Pelayanan, penyuluhan, dan konslutasi Perpajakan (KP2KP).
Pakai Coretax System, Rasio Pajak Indonesia Bakal Terdongkrak
Sebelumnya, sistem inti administrasi perpajakan atau coretax system, yang ditargetkan bakal diimplementasikan awal tahun 2024 diyakini bisa mendorong rasio pajak Indonesia.
"Mudah-mudahan tax ratio kita bisa setidaknya berada pada tahapan yang bisa lebih sustain lah. Kalau angkanya 12,88 atau 15 persen sebagai titik poin untuk mencapai sustainable sebuah tax ratio," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, dalam Forum diskusi Perpajakan Bisnis Indonesia, Selasa (29/8/2023).
Diketahui, rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax to GDP ratio terbilang masih rendah. Tercatat, tax to GDP Indonesia tahun 2022 sebesar 10,4 persen, dan untuk tahun 2023 ditargetkan diangka 10,3 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Head of Mandiri Institute, Teguh Yudo Wicaksono, mengatakan memang untuk keluar dari middle income trap dibutuhkan tax to GDP ratio sebesar 12,88 persen.
“Karena kita ingin mencapai visi 2045 maka pertumbuhan ekonominya harus diatas 5 persen. Target 2045 kita tembus middle income trap maka pertumbuhannya harus 6-7 persen untuk mencapai akselerasi itu setidaknya tax to GDP rasio kita 12,88 persen atau lebih tinggi,” kata Teguh.
Advertisement
Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Lebih lanjut, Teguh menjelaskan, tax to GDP ratio sebesar 12,88 persen merupakan hasil studi dari International monetary fund (IMF). Alhasil, apabila suatu negara mampu menembus angka 12,88 persen, maka dipastikan dalam 3 tahun ke depan negara tersebut pertumbuhan ekonominya akan meningkat.
"Jadi bayangkan misalnya katakanlah kita income-nya Rp10jt, hitungan kasarnya 12,88 persen itu kan sekitar 130 ribu, jadi sebetulnya manageable. Tapi kalo dari studi ini satu yang critical. Di satu sisi memang ada isu struktural terkait dengan penerimaan perpajakan. Di sisi, lain penerimaan perpajakan yang sehat setidaknya diatas yang terjadi saat ini,” jelasnya.
Teguh pun menghitung, jika asumsi pertumbuhan PDB Indonesia tercatat sebesar 5,2 persen pada RAPBN 2024, dan target penerimaan pajak yang sebesar 9,3 persen, artinya tax to GDP rasio bisa mencapai 10,7 persen di 2024.
“Jadi, di tahun 2024 rasio tax to GDP sekitar 10,7 persen, maka setidaknya kita membutuhkan tambahan 2,8 precented point untuk pertumbuhan ekonomi kita bisa akselerasi,” pungkasnya.