Lebih Banyak Adu Sentimen, Ini Komentar Menohok UAH Soal Debat Capres

UAH menilai debat yang melahirkan sentimen negatif tidak bermanfaat bagi masyarakat dalam menentukan pilihan capres.

oleh Kartika diperbarui 08 Jan 2024, 22:30 WIB
Ustadz Adi Hidayat (Foto: Tangkapan Layar Youtube @aagymoffical)

Liputan6.com, Jakarta - Debat Capres (Calon Presiden) kedua sudah berlangsung Minggu (7/1/2024) di Istora Senayan, Jakarta. Riuh gemuruh komentar warganet pun telah menggema di beragam media sosial terkait debat. Mulai dari serangan-serangan capres satu ke yang lain, substansi jawaban para capres, hingga sikap Capres Prabowo Subianto dan Anies Baswedan yang enggan bersalaman di akhir acara.

Aksi debat ketiga capres sudah banyak dibicarakan netizen bahkan saat debat masih berlangsung. Banyak pihak menyayangkan pertanyaan Anies Baswedan seputar food estate, anggaran Kemenhan dan kesejahteraan prajurit TNI yang dinilai menyerang personal Prabowo. Sebaliknya, banyak juga yang mengkritik Prabowo yang tidak secara terbuka menjawab pertanyaan Anies dengan gamblang.

Pada akkhirnya, komentar di dunia maya pun juga turut berkembang menjadi debat antar warganet. Menanggapi hal ini, Ustaz Adi Hidayat pun ikut bersuara. Melalui channel Youtube Adi Hidayat Official, UAH memberikan kritik dan saran pada pelaksanaan debat ketiga atau kedua untuk para capres ini. UAH menyatakan ada tiga catatan khusus bagi para capres dan pelaksanaan debat secara umum.

"Khususnya dalam reaksi sesi kedua pada debat cawapres bahwa kiranya sifat-sifat yang ditampilkan dalam debat itu bisa lebih substansial untuk mengedukasi masyarakat dan dengan sifat edukatif ini kita bisa melihat menilai dan bahkan mungkin bisa memberikan satu masukan untuk memotivasi kita dalam menentukan siapa yang dipandang layak menurut persepsi masing-masing," katanya, Senin (8/1/2024).

UAH mengusulkan agar peran panelis dalam debat bisa mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat di daerah. Seperti halnya format debat pada pemilu sebelumnya yang melibatkan 38 provinsi dengan perwakilan yang bisa menyampaikan kebutuhan di daerah secara implementatif. Tujuannya, kata UAH, agar kebutuhan masyarakat di seluruh daerah bisa tersampaikan di forum yang akan menentukan siapa pemimpin bangsa ini.

"Sehingga sifat debat itu itu berubah menjadi nilai-nilai yang substansial dan sifatnya bisa edukatif sekaligus juga nuansanya bisa uji publik," ujarnya.

Sayangnya, dalam debat yang sudah tiga kali digelar, ia memandang nuansa edukasi sangat kecil terlihat. Lebih banyak nuansa show atau tampil untuk menunjukkan keunggulan misalnya dalam retorika atau beradu argumen dan lain sebagainya,Meski sah-sah saja namun UAH menyayangkan substansi terkait nilai debat yang melahirkan visi misi bagaimana menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat dan bangsa, membangun dan mencerahkan serta memajukan bangsa ini tidak bisa didapatkan secara sempurna.

"Yang dikhawatirkan justru adalah adanya sentimen-sentimen negatif baik antar paslon yang kemudian diviralkan sehingga yang dikonsumsi oleh masyarakat itu bukan substansi visi misinya tapi ketegangan-ketegangan yang ada dalam debatnya Bagaimana paslon A paslon B tidak bersalaman bagaimana saling sentimen ini tidak mengedukasi tidak memberikan nilai positif untuk kami yang menyimak," tuturnya.

Menurutnya, masyarakat hanya ingin mendengar bagaimana rencana-rencana para calon presiden dan wakil presiden ini ke depan untuk memajukan bangsa ini menyelesaikan setiap persoalan yang ada di seluruh tapak wilayah NKRI, salah satunya tentang pertahanan yang menjadi topik debat kemarin.

UAH memandang dalam debat yang berlangsung sekitar 3 jam ini belum ada capres yang bisa mengangkat konteks kesejahteraan prajurit TNI  meski dilarang berbisnis hingga analisis Undang-undang tentang TNI misal terkait jati diri TNI. Termasuk apakah rumah dinas dan pendapatan TNI cukup sehingga mereka bisa tetap fokus menjaga keutuhan NKRI meski mempertaruhkan nyawanya.

"Formulasi apa yang dirumuskan oleh para capres ini untuk bisa memberikan sebuah harapan yang besar bagi mereka ketika ditugaskan dan sesuai dengan undang-undangnya mereka tidak berpikir lagi tentang kesejahteraan," kata UAH.

Begitu juga dalam hal menggunakan SDA di tanah air untuk kepentingan rakyat yang bisa diarahkan pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pengelolaan tambang untuk kesejahteraan PNS seperti TNI. Menurutnya, ada satu hal yang perlu dipikirkan dan tidak dijelaskan di forum debat soal kesejahteraan TNI ini.

"Kalau sekadar hanya ingin melihat siapa yang unggul, siapa yang paling kuat argumen atau menang kalah dan sebagainya itu tidak berarti banyak bagi kami masyarakat. Rakyat yang mendambakkan kejelasan tentang peta rancang bangun untuk memimpin Indonesia itu seperti apa," bebernya.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Perbaiki Konsep Debat

UAH juga mengkritisi konsep debat capres dan cawapres yang ada saat ini. Dia menyayangkan keberadaan panelis dalam forum debat yang hanya bertugas mengambil undian pertanyaan untuk capres. Padahal, dahulu kehadiran panelis hadir untuk menampilkan sisi intelektualitas mereka. Seperti halnya pada debat capres tahun 1999 yang menghadirkan sosok seperti Sosiolog Imam Prasodjo dan pengamat politik Eep Saifullah Fatah yang memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis.

"Jangan sampai yang kami tangkap dengan fasilitas media sosial yang banyak sekali yang sekarang sudah banyak diviralkan bahkan dipotong-potong masyarakat termasuk kami hanya menikmati sentimennya saja bukan argumennya ini seakan-akan ini punya masalah dengan ini jadi sentimen pribadi," ungkap ulama kelahiran 11 September 1984 ini.

Karenanya, UAH memohon jika diperkenankan konsep debat diubah seperti halnya dahulu kala seperti pada tahun 1999. Pasalnya dia menilai konsep debat yang melahirkan sentimen negatif tidak membangun kedamaian. "Bagaimana di atasnya ya menampilkan kedamaian bersifat lebih elegan itu akan lebih nyaman ya diterimanya sehingga itu bisa meredam gejolak. Jadi kalau anda ingin mengatakan 'Mari kita hadirkan pemilu yang damai yang tertib yang baik', maka mohon berikan contoh dari atas yang secara elegan bisa ditampilkan wawasan," pintanya.

UAH pun menyampaikan pandangan yang berada di luar kapasitasnya ini ia utarakan karena ulama memiliki tugas untuk menjaga kedamaian di tengah masyarakat. "Jadi kalau kami dituntut untuk mengajak masyarakat tenang damai sementara tokoh-tokoh di atasnya dan mesin politiknya tidak mengarahkan kepada sifat-sifat itu lantas kiranya tidak mudah bagi kami untuk bisa memberikan hal-hal positif yang mendamaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ungkapnya.

Menurutnya, yang lebih penting adalah semoga Allah SWT mengizinkan siapapun untuk memimpin Indonesia bisa membawa Indonesia menuju kemakmuran. Dia pun mengingatkan jabatan pemimpin bangsa adalah amanah yang harus dijalani dengan ikhlas karena meski jabatan sudah ditinggalkan tapi hisab akan tetap ada.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya