Liputan6.com, Yogyakarta - Serial drama Welcome to Samdalri mencuri perhatian sejak pertama kali dirilis pada Desember 2023. Pasalnya, drama Korea itu mengambil setting di Pulau Jeju yang telah ditetapkan sebagai situs warisan alam dunia oleh UNESCO.
Selain kerap memperlihatkan pemandangan cantik dari pegunungan dan lautan di Jeju, serial itu juga mengangkat isu profesi tradisional yang ada di Jeju, yakni haenyeo.
Profesi itu dilakukan oleh perempuan. Mereka menyelam untuk mencari hasil buruan di dalam laut, seperti ikan, rumput laut, gurita, tiram atau kerang.
Baca Juga
Advertisement
Bagi sebagian orang, menyelam merupakan kegiatan olahraga yang hanya dilakukan kalangan tertentu. Olahraga itu juga tergolong ekstrim sebab risikonya sangat besar ketika dalam keadaan tertentu.
Menyelam juga memerlukan peralatan lengkap serta fisik yang mumpuni agar penyelaman berlangsung dengan lancar. Biasanya faktor usia jadi salah satu kendala bagi kelompok perempuan yang disebut-sebut sebagai 'putri duyung' itu.
Menyelam yang dilakukan oleh kelompok perempuan di Pulau Jeju itu tak lain untuk mencari nafkah bagi keluarganya di rumah. Lantas bagaimana kisah di balik profesi haenyeo yang ada dalam drakor tersebut?
1. Teknik khusus haenyeo
Para haenyeo adalah penyelam bawah air profesional. Mereka telah belajar menyelam sejak berusia anak-anak atau remaja. Biasanya profesi ini akan terus dilakukan mereka sampai usia 70 sampai 80 tahun.
Karenanya, perempuan haenyeo di Pulau Jeju sangat dihormati. Mereka disebut punya etos bekerja yang kuat.
Uniknya, para haenyeo menyelam tanpa bantuan alat pernapasan. Mereka bisa menahan napas di bawah air sampai dua menit pada kedalaman sampai 10 meter.
Ketika naik ke permukaan, haenyeo akan mengambil napas dengan mengeluarkan suara seperti siulan, namanya sumbi suri. Teknik itu adalah teknik pernapasan khusus sebagai tanda untuk berkomunikasi dengan haenyeo lainnya.
Saat menyelam, mereka membaginya dalam sejumlah kelompok. Biasanya pembagian kelompok dilakukan berdasarkan keahlian masing-masing, tujuannya agar seluruh penyelam dalam kondisi aman.
Selain itu, seorang haenyeo juga tak bisa sembarangan karena saat penyelaman diatur dalam peraturan daerah setempat. Upaya ini agar ekosistem laut Jeju tetap lestari
Sejarah Haenyeo
2. Sejarah Haenyeo
Dikutip dari berbagai sumber, profesi haenyeo di Pulau Jeju diperkirakan sudah sejak masa Dinasti Silla pada sekitar tahun 434 M. Awalnya haenyeo dilakukan oleh laki-laki, lantas keterlibatan perempuan dalam profesi ini ditemukan dari catatan seorang pelaut asal Belanda, Hendrick Hammel yang pernah terdampar di Pulau Jeju pada 1653.
Dalam catatan itu ia menulis menyaksikan para perempuan yang sudah lanjut usia menyelam untuk mencari tangkapan laut dan berteriak dengan garang. Dari catatan itu pula diketahui jika haenyeo dilakukan perempuan karena para pria menjadi nelayan yang berada di atas kapal. Saat itu roda ekonomi Pulau Jeju bergantung dari hasil laut.
Haenyeo saat ini merupakan sebuah simbol bagi Pulau Jeju. Semua perempua yang berprofesi ini sangat dihormati. Untuk itu banyak perempuan di sana berprofesi sebagai haenyeo.
Sayangnya, belakangan perempuan haenyeo semakin sedikit. Pada 1960an, jumlahnya hanya sekitar 30.000 orang. Kemudian semakin menurun pada awal 2000an jadi sekitar 6.000.
3. Budaya matriarki di Pulau Jeju
Di Pulau Jeju, perempuan memegang peranan penting sebagai pencari nafkah utama. Biasanya di Asia Timur yakni Tiongkok, Korea dan Jepang sama-sama menganut prinsip Konfusianisme, atau pria sebagai pencari nafkah utama sementara perempuan hanya mengurusi urusan dapur saja. Tidak demikian di Pulau Jeju.
Di pulau ini perempuan adalah penggerak utama ekonomi keluarga. Mereka kebanyakan melakukan pekerjaan bertani, berjualan di pasar, termasuk haenyeo atau profesi lainnya.
Penulis: Taufiq Syarifudin
Advertisement