Beda Pandangan Anies dan Mentan soal Food Estate, Ini Temuannya

Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 1 Anies Baswedan sempat menyinggung soal program Food Estate pemerintah di Kalimantan Tengah. Dalam sesi Debat Ketiga Capres 2024, Anies menilai salah satu lahan dalam proyek Food Estate singkong hanya menguntungkan segelintir orang.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 09 Jan 2024, 20:40 WIB
Capres nomor urut 01 Anies Baswedan saat beradu gagasan dalam debat ketiga Capres Pemilu tahun 2024 di Istora Senaya, Jakarta, Minggu (7/1/2023). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 1 Anies Baswedan sempat menyinggung soal program Food Estate pemerintah di Kalimantan Tengah. Dalam sesi Debat Ketiga Capres 2024, Anies menilai salah satu lahan dalam proyek Food Estate singkong hanya menguntungkan segelintir orang.

"Food Estate singkong menguntungkan kroni, merusak lingkungan, dan tidak menghasilkan. Ini harus diubah," tegas Anies Baswedan beberapa waktu lalu, dikutip Selasa (9/1/2024).

Merespon kritikan tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menganggap itu sebagai hal yang tidak perlu diperdebatkan. Ia lantas menyoroti 600 ha lahan Food Estate yang sukses ditanami jagung.

"Sudah lah, gini. Pertanyaan itu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk dikerjakan. Kemarin 600 ha itu sudah kita tanami jagung, berhasil kan?," ujar Mentan.

"Tanaman singkong sementara kita tanami, ini cuman luasnya 600 ha. Yang kami rawat ini 7,4 juta ha. Artinya, hanya 0,08 persen. Pertanyaan bukan untuk diperdebatkan, tapi dikerjakan. Buktinya, jagung umurnya sudah 2 bulan seumur dengan jabatan saya, tumbuh subur," imbuhnya.

Adapun kritikan Anies soal Food Estate ditujukan kepada lawan debatnya, Calon Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto. Sosok yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan ini telah mendapat penugasan mengelola tanaman singkong di proyek Food Estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Pada 2023 lalu, Mentan Andi Amran pun sempat mengklaim pengembangan Food Estate telah berhasil tanam dan panen. Namun, komoditas yang dimaksud bukan singkong, melainkan jagung yang berkembang di area seluas 600 ha.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah dan BBC lantas menilai proyek Food Estate jagung tersebut seolah dipaksakan demi menutup kegagalan proyek perkebunan singkong.

 


Investigasi Lapangan

Pemerintah Daerah Kapuas mendukung penuh program Food Estate/Istimewa.

Dalam sebuah studi investigasi lapangan, Walhi Kalimantan Tengah bersama Pantai Gambut memaparkan sejumlah kegagalan proyek Food Estate, termasuk penanaman singkong.

"Di Desa Tewai Baru, umbi singkong yang dihasilkan berukuran kecil menyerupai wortel, berwarna kuning seperti kunyit, dan rasanya pahit. Menurut sebuah penelitian, rasa pahit pada singkong mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi," tulis laman Pantau Gambut.

Tak hanya soal singkong, proyek Food Estate Kalteng juga diindikasikan melakukan penghamburan anggaran pemerintah. Disebutkan seperti di Desa Henda dan Desa Pilang, dimana bantuan pipa buka-tutup air tidak bisa dimanfaatkan oleh petani. Itu lantaran pembuatan pipa tidak diikuti oleh biaya perawatan dan pendampingan penyuluhan penggunaannya. Sehingga petani kesulitan menggunakan alat tersebut.

"Padahal, dana APBN sebesar Rp 1,5 triliun dialokasikan untuk pelaksanaan Food Estate sepanjang tahun 2020-2021, dimana Rp 497,2 miliar diantaranya digunakan untuk perbaikan irigasi termasuk pengadaan pipa air," kecamnya.

 


Citra Satelit

Kick off food estate penanaman jagung di atas lahan 10 ribu hektare di Distrik Manem, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, Selasa (21/3)/Istimewa.

Hasil pemantauan melalui citra satelit pun menunjukan adanya deforestasi, dimana area seluas 700 ha di Desa Tewai Baru menjadi area ekstensifikasi terluas. Dari sudut pandang bentang lahan, Desa Tewai Baru merupakan bagian dari lanskap ekoregion dataran fluvial kalimantan dengan jenis tanah aluvium yang bertekstur pasir.

"Karakteristik jenis tanah ini berpotensi tinggi sebagai pengatur tata air karena teksturnya yang mudah menyerap dan mengelurakan air. Namun, lapisan tanah yang gembur mudah tererosi dan menyebabkan runoff membawa material tanah yang menyebabkan sedimentasi saluran air, mempersempit bahkan menutup saluran air dan menyebabkan banjir di area sekitarnya," urainya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya