Usai Debat Ketiga, Simpati dan Kepercayaan Publik terhadap Prabowo Diyakini Makin Meningkat

Najih Prastiyo menilai simpati dan kepercayaan terhadap Calon Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto akan meningkat pascadebat Capres ketiga.

oleh Tim News diperbarui 10 Jan 2024, 22:51 WIB
Sekretaris Jenderal Pemuda Muhammadiyah Najih Prastiyo. (Dok. Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal Pemuda Muhammadiyah Najih Prastiyo meyakini simpati dan kepercayaan terhadap Calon Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto akan meningkat pascadebat Capres ketiga.

“Setelah debat ketiga Pilpres berlangsung, simpati dan kepercayaan terhadap Prabowo kian menguat seiring dengan merendahnya simpati terhadap lawan debat yang gemar menyerang,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (10/1).

Najih pun menyinggung hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan bahwa mayoritas warga tidak menyukai sikap capres-cawapres yang saling serang dan menjatuhkan selama debat pilpres 2024 berlangsung.

Survei Indikator Politik Indonesia digelar pada periode 25-27 Desember 2023. Hasilnya, sebanyak 57 persen responden tidak setuju ketika debat dilakukan dengan saling serang dan menjatuhkan. Sementara, 38,6 persen lain mengaku setuju dan 4,4 perseb lainnya tidak menjawab/tidak tahu.

Untuk itu, Najih mengatakan, jalan menuju pemungutan suara Pilpres 2024 tinggal menghitung hari. Oleh karena itu, pesta lima tahunan ini seyogianya diletakkan sebagai medium transisi kepemimpinan nasional yang damai, teduh dan penuh gagasan.

“Warga bangsa telah letih hidup dalam pembelahan dan ketegangan yang dimotori oleh segelintir elit demagog. Sebaliknya, rakyat menghendaki pemimpin yang meneduhkan dan mempersatukan,” ujarnya.

 


Refleksi Mendalam tentang Kualitas Pemimpin

Sekretaris Jenderal Pemuda Muhammadiyah Najih Prastiyo. (Dok. Istimewa)

Untuk itu, ia menambahkan, detik-detik menuju pemungutan suara sudah sepatutnya diisi dengan kesanggupan untuk melakukan refleksi mendalam tentang kualitas pemimpin seperti apa yang hendak dipilih.

“Di tengah puspa ragam tantangan kebangsaan kita, pemimpin yang diharapkan ialah sosok panutan yang memiliki visi strategis dan penguasaan lapangan yang cukup, bukanlah pribadi pemimpin yang menyulap kata-kata sekadar demi mendulang kuasa,” kata Najih.

Lebih lanjut, Najih bilang, dalam riwayat sejarah bangsa ini, debat sesungguhnya telah menjadi tradisi intelektual yang menemani jalannya bangsa ini. Debat para pendahulu lazimnya dipergunakan untuk mengidentifikasi karakteristik calon pemimpin, menguji kemampuan mereka untuk melakukan analisis serta demi merumuskan solusi pemecahan masalah-masalah strategis.

Debat yang diskursif dan produktif itu setidaknya dapat dilihat dari dialog saling sanggah antara Mohammad Hatta dengan Soepomo, Soekarno dengan Mohammad Natsir serta Soekarno dengan Hatta. Mereka berlomba mempertahankan pendapat tanpa merendahkan martabat lawan debatnya. Buah perdebatan itulah yang kemudian melahirkan gagasan bersama tentang kemerdekaan serta demokrasi seperti yang kita nikmati saat sekarang ini,” tuturnya.

 


Kualitas Debat Hilang

Ia juga bilang, kualitas debat para pendiri bangsa tersebut hilang dalam arena debat kemarin. Debat ketiga Pilpres 2024 seolah menyibak masalah patologi demokrasi yang selama ini telah menjadi rahasia umum.

“Patologi demokrasi tersebut menyangkut tumbuh besarnya para demagog. Ia adalah sosok elite politik yang gemar menggunakan retorika berlebihan, bahasa yang dramatis, emosional dan provokatif untuk memanipulasi dan mendapatkan dukungan dari masyarakat,” ucap Najih.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya