Tentang Transisi Energi, Anindya Bakrie Sebut Indonesia Perlu Green Diplomacy

Ketua Dewan Pembina Kadin Indonesia Anindya Bakrie menyebutkan potensi biodiversitas atau keanekaragaman hayati darat dan laut Indonesia sangat tinggi sehingga kita memerlukan kebijakan Green Diplomacy.

oleh Septian Deny diperbarui 10 Jan 2024, 22:59 WIB
Ketua Dewan Pembina Kadin Indonesia Anindya Bakrie menyebutkan potensi biodiversitas atau keanekaragaman hayati darat dan laut Indonesia sangat tinggi sehingga kita memerlukan kebijakan Green Diplomacy. (Liputan6.com/HO/Alwi)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Pembina Kadin Indonesia Anindya Bakrie menyebutkan potensi biodiversitas atau keanekaragaman hayati darat dan laut Indonesia sangat tinggi sehingga kita memerlukan kebijakan Green Diplomacy.

Hal itu diungkapkan dalam diskusi dengan tema “Green and Blue Energy: Big Push for the Future yang digelar Komunitas Discordia.

“Dalam Forum COP 28 yang saya hadiri, saya hitung nilai investasi dekarbonisasi Indonesia bisa mencapai USD 1 triliun yang sangat besar,” ungkap dia dikutip Rabu (10/1/2024).

Menurut Anin, sapaan akrabnya, dana sedemikian besar tersebut seharusnya digunakan untuk hilirisasi tidak hanya untuk nikel, tetapi juga sumber daya seperti tembaga dan lain-lain sehingga bermanfaat meningkatkan nilai tambah ekonomi Indonesia.

“Dan sumber-sumber energi baru tersebut kebanyakan berada di Indonesia Timur sehingga kebijakan hilirisasi akan memeratakan pembangunan kita,” jelas Anindya.

Selain itu, Anindya menyebutkan perkembangan teknologi dan kapital menyebabkan renewable energy yang sebelumnya sub scale seperti wind, geothermal, hydro pada 5-10 tahun lalu sekarang berpotensi sangat besar secara bisnis.

“Oleh karena itu, kami perusahaan Bakrie yang sebagian besar sumber energinya berbahan bakar fosil, siap melakukan transisi energi menggunakan sumber daya baru dan terbarukan,” tutur Anindya.

Sementara itu, Chairman Discordia Khalid Zabidi menyebutkan bahwa acara ini dimaksudkan sebagai wadah alumni-alumni muda ITB untuk menyampaikan gagasan dengan cara berbeda pendapat, berselisih dan bertengkar, tentunya dengan cara adu pikiran yang baru.

“Diskusi kali ini bertema transisi energi fosil menuju green and blue energy yang potensinya berlimpah di Indonesia, kuncinya adalah proses hilirisasi yang perlu diberi dorongan kuat atau Big Push untuk mewujudkan ketahanan energi,” ungkap Khalid.

 


Andalkan Bioetanol, Prabowo-Gibran Mau Bikin Lumbung Energi Nasional

Anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo dalam diskusi bertajuk Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, Rabu (10/1/2024). (Arief/Liputan6.com)

Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka turut menyusun strategi meningkatkan penggunaan energi bersih, termasuk bioenergi. Salah satu fokusnya adalah mendorong pengembangan dari bioetanol.

Anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo mengatakan pihaknya fokus pada pengembangan bioetanol di dalam negeri.

"Kalau ditanya program andalan dari Prabowo-Gibran, untuk transisi energi bersih ini itu kita akan memperbanyak sumber-sumber bioetanol," ujar Drajad dalam diskusi bertajuk Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, Rabu (10/1/2024).

Drajad menegaskan, program ini melengkapi beberapa inisiasi yang sudah mulai berjalan seperti lumbung pangan atau food estate. Melalui pengembangan bioetanol, diharapkan bisa menjadikannya sebagai lumbung energi.

"Jadi kalau di pangan kita ada lumbung pangan atau food estate, kita juga nanti akan kembangkan lumbung energi, terutama melalui bioetanol," tegasnya.

Dia mengungkap alasan dibalik rencana Prabowo-Gibran tersebut. Misalnya, adanya peluang pembukaan lapangan kerja yang luas dari pengembangan produksi bioetanol.

Drajad juga melihat adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan penanaman singkong dan tebu sebagai sumber pengolahan bioetanol.

"Menanam singkong menanam tebu rakyat kita sudah relatif terbiasa, kalau di Jawa memang menanam tebu sudah terbiasa, kalau di luar Jawa belum terbiasa. Jadi kesiapan kultural sudah ada, penyerapan lapangan kerjanya tinggi, nilai keekonomisannya itu bisa lebih cepat dicapai," tuturnya.

"Jadi andalan kita memang adalah bioetanol," imbuh Drajad.


Bioetanol Lebih Efisien

Pertamax Green 95 sudah terpampang di SPBU Pertamina Jalan MT Haryono, Jakarta. Ini merupakan produk BBM campur bioetanol dengan tingkat RON 95. Foto: Liputan6.com/ Arief R

Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Muhammad Abdul Ghani menilai bioetanol lebih efisien dibandingkan dengan biodiesel. Hal ini dilihat dari tingkat produksi diantara keduanya.

"Saya ingin mengelaborasi dari perspektif efisiensi sumber daya. diantara dua komoditas energi yang berbasis Green yaitu Biodiesel dan bioetanol, itu sebenarnya yang paling efisien itu bioetanol," ujar dia di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (26/10/2023).

Dia membandingkan, dengan luasan sawit sebesar 16 juta hektare di Indonesia, mampu memproduksi minyak sawit rata-rata 3 juta ton per hektare. Jika dikonversi, hanya menghasilkan sekitar 2 kilo liter per hektare.

"3 ton per hektare itu kalo di-convert menjadi biodiesel itu hanya 2,5 KL per hektare jadi hanya 2.500 liter per hektare per tahun untuk biodiesel," kata dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya