Liputan6.com, Jakarta Santunan Pemerintah kepada para korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) baru disalurkan pada Rabu, 10 Januari 2024 kemarin. Pertanyaan mencuat, kenapa pemberian santunan dinilai terlambat padahal kejadian GGAPA sudah berselang dua tahun lamanya?
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy mengakui adanya keterlambatan terhadap pemberian santunan korban gagal ginjal akut pada anak.
Advertisement
Hal ini lantaran terdapat banyak proses yang harus dilalui. Mulai dari koordinasi dengan Kementerian Sosial (Kemensos) hingga pengajuan besaran santunan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI.
Santunan Sosial Masuk Anggaran APBN
Dari Kemenkeu, pengajuan tersebut dilanjutkan ke tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendapat persetujuan. Teknis pemberian bantuan sosial hingga baru tersalurkan saat ini memakan waktu lama, terlebih lagi masuk dalam anggaran APBN.
"Ini kesalahan dari kami karena prosesnya panjang. Karena menyangkut anggaran APBN harus prudent (bijaksana) dan tidak boleh ada masalah," terang Muhadjir dalam acara 'Santunan Kepada Korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal Pada Anak' di Gedung Kemenko PMK Jakarta pada Rabu, 10 Januari 2024.
"Perlu data siapa saja harus divalidasi, jangan sampai ada yang harusnya masuk, tapi tidak masuk atau sebaliknya."
Proses Pengajuan Sudah Lama
Muhadjir Effendy melanjutkan, proses pengajuan santunan untuk korban gagal ginjal akut sudah berlangsung lama. Namun, diakuinya teknis prosesnya memang panjang.
Ia juga meminta maaf kepada para keluarga dan keluarga korban atas keterlambatan pemberian bantuan.
"Ini dari kami, Kemenko PMK, teknis karena prosesnya masih panjang karena menyangkut anggaran APBN. Jadi sebetulnya sudah kita proses lama," kata Menko Muhadjir.
Adapun pemberian bantuan berupa santunan diberikan sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) bagi korban gagal ginjal akut progresif atipikal yang telah meninggal dunia.
Sedangkan, korban gagal ginjal akut progresif atipikal yang telah sembuh atau masih menjalani proses pengobatan dan rehabilitasi medis diberikan santunan sebesar Rp60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dengan rincian Rp50.000.000 untuk bantuan dan Rp10.000.000 untuk biaya transportasi.
Advertisement
Santunan sebagai Bentuk Kepedulian
Pemerintah akhirnya resmi memberikan santunan kepada korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Pemerintah turut prihatin dengan kasus GGAPA yang cukup banyak menimpa anak.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah korban GGAPA sebanyak 312 korban. Rinciannya, 218 korban meninggal dunia dan 94 korban sembuh atau rawat jalan.
Muhadjir Effendy menyebut korban gagal ginjal akut ini tersebar di 27 provinsi, dengan kasus tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta.
"Hari ini, kita memberikan santunan kepada para korban kasus gagal ginjal akut, khususnya yang tertinggi itu ada di wilayah DKI Jakarta ya. Jadi, jangan sampai ada pemahaman, kalau santunan ini upaya kita untuk menghindari (kasusnya) tidak lagi berproses. Tidak, tidak begitu ya," lanjutnya.
Proses Hukum Kasus Gagal Ginjal Akut Tetap Dihormati
Santunan dari Pemerintah sebagai bentuk kepedulian. Proses hukum yang berjalan juga tetap dihormati.
"Sekali lagi, santunan ini sifatnya murni yang merupakan bentuk perhatian, kepedulian dan empati dari Pemerintah atas kasus ini," ucap Menko PMK Muhadjir.
"Ada pun yang lain, termasuk proses hukum, kita hormati dan kita ikuti sebagaimana mestinya."
Komisi IX DPR Pertanyakan Kenapa Penyaluran Santunan Telat
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher sebelumnya meminta Pemerintah agar segera menyalurkan dana santunan korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) kepada keluarga korban.
"Pemerintah mau menunggu apalagi? Kenapa proses penyalurannya lambat dan bertele-tele, padahal biaya pemulihan yang dikeluarkan pasien jalan terus," kata Netty dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/11/2023).
Berdasarkan laporan dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) seratusan anak kasus GGAPA masih dalam proses pemulihan. Bahkan, ada laporan satu kasus yang mengalami kebutaan.
Menurut Netty, anak dengan kasus GGAPA dapat mengalami gangguan dan kendala pertumbuhan.
"Pasien yang saya temui pertumbuhan badannya tidak normal, bahkan tidak bisa berbicara, duduk, dan harus menjalani fisioterapi," terangnya.
"Siapa yang bakal menanggung biaya pemulihan tersebut, kalau antar kementerian sampai saat ini masih saling tunjuk siapa yang harus betanggungjawab mengeluarkan dana santunan. Jangan sampai proses yang bertele-tele ini semakin memberatkan para korban GGAPA," tambah Netty.
"Harusnya negara bisa menjadi jalan pengobatan dan pemulihan mereka, jangan tenang-tenang saja seolah tak ada masalah. Negara juga seharusnya menjamin masa depan anak-anak tersebut yang rusak dan cacat akibat kelalaian pengawasan obat di lapangan."
Advertisement