Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus adanya aliran dana para calon anggota legislatif (caleg) dengan akumulasi sekitar Rp 51 triliun. Namun, angka ini dinilai baru sebagian kecil dari praktik transaksi mencurigakan dalam masa kampanye.
Pengamat dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai, temuan itu menjadi satu hal yang lumrah terjadi dalam kontestasi politik di Indonesia. Menurutnya, itu dekat dengan politik uang atau vote buying.
Advertisement
"Data yang diungkap oleh PPATK sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari masalah tersebut, yakni aktivitas pembiayaan politik yang dilakukan melalui jalur perbankan," ujar Ronny kepada Liputan6.com, Kamis (11/1/2024).
Ronny mencoba membagi dua kategori transaksi, yakni atas aliran dana di perbankan seperti temuan PPATK, dan kategori uang tunai. Pada pertukaran uang tunai ini yang dinilai sama dengan praktik korupsi dan suap-menyuap.
"Itulah sebabnya mengapa saya katakan itu hanya sebagian kecil saja, karena aktivitas money politic dan vote buying biasanya berlangsung di 'darat' alias cash and carry, di luar sistem perbankan yang ada. Jadi cukup mirip dengan praktek korupsi suap menyuap pada umumnya yang terjadi dalam bentuk cash and carry," tuturnya.
"Untuk itu, PPATK tentu harus memperjelaskan pantauannya, yakni seberapa mencurigakan, misalnya. Apakah sudah layak ditelusuri lebih jauh oleh lembaga terkait, misalnya KPK atau Kejaksaan, dan lainnya," sambung Ronny.
Lumrah Terjadi
Dia mengacu pada beragam penelitian yang merujuk kalau peningkatan transaksi yang terindikasi mencurigakan lazim terjadi di Indonesia. Bahkan, disebut masih dalam kategori racun dalam praktik demokrasi Tanah Air.
"Bahkan, tahun 2019 lalu, dua orang Indonesianis dari Australia, Edward Aspinall dan Ward Berenschot, menerbitkan buku tentang politik elektoral di Indonesia dengan judul "Democracy for Sale". Sudah bisa dibayangkan isinya seperti apa toh, dari judul bukunya," ungkapnya.
Ronny memandang, dengan seringnya terjadi praktik serupa, maka bisa disebut kalau transaksi mencurigakan tidak bisa lepas dari ekosistem pesta demokrasi di Indonesia.
"Jadi bukan lagi kerap terjadi di Indonesia, tapi lumrah terjadi di Indonesia. Money politic dan vote buying bahkan menjadi bagian tak terlepaskan dari politik Indonesia selama ini. Karena itulah perkara pembiayaan dan permodalan politik ikut menjadi salah satu faktor yang menentukan kemenangan seorang kandidat," paparnya.
Advertisement
Transaksi Mencurigakan Caleg Rp 51 Triliun
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri triliunan dana jadi transaksi mencurigakan menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Temuannya, akumulasi dari transaksi yang dilakukan 100 calon legislatif (caleg) mencapai Rp 51 triliun.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menerangkan mengkaji jumlah data calon tetap (DCT). Beberapa diantaranya terindikasi melakukan transaksi mencurigakan.
"Ini kita ambil yang 100 terbesarnya ya terhadap 100 DCT itu nilainya Rp 51.475.886.106.483 (Rp 51,4 triliun)," ujar dia dalam Konferensi Pers di Kantor PPATK, Jakarta, Rabu (10/1/2024).
Sementara itu, pada kategori lainnya, ada peningkatan setoran dana yang dilakukan caleg. Masih dengan spesimen 100 caleg, PPATK mencatat akumulasi transaksinya mencapai Rp 21,7 triliun.
Penarikan
Angka tepatnya, mencapai Rp 21.760.254.437.875. Ivan menegaskan ini menghitung transaksi dari 100 transaksi terbesar dari para caleg.
"Dan penarikan kita lihat juga ada 100 DCT yang menarik uang Rp34.016.767.980.872 (Rp 34 triliun)," tegasnya.
Ivan menjelaskan, PPTK juga melihat fokus terkait dengan laporan transaksi keuangan mencurigakan. Ini merujuk pada pihak pelapor yang sudah mencurigai transaksi ini patut diduga terkait dengan tindak pidana tertentu.
"Misalnya orang yang sudah terindikasi korupsi melakukan transaksi, orang yang diketahui profilnya berbeda, misalnya biasanya dia transaksi cuma kecil gitu ya, ratusan ribu, tiba-tiba ratusan juta atau sebaliknya, ratusan juta kemudian menjadi miliaran itu dilaporkan kepada PPATK," bebernya.
Advertisement