Liputan6.com, Palembang - Lahir sebagai bayi normal di bulan April 1986 di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel), nasib Muhammad Ali seketika berubah menjadi penyandang difabel ganda saat usianya beranjak 9 bulan.
Tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang dan demam tinggi atau sering disebut penyakit step di akhir tahun 1986. Kondisi tersebut sering dialami pada anak yang berusia 6 bulan hingga 5 tahunan.
Sejak sakit itu, Ali mengalami gangguan fungsi organ tubuh, mulai dari kelumpuhan di kedua kakinya, kemampuan intelektual yang tidak berkembang hingga tidak mampu berbicara. Tubuh Ali hanya bisa terbaring di lantai, tanpa ada tenaga di kedua kakinya untuk belajar menapak.
Hanya sorot matanya saja yang menjadi bahasa komunikasi ke kedua orangtuanya, Rusli (73) dan Fatimah (63), yang dengan sabar mengurus buah hatinya ini.
Penyandang tunagrahita, tunadaksa dan tunarungu ini tidak bisa berbuat banyak selama hidupnya. Untuk makan, mengganti pakaian hingga buang air, uluran tangan kedua orangtuanya-lah yang bisa dia andalkan selama ini.
Baca Juga
Advertisement
Ali tercatat sebagai warga di Jalan KH Ahmad Dahlan LK 1 Balai Agung Kecamatan Sekayu Musi Banyuasin Sumsel. Walau usianya sudah hampir memasuki 38 tahun di April 2024 mendatang, namun tubuhnya masih seperti anak kecil.
Keterbatasan finansial membuat hidup Ali semakin memprihatinkan. Ayahnya hanya sebagai pengayuh becak, yang setiap pagi mangkal di pasar tradisional di dekat rumahnya. Dari pukul 07.00 WIB hingga 11.00 WIB, dia menawarkan jasa angkut becaknya.
Penghasilan yang dia dapati pun jauh dari kata cukup. Jika beruntung, dia bisa dapat Rp50.000 per harinya, namun tak jarang dia pulang dengan tangan hampa.
Sedangkan ibunya Fatimah, tak bisa berbuat banyak untuk membantu perekonomian keluarga. Dia harus mengurus Ali di rumah seharian. Walau penuh keterbatasan fisik, namun Fatimah begitu menyayangi anak kelima dari delapan bersaudara itu.
Di usia 37 tahun, Ali mendapatkan hadiah yang tak terduga. Pihak Panti Asuhan El Nusa di Musi Banyuasin, membantu Ali agar bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Karena selama ini, Ali tak pernah terdaftar sebagai warga yang memiliki identitas, hanya tercatat di Kartu Keluarga (KK) saja di Musi Banyuasin.
“Kami tidak tahu bagaimana caranya membuat KTP untuk Ali, tidak ada juga petugas yang datang untuk membantu kami. Jadi hanya tercatat di KK saja. Beruntung ada pihak panti asuhan yang membantu membuatkan Ali KTP di tahun lalu,” ucap Rusli kepada Liputan6.com, Senin (8/1/2024).
Setelah mendapatkan KTP, Ali juga akhirnya berkesempatan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Meskipun orangtuanya tak tahu, bagaimana Ali bisa menggunakan hak pilihnya tersebut.
Perkara bagaimana cara Ali mencoblos, bukan menjadi hal penting bagi Rusli dan Fatimah. Karena mereka terlalu dipusingkan bagaimana memenuhi biaya hidup sehari-hari.
Minim Bantuan Pemerintah
Untuk membayar biaya kontrakan rumahnya sebesar Rp500.000 per bulan saja, mereka harus benar-benar mengirit pengeluaran, termasuk menghemat makan.
“Kalau makan, kami benar-benar irit, ala kadarnya saja. Yang penting ada nasi, kecap dan sayur, sudah cukup untuk Ali. Kalau makan daging atau ayam, paling saat diberi bantuan saja atau saat dapat daging kurban,” ujarnya.
Beberapa bantuan sempat diterima Ali, mulai dari sembako dari pihak kepolisian dan perusahaan. Ali juga mendapat SIM disabilitas dan kursi roda, saat Firli Bahuri menjadi Kapolda Sumsel melalui Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Musi Banyuasin.
Rusli mengakui, mereka nyaris tidak mendapatkan bantuan dari program pemerintah, baik bantuan untuk masyarakat miskin ataupun bantuan untuk Ali yang notabene adalah penyandang disabilitas.
“Tidak pernah sama sekali dapat bantuan (dari pemerintah) sampai saat ini,” ucap Rusli penuh lirih.
Kendati dengan segala keterbatasan, Rusli dan Fatimah ikhlas menjalani kehidupannya, mengurus buah hatinya yang sudah dititipkan Tuhan ke mereka. Pasangan suami istri (pasutri) ini juga tak menuntut banyak ke anak-anaknya yang lain.
Karena mereka tahu, kelima orang anaknya yang masih hidup, sudah berumah tangga dan finansialnya tak jauh lebih baik dari mereka, hidup dalam segala keterbatasan perekonomian.
“Anak saya ada yang profesinya sebagai tukang ojek dan kuli bangunan. Mereka juga tidak bisa membantu banyak. Yang penting sabar saja, ikhlas dianugerahi anak (Ali) seperti ini,” kata Fatimah.
Pengakuan Rusli dan Fatimah terkait tak ada bantuan dari pemerintah, berbeda dari database Dinas Sosial (Dinsos) Musi Banyuasin Sumsel.
Advertisement
Data PKH Dinsos
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Musi Banyuasin Ardiansyah menunjukkan database Dinsos Musi Banyuasin, jika nama Fatimah sudah tercatat sebagai penerima bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) periode Oktober-Desember 2023.
Dari data tersebut tertulis nama Fatimah, lengkap dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK) yang sesuai dengan identitas asli ibu Ali tersebut.
Bahkan di keterangan status rekening, tertulis ‘REK BERHASIL’, di mana bantuan tersebut merupakan sumber usulan dari pemerintah daerah.
“Kami akan koordinasi dengan pemerintah desa dan disdukcapil, nanti akan minta KK dan KTP mereka. Apakah mereka sudah menerima bantuan tersebut atau belum. Jika benar-benar belum dapat, silahkan mengurus melalui pemdes, nanti pemdes akan mengajukan usulan ke Pemkab Muba agar mereka dapat bantuan,” ucapnya.
Dinsos Musi Banyuasin membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan pemerintah, terutama yang mempunyai anggota keluarga penyandang disabilitas.
Dia juga mengimbau kepada pemerintah desa dan kecamatan agar mendata warganya yang difabel, untuk diusulkan mendapatkan bantuan. Dinsos Musi Banyuasin juga sering mendapatkan laporan masih banyak warga miskin yang belum mendapatkan bantuan.
“Tidak hanya untuk difabel saja, tapi ada bantuan untuk warga miskin, lanjut usia, bedah rumah dan lainnya,” ucapnya.
Budaya Masyarakat
Diungkapkan Penjabat (Pj) Bupati Musi Banyuasin Apriyadi, data terakhir penyandang disabilitas di Musi Banyuasin Sumsel sekitar 1.600 orang. Data tersebut terangkum saat penyaluran bantuan COVID-19 untuk penyandang disabilitas.
Terkait kendala penyandang disabilitas yang belum terdata di Disdukcapil dan DPT di Musi Banyuasin, Apriyadi terus mengimbau kepada pemerintah desa (pemdes) untuk berperan aktif dalam mendata warga sekitarnya.
Apalagi sudah ada Sumber Daya Potensi Kesejahteraan Sosial (SDPKS) yang terdiri dari karang taruna, PKH, Tagana, TKSK, pendamping desa dan lainnya. Jika diketahui ada penyandang difabel di kawasannya, harus segera dilaporkan dan dibantu pembuatan kartu identitas ke Disdukcapil Musi Banyuasin.
Namun ada kendala lainnya yang membuat petugas kesulitan untuk ‘jemput bola’ dalam pendataan. Masih ditemukan warga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang menyandang disabilitas.
“Terkadang keluarganya menyembunyikan anggota keluarganya yang difabel karena rasa malu. Itu kan (keterbatasan fisik) bukan kehendak kita, tapi karena takdir dari Atas. Tapi itulah budaya dari masyarakat,” ungkapnya.
Namun jika sudah terdata, perangkat desa akan ‘jemput bola’ ke rumah warganya, apabila tidak mampu beraktivitas dari sisi fisik.
Jika mampu, penyandang disabilitas bisa datang ke tempat layanan atau pelayanan dari Disdukcapil Musi Banyuasin yang datang ke rumah warga tersebut.
Advertisement