Berkaca dari Kasus GKI Yasmin, Cara Ideal Menyelesaikan Konflik dalam Kebebasan Beragama

Selama dua puluh tahun terakhir aturan soal Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)  di Indonesia belum tuntas dalam menyelesaikan konflik. Lalu bagaimana menyelesaikan konflik demi memajukan kebebasan beragama.

oleh Yanuar H diperbarui 14 Jan 2024, 05:00 WIB
Ilustrasi mahasiswa berbagai latar belakang agama. (Shutterstock/Bangkok Click Studio).

Liputan6.com, Yogyakarta - Banyaknya kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia yang belum mengedepankan mediasi dan pemenuhan hak. Dalam Diskusi Buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama menghasilkan solusi pentingnya resolusi konflik harus dikedepankan dalam membangun relasi sosial antar kelompok.

Zainal Abidin Bagir, Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM mengatakan selama dua puluh tahun, advokasi KBB seperti kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah, kasus parung dan kasus Lia Eden pada tahun 2005, tahun 2006 muncul kasus pendirian rumah ibadah jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor,  tahun 2008 dan konflik Syiah di Sampang Madura tahun 2012 serta pelarangan HTI tahun 2017. Namun Zainal Abidin Bagir fokus pada soal kasus GKI Yasmin.

“Gereja GKI Yasmin memakan waktu lama  hingga 15 tahun,” katanya di ruang Auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM Rabu 10 Januari 2024.

 

Saat itu Walikota Bogor Bima Arya tahun lalu menyelesaikan kasus KBB GKI Yasmin dengan solusi relokasi pembangunan gereja satu kilometer dari lokasi awal. Baginya relokasi ini  bukanlah contoh yang baik dalam menyelesaikan kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

“Model penyelesaiaan yang mengharuskan relokasi untuk menjadi sebuah pilihan jangan sampai terulang kembali. Resolusi konflik harus diselesaikan dalam rangka membangun relasi antar kelompok,” ujarnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Relasi dan Mediasi Antarkelompok

Butuh waktu lama hingga 15 tahun inilah karena tidak terbangunnya proses mediasi dan relasi antar kelompok. Bahkan antar kelompok saling menggugat secara legal formal ke pengadilan sehingga tidak pernah mencapai titik temu. 

“Jika sejak awal dilakukan upaya sungguh-sungguh mendekati semua pihak maka tidak akan tertunda hingga 15 tahun. Seharusnya  diselesaikan lebih awal dengan mediasi dan negosiasi, resolusi untuk memenuhi hak semua kelompok agar tidak memilih saling gugat dan sebagainya,” katanya.

Penulis buku sekaligus Program Studi Agama dan Lintas Budaya SPs UGM Diah Kusumaningrum mengatakan konflik akan muncul selama manusia masih hidup bersama. Namun saat konflik muncul seharusnya dapat menjadi lebih produktif apabila bisa menjadi alat pendorong keadilan sosial yang berkaitan dengan interdependensi kelompok agama dan kepercayaan serta keterampilan masyarakat dalam menghargai perbedaan dan keragaman.

Bukan menjadi destruktif kalau pendekatannya  menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekerasan. “Keterampilan itu hanya dapat berkembang dengan latihan dan refleksi secara berulang,” katanya.

Kharisma W.Kusuma dari LBH Yogyakarta mengatakan proses relokasi pada kasus GKI Yasmin bisa dianggap untuk menormalisasi konflik namun kebijakan itu mempertahankan praktek intoleransi di tengah masyarakat. Di Yogyakarta, kata Kharisma ia kerap menemukan kasus yang sama dimana kelompok minoritas mengalami tekanan dan intimidasi dari kelompok mayoritas. 

“Berbeda dengan saat pendirian gereja di Ngentak, Sleman, justru warga sekitar saling gotong royong membangun gereja dan masjid dimana pihak yang berkonflik dan perwakilan negara saling membangun hubungan,” ujarnya dalam diskusi Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya