Liputan6.com, Surabaya - Pengamat politik Universitas Jember (Unej) Muhammad Iqbal menilai bergabungnya Khofifah Indar Parawansa ke Tim Kampanye Nasional (TKN) tidak akan banyak mendongkrak elektabilitas Prabowo-Gibran.
"Bergabungnya Khofifah, yang juga ketua umum Muslimat NU (Nahdlatul Ulama) itu, sejatinya tidak serta merta mudah terkonversi menjadi tebalnya elektoral Prabowo-Gibran," kata Iqbal, Sabtu (13/1/2024), dikutip dari Antara.
Advertisement
Menurut Iqbal, resmi bergabungnya Khofifah menjadi anggota Dewan Pengarah dan Juru Kampanye Nasional pasangan calon Prabowo-Gibran, membuktikan Jawa Timur adalah episentrum sengitnya merebut lumbung suara Nahdliyin. TKN Prabowo-Gibran pun lalu mengeklaim akan menang "tebal" di Jawa Timur.
"Sebagai basis elektoral terbesar kaum santri NU, Jatim sebenarnya juga diklaim sudah dikapling sebagai lumbung kemenangan pilpres, baik oleh pasangan capres-cawapres lainnya, yakni Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud," tuturnya.
Saling klaim di kalangan pasangan calon peserta Pilpres 2024 itu cukup beralasan. Dia menilai pihak Anies-Muhaimin jelas mengandalkan kekuatan mesin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan daya magnet Muhaimin sebagai ketua umum partai tersebut.
Sementara itu, untuk pasangan calon Ganjar-Mahfud, ketokohan sang cawapres yang juga menko polhukam itu memiliki ikatan kultural NU, sehingga kubu pasangan calon nomor urut 3 itu tentu akan mengoptimalkan upaya untuk meraup suara Nahdliyin di Jatim.
Iqbal menyebut tiga faktor krusial yang bisa menjelaskan bahwa bergabungnya Khofifah ke TKN tidak serta merta menebalkan elektoral pasangan calon Prabowo-Gibran.
Pertama, posisi Khofifah bukanlah peserta Pemilu 2024, melainkan sebatas anggota dewan pengarah dan juru kampanye saja.
Khofifah Terikat Regulasi Gubernur
Terlebih, lanjut Iqbal, sebagai gubernur aktif, maka Khofifah terikat regulasi yang bakal membatasi ruang dan waktu geraknya untuk berkampanye memenangkan Prabowo-Gibran.
Secara ketentuan, total masa kampanye Khofifah hanya 10 hari dari sisa tiga pekan sebelum masa tenang Pemilu 2024. Kendati demikian, posisi itu masih bisa diharapkan menambah "sedikit" kenaikan elektoral bagi Prabowo-Gibran di Jatim.
Kedua, tambah Iqbal, dengan posisinya sebagai ketua umum Muslimat NU, secara rasional dan kultural Khofifah bisa dikatakan bukan "dewi penyelamat" bagi pasangan Prabowo-Gibran di sengitnya medan pertempuran (battlefield) di Jatim.
"Seandainya cawapres Prabowo itu Khofifah, mungkin bisa berdampak signifikan; tetapi kenyataannya, cawapres Prabowo itu Gibran, yang secara sosiologi politik masih menyisakan problem etika secara konstitusional dan menciptakan opini publik yang sangat kontroversial," kata Iqbal.
Ketiga, gelaran pilpres ialah untuk memilih figur capres dan cawapres, sehingga kekuatan gagasan dan kapasitas karakter, manajemen kepemimpinan, serta keluwesan emosi menjadi faktor utama yang menjadi pertimbangan pemilih.
Advertisement
Karakter Capres dan Cawapres Jadi Kunci
Secanggih dan sehebat apa pun tim kampanye maupun tim sukses, menurut Iqbal, pada ujungnya tetap akan kembali pada kekuatan gagasan dan karakter capres dan cawapresnya.
Berdasarkan tiga faktor krusial itulah, secara sosial kultural, muslimat NU, baik di Jatim maupun nasional, sejatinya sudah tersebar kuat dan merata ke pasangan calon Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud.
Sehingga, kehadiran Khofifah dinilai tidak akan banyak mendongkrak elektabilitas Prabowo-Gibran.
"Khofifah bukanlah dewi penyelamat kandidat. Dia adalah tokoh NU dan pemimpin Jawa Timur yang secara personal kultural tetap sebagai santri, yang juga terikat ketakziman dan nilai-nilai taat kiai," ucapnya.
Iqbal menjelaskan ketika para kiai sudah meneguhkan sikap dan pilihan politiknya pada pasangan Anies-Muhaimim atau Ganjar-Mahfud, maka sangat mungkin Khofifah tidak akan menjadi "dewi penyelamat" suara Prabowo-Gibran.
"Hal itu lebih untuk menyelamatkan tiketnya sendiri menghadapi Pilkada Jawa Timur 2024, karena melalui koalisi partai-partai pengusung Prabowo-Gibran, nasib pencalonan Khofifah bisa resmi sebagai kandidat dalam pilkada Jatim," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unej itu.