Liputan6.com, Jakarta - Pada debat Cawapres 2024, Jumat (22/12/2024) lalu, Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sempat bertanya kepada cawapres Muhaimin Iskandar terkait singkatan SGIE atau State of The Global Islamic Economy.
SGIE yang sebenarnya adalah laporan tahunan terkait industri halal dunia ini memuat peringkat Indonesia dalam pengembangan industri halal di skala global.
Laporan SGIE terbaru yang dirilis oleh DinarStandard di Dubai pada Selasa (26/12/2023) mencatat Indonesia berhasil naik peringkat dan masuk dalam jajaran tiga besar negara dalam The Global Islamic Economy. Indonesia berada di bawah Malaysia dan Arab Saudi.
RI berhasil mempertahankan posisi kedua dalam sektor makanan halal dan posisi ketiga dalam indikator modest fashion. Bahkan naik 23 posisi ke peringkat keenam dalam Indikator Media dan Rekreasi.
Tercatat, Ekspor Indonesia ke negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bernilai US$13,38 miliar pada tahun 2022. Indonesia merupakan salah satu dari dua negara anggota OKI yang masuk dalam 10 besar eksportir.
Namun demikian, Indonesia sejatinya masih banyak menghadapi pekerjaan rumah di beberapa sektor industri halal. Pertama, pada pengembangan keuangan syariah di mana bobotnya mencapai 30% dalam ranking SGIE tersebut.
Pemerhati ekonomi syariah Hakam Naja mengatakan hal ini membuat peningkatan ranking SGIE RI hanya sampai peringkat 3 saja.
Baca Juga
Advertisement
"Padahal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Saudi Arabia, Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim yang lebih besar, dan bahkan yang terbesar di dunia. Jumlah penduduk Muslim yang besar merupakan faktor yang menjadi pendorong berkembangnya perbankan syariah. Pangsa pasar perbankan syariah Indonesia per September 2023 mencapai 7,27% dibandingkan dengan perbankan secara keseluruhan. Malaysia sudah lebih dari 50%," kata mantan Anggota DPR periode 2014-2019 ini dalam Diskusi Catatan Awal Tahun "Visi Capres dan Evaluasi Ekonomi Syariah di Indonesia", Kamis (12/1/2024).
Menurutnya, penguatan ekosistem ekonomi syariah sangat penting dalam pengembangan perbankan syariah Indonesia, salah satunya melalui industri halal. Dia memaparkan perbankan syariah di Indonesia lahir dari Bank Muamalat pada tahun 1991 namun dukungan regulasi baru muncul 17 tahun setelahnya. "Jika dibandingkan Malaysia, Malaysia sudah menerapkan regulasi terkait sejak awal yang mendorong perkembangan perbankan syariah yang pesat," tambahnya.
Dia juga menyinggung kerja sama dan investasi internasional Indonesia masih sangat kurang di lingkup ekonomi syariah. Pun demikian di bidang pendidikan dan peningkatan mutu SDM serta riset dan inovasi ekonomi syariah yang masih berkembang lambat. "Kemampuan SDM terkait perbankan syariah masih kurang. Banyak eksekutif bank syariah yang lebih didominasi alumni bank konvesional," kritiknya.
Lebih lanjut, dia menekankan perlunya hadir pesaing Bank Syariah Indonesia (BSI) yang kini menjadi bank syariah terbesar. Pasalnya, publik memerlukan pilihan bank syariah lebih banyak juga memperkuat digitalisasi bank syariah.
"Tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih rendah, yaitu sebesar 9,4% dan 12,2%. Angka-angka tersebut jauh tertinggal dibandingkan indeks literasi dan inklusi keuangan nasional yang masing-masing sebesar 49,68% dan 85%," bebernya.
Simak Video Pilihan Ini:
Visi Misi Ekonomi Syariah Capres-cawapres Belum Jelas
Sementara itu pada diskusi yang sama, Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya, Universitas Paramadina Handy Rizal mengatakan momentum pemilu ini dapat menjadikan ekonomi syariah menjadi isu yang strategis.
"Isu ekonomi syariah ada di dalam visi misi masing-masing paslon, tetapi dari segi skala prioritas masih belum jelas mengenai perkembangan industri halal," sebutnya.
Padahal, berdasarkan data Global Islamic Economy, ekonomi halal dapat meningkatkan PDB Indonesia sebesar US$5,1 Miliar (sekitar Rp72,9 Triliun) per tahun melalui peluang ekspor dan investasi. Memang, tingkat investasi Indonesia di antara negara muslim berada pada posisi pertama pada tahun 2022/2023. Namun, Indonesia belum punya satu ukuran yang diakui untuk mengukur perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, sehingga masih terpaku pada data SGIE.
"Perkembangan halal food Indonesia relatif stagnan, tetapi secara global memiliki share 16,6%. Yang perlu ditingkatkan adalah sebesar apa investasi halal food ini sehingga dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia," sarannya.
Kemudian, dari segi modest fashion, Indonesia berada pada peringkat ketiga. Hal ini perlu menjadi dorongan dan upaya yang signifikan agar Indonesia bisa menjadi kiblat fashion muslim di dunia. Kemudian, lanjutnya, dari segi pariwisata, Indonesia tidak ada di 10 besar. "Padahal potensi muslim friendly tourism atau kawasan pariwisata yang memfasilitasi orang muslim untuk beribadah selama berwisata dan adanya makanan dan minuman halal di Indonesia sangat besar," singgungnya.
Lalu, terkait media and recreation, Indonesia menempati peringkat ke-6 dan farmasi dan kosmetik, peringkat ke-5. Menurutnya, bahan baku obat banyak tersedia di Indonesia sehingga RI bisa menjadi leader pada pengembangan farmasi halal dan kosmetik halal. "Wardah menjadi bukti bahwa potensi kosmetik halal di Indonesia itu ada. BPS belum ada pengukuran terkait share dan pertumbuhan industri halal," bebernya.
Advertisement