Pajak Hiburan Naik hingga 75 Persen, Apa Dampaknya?

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar, menilai naiknya pajak hiburan sebesar 40 persen dan maksimal 75 persen dari sebelumnya hanya 15 persen, tentunya pelaku usaha dan konsumen akan terimbas dampaknya.

oleh Tira Santia diperbarui 15 Jan 2024, 09:30 WIB
Ilustrasi Foto Pajak. Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar, menilai naiknya pajak hiburan sebesar 40 persen dan maksimal 75 persen dari sebelumnya hanya 15 persen, tentunya pelaku usaha dan konsumen akan terimbas dampaknya. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar, menilai naiknya pajak hiburan sebesar 40 persen dan maksimal 75 persen dari sebelumnya hanya 15 persen, tentunya pelaku usaha dan konsumen akan terimbas dampaknya.

Fajry mengakui, jika dibandingkan dengan negara lain, tarif khusus untuk sektor diskotik, bar, kelab malam, Spa dan sejenisnya di Indonesia (dalam UU HKPD) memang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.

Di Thailand, diskotik dan sejenisnya dikenakan dalam bentuk cukai dan tarifnya 5 persen. Sedangkan di Malaysia masuk ke dalam service tax dengan tarif 6 persen.

Sedangkan di Filipina, dia dikenakan dalam bentuk tarif PPN yang lebih tinggi. Filipina menggunakan sistem tarif PPN multi tarif. Tarif standar PPN di Filiipina 12 persen sedangkan untuk diskotek dan sejenisnya 18 persen.

"Di Indonesia, diskotik, kelab malam, dan sejenisnya dikenakan dalam bentuk pajak daerah dengan tarif minimum sebesar 40 persenApakah berdampak bagi pariwisata? tidak pukul rata bagi setiap daerah," kata Fajry kepada Liputan6.com, Senin (15/1/2024).

Ia menjelaskan, dalam UU HKPD, kini ada batas tarif minimum sebesar 40 persen, dahulu tidak ada. Alhasil, beberapa daerah akan mengalami kenaikan tarif yang cukup signifikan.

Contohnya, di daerah kabupaten Badung, yang merupakan pusat wisata Bali, akan mengalami kenaikan tarif dari 15 persen ke 40 - 75 persen. Begitu pula dengan Jakarta, dari 25 persen akan meningkat 40 - 75 persen.

Alhasil, industri hiburan di kedua daerah yang mengalami kenaikan pajak tersebut akan terdampak. Kenaikan pajak ini bisa menaikan harga yang yang dibayarkan oleh konsumen dan/atau mengurangi keuntungan dari pemilik usaha.

"Dengan harga tiket ke luar negeri yang kini murah, kenaikan tarif ini akan menjadi tantangan besar bagi para pelaku usaha. Konsumen bisa saja memilih opsi ke luar negeri. Begitu pula dengan pengusaha, kalau konsumennya kabur mereka juga pasti akan kabur," ujarnya.

 


Tarif Tertinggi

Ilustrasi Pajak. (Shutterstock)

Namun, bagi daerah yang tarifnya sudah tinggi seperti Bogor, tarifnya 75 persen, ketentuan ini tidak akan berdampak. Karena sedari awal, tarifnya sudah tinggi. Sehingga lebih memberikan dampak ke industri di wilayah atau daerah tertentu ya, dibanding ekonomi secara keseluruhan.

"Saya sangat menyangkan klausa minimum 40 perseb dalam UU HKPD, biarkan daerah beri keluasaan tarif yang sesuai. Kalau daerah pusat wisata hiburan malam seperti Bali, tak boleh tinggi-tinggi tarifnya," ungkap Fajry.

Sebagai pengamat, ia pun menyayangkan dengan kenaikan pajak hiburan yang tertuang dalam UU HKPD terbaru ini. Menurutnya, pelaku usaha akan kesulitan jika meminta Pemerintah untuk merevisi aturan tersebut, karena baru saja diberlakukan.

"Ini baru berlaku. Jadi, sulit untuk mengubah atau merevisinya lagi. Terlebih kita akan memasuki tahun pemilihan dan dengan anggota DPR yang baru," pungkasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya