Menanti Keadilan Bagi Disabilitas Musi Banyuasin, Sulitnya Salurkan Hak Pilih Saat Pemilu (1)

Para disabilitas di Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel menanti keadilan sebagai warga negara, agar bisa mengikuti pencoblosan di Pemilu 2024.

oleh Nefri Inge diperbarui 17 Jan 2024, 10:49 WIB
Difabel ganda, M Ali saat disuapi makan oleh ibunya Fatima di depan ayahnya Rusli, di Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Puluhan tahun berlalu, Muhammad Ali hanya bisa tergeletak tak berdaya di dalam rumahnya, di Kabupaten Musi Banyuasin , Sumatera Selatan (Sumsel). Anak ketiga dari lima bersaudara ini, hanya bisa tengkurap dan terlentang, tanpa bisa beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya.

Pria kelahiran Sekayu Musi Banyuasin ini menderita disabilitas ganda, yakni tunagrahita, tunadaksa hingga tunarungu, yang membuat tubuhnya seperti masih anak kecil, walau di April 2024 nanti, dia genap berusia 38 tahun.

Ayahnya, Rusli (73) yang hanya seorang pengayuh becak, membuat kehidupan mereka serba terbatas. Apalagi saudara-saudara Ali yang sudah berumahtangga, tak jauh beda nasibnya, hidup serba kekurangan.

Di dalam rumah kontrakan berbahan kayu di Jalan KH Ahmad Dahlan LK 1 Balai Agung Kecamatan Sekayu Musi Banyuasin, mereka hanya tinggal bertiga saja. Dengan mengandalkan upah angkut barang Rusli, yang didapatkannya setiap mangkal di pasar tradisional Sekayu dari pagi hingga siang hari.

Walau sudah berusia dewasa, ternyata Ali baru mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) satu tahun terakhir. Pihak Panti Asuhan El Nusa di Sekayu-lah yang mengurus proses pengajuanrekam dan pembuatan KTP Ali.

“Selama ini saya tidak tahu bagaimana caranya mengurus KTP untuk Ali, tidak ada juga perangkat daerah di sini yang mengajukannya. Untung saja ada petugas dari panti asuhan yang mengusulkan, barulah Ali dapat KTP di tahun lalu,” ucap Rusli, kepada Liputan6.com, Senin (8/1/2023).

Setelah mendapatkan KTP, Ali akhirnya terdata sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari 2024 mendatang. Dari usianya 18 tahun yang seharusnya bisa memilih, Rusli menyayangkan hak suara Ali terabaikan saja.

Sebagai kepala keluarga, Rusli sangat ingin anaknya ikut berpartisipasi dalam pencoblosan di Pemilu 2024 mendatang. Namun dia bingung, bagaimana caranya agar Ali bisa menyalurkan hak suaranya.

Untuk menggotong tubuh Ali ke TPS, Rusli dan istrinya Fatima (63) tidak sanggup. Dia berhara pada petugas TPS yang datang ke rumahnya, agar Ali bisa melakukan pemilihan seperti warga negara lainnya.

Kendala lainnya yang dihadapinya, dia tidak tahu bagaimana anaknya bisa menyalurkan hak suaranya. Karena selama ini, dia dan istrinya tidak pernah mendapat sosialisasi cara pencoblosan bagi anaknya disabilitas.

“Saya tidak tahu bagaimana cara mencoblosnya, apakah bisa diwakilkan ke saya atau istri, atau anak saya langsung yang mencoblos. Bagaimana cara mencoblos, apakah yang dipilih dilihat orang yang hadir, atau dirahasiakan. Bahkan nama calon presiden saja, saya tidak tahu sama sekali,” ucap warga Musi Banyuasin ini.


Suara Tuna Netra

Dedi Andri (38), penyandang tuna rungu di Jalan Merdeka LK 1 Kelurahan Kayu Are Kecamatan Sekayu Musi Banyuasin Sumsel (Liputan6.com / Nefri Inge)

Keadilan sebagai DPT juga tidak didapatkan Dedi Andri (38), penyandang tuna rungu di Jalan Merdeka LK 1 Kelurahan Kayu Are Kecamatan Sekayu Musi Banyuasin Sumsel ini.

Dia ingat betul ketika pertama kali menyoblos di tahun 2019 lalu sejak dia menderita kebutaan. Dedi didatangi petugas penyelenggara Pemilu, untuk mendatanya sebagai DPT agar ikut serta mencoblos di Pemilu 2019 lalu.

Saat hari pencoblosan, petugas TPS, hansip, perwakilan partai dan petugas lainnya datang ke rumahnya. Dedi juga didampingi kedua orangtuanya yang sudah sepuh.

Petugas TPS menyebutkan siapa saja calon-calon presiden saat itu dan nomor urutnya berapa. Setelah dia menyebutkan siapa yang akan dipilihnya, petugas lalu mengarahkan tangannya ke kolom nama capres tersebut.

Tidak ada kertas braille, dia juga tidak mengerti bagaimana cara membaca huruf timbul braille tersebut. Tangannya hanya diarahkan ke kertas suara yang diletakkan di lantai. Lalu, dia mencoblos sesuai dengan arahan petugas TPS.

“Walau ada keluarga, tapi kertas surat suara saya ditunjukkan ke semua orang yang datang saat itu. Jadi tidak ada rahasia lagi siapa yang saya pilih. Saya jadinya tidak enak dengan orang-orang, apalagi kalau ada yang pilihannya berbeda. Dan saya juga tidak bisa memastikan, apakah surat suara yang saya coblos, sesuai dengan yang saya pilih,” ucap Dedi.

Awalnya Dedi terlahir sebagai orang normal, tanpa ada keterbatasan fisik. Namun di tahun 2010 lalu, dia keracunan minuman keras hingga mengganggu syaraf matanya dan berakhirdengan kebutaan.


Hasil Pencoblosan Dipamerkan

Dedy Andri berfoto bersama kedua orangtuanya, Munari (65) dan Ronila (59) di Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel (Liputan6.com / Nefri Inge)

Setelah menjadi penyandang tuna rungu, dia tidak pernah mengikuti Pemilu, baik Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 atau pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sumsel. 

“Tidak ada petugas yang datang mendata saya, jadi saya terpaksa golput, kecewa sih karena tidak bisa mencoblos. Tapi tidak ada petugas yang datang ke rumah,” ungkapnya.

Padahal saat masih sehat, Dedi yang saat ini berprofesi jadi tukang urut tradisional, rutin ikut pencoblosan. Bahkan saat sehat, dia pernah jadi timses salah satu calon gubernur saat itu.

Barulah tahun 2019 lalu, dia didata sebagai DPT dan bisa mencoblos. Walau proses pencoblosannya tidak sesuai dengan keinginannya.

Jelang pencoblosan Februari 2024 nanti, tidak ada satu orang pun petugas penyelenggara Pemilu yang datang ke rumahnya, untuk menyosialisasikan cara pencoblosan di TPS nantinya.

Dia berharap, bisa datang ke TPS di dekat rumahnya untuk bisa melakukan pencoblosan secara langsung. Jika tahun-tahun lalu dia absen karena tidak ada yang mendampinginya, dia berharap nanti bisa didampingi ayahnya yang sudah pensiun bekerja.

“Saya ingin mencoblos tahun ini, sudah ada pilihan (capres) karena saya sering mendengar berita dan debat capres di televisi, walau tidak tahu bagaimana wajahnya. Tapi belum ada petugas yang datang, jadi saya tidak tahu pencoblosan nanti seperti apa. Inginnya sih ke TPS,” ucapnya.


Ingin ke TPS

Ketua PPDI Musi Banyuasin Sudarman mengedukasi Dedy Andri, agar hasil pencoblosan surat suara Pemilu tidak boleh ditunjukkan ke orang lain (Liputan6.com / Nefri Inge)

Kendati dengan keterbatasan fisiknya, Dedi Andri ternyata tercatat sebagai atlet MPC cabang olahraga (cabor) atletik lempar lembing dan tolak peluru sejak 2021 lalu. Dia pun sering meraih kemenangan, baik medali emas, perak dan perunggu.

Anak kedua dari pasangan Munari (65) dan Ronila (59) ini berharap, petugas penyelenggara Pemilu 2024 bisa menghargai hak suaranya, dengan tidak menunjukkan siapa yang dia pilih ke orang-orang yang tidak perlu tahu.

“Hak suara saya, itu kan pilihan saya. Seharusnya tidak boleh ada yang tahu, jika pun harus diketahui, cukup keluarga saya saja. Harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku, jangan jadi tontonan orang-orang lain, saya tidak enak jadinya ketahuan siapa yang saya pilih. Makanya saya ingin sekali nyoblos sendiri ke TPS, cukup didampingi bapak saja, biar saya dan bapak yang tahu siapa yang saya pilih,” katanya.

Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Musi Banyuasin Sudarman menjelaskan ke Dedi dan kedua orangtuanya, jika surat suara yang sudah dicoblos, tidak boleh ditunjukkan ke orang lain.

“Cukup didampingi orangtua saja, petugas lainnya tidak boleh tahu siapa yang dicoblos Dedi. Kalau saksi yang datang itu, hanya memastikan saja jika pencoblosan sesuai dengan ketentuan. Kalau ditunjukkan dan diarahkan ke saksi dan petugas, itu sudah menyalahi aturan,” ujar Sudarman.

 

Berita Selanjutnya: Menanti Keadilan Bagi Disabilitas Musi Banyuasin, Sulitnya Salurkan Hak Pilih Saat Pemilu (2)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya