Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, menelusuri dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Negeri Sipil (ASN) mengampanyekan salah satu pasangan capres-cawapres yang videonya viral saat kegiatan rembuk guru di Museum Balla Appaka Sulapa, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
"Bawaslu Takalar sudah membentuk tim untuk melakukan penelusuran atas informasi ini. Karena, sampai sekarang tidak ada atau belum ada laporan masuk. Ditunggu hasilnya yah," kata Anggota Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad dilansir dari Antara, Senin (15/1/2024).
Baca Juga
Advertisement
Sementara Ketua Bawaslu Takalar, Nellyati mengaku, telah mendapatkan informasi awal berupa video diduga ASN mendukung salah satu pasangan capres-cawapres.
Dari rekaman video viral itu, ASN yang disebut-sebut berkampanye tersebut diduga Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten Takalar, Muhammad Hasbi. Dugaan kampanye itu dilakukan saat acara rembuk guru.
"Viralnya video dugaan tidak netralnya Sekda Takalar selaku ASN dan dugaan berkampanye itu merupakan informasi awal dan bagi kami akan segera melakukan penelusuran terhadap video tersebut dan memastikan prosesnya sesuai peraturan perundang-undangan," ucap Nellyati.
Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas (HP2H) Bawaslu Takalar, Zahlul Padil mengimbau, seluruh ASN untuk menjaga netralis saat Pemilu 2024.
"Kami telah memaksimalkan pencegahan melalui imbauan kepada ASN, TNI Polri untuk menjaga netralitasnya. Kami berharap semua pihak mendukung netralitas agar konstalasi demokrasi berjalan dengan aman, luber dan jurdil," kata Zahrul.
Sebelumnya, Sekda Pemkab Takalar Hasbi mewakili Penjabat (Pj) Bupati Takalar Setiawan Aswad membuka acara Rembuk Guru di Museum Daerah setempat. Hadir pula pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Takalar bersama perangkatnya termasuk kepala sekolah beserta guru ASN dan non ASN se Kabupaten Takalar pada Rabu, 10 Januari 2024.
Dalam video tersebut, Hasbi menyinggung soal belanja untuk pengajian guru yakni Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Meski demikian ia menyampaikan permohonan maaf bagi yang belum PPPK yang belum terangkat menjadi PNS.
"Pak Jokowi sudah janjikan, kalau anaknya menang, akan dilanjutkan program pengangkatan PNS, jutaan. Itu harus diapresiasi. Pengangkatan CPNS kita butuh. Guru- guru ini kurang. Tapi, kita juga tidak mau membebani APBD. Kita mau anggaran pusat ditambah untuk menggaji PPPK," ucapnya dalam video tersebut.
Bawaslu Garut Buru Orang yang Suruh 13 Oknum Satpol PP Bikin Video Dukung Gibran
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Garut, Jawa Barat, sedang berupaya mencari orang (pelaku utama) yang menyuruh 13 oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Garut membuat video dukungan terhadap calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka.
"Salah satunya itu (siapa yang menyuruhnya)," kata Ketua Bawaslu Garut Ahmad Nurul Syahid dilansir dari Antara, Kamis (11/1/2024).
Ia menuturkan, Bawaslu Garut sedang memeriksa 13 oknum Satpol PP Garut yang berada dalam video dukungan terhadap Gibran, termasuk orang yang merekam, dan menyebarkan video tersebut.
Menurut Ahmad, pihaknya tidak hanya meminta keterangan terkait netralitas anggota Satpol PP Garut, melainkan untuk mencari tahu siapa yang menyuruh mereka membuat video dukungan terhadap Gibran.
"Tadi awalnya kita duga perekaman itu dengan cara disimpan, ternyata ada yang merekam, sehingga berjumlah 14 orang, yakni 13 orang yang ada di video dengan orang yang merekam, jadi 14 orang, jadi itu sudah dipastikan kita panggil," tutur dia.
Ahmad menyampaikan, pihaknya juga akan mendalami alasan 13 oknum Satpol PP tersebut membuat video di tempat sarana pemerintah.
"Kita gali secara keseluruhan, yang pertama dari mulai sarana pemerintahan," katanya.
Ahmad mengatakan, kasus anggota Satpol PP Garut itu disangkakan pada dua pasal yakni Pasal 280 (3) Jo Pasal 494 dan Pasal 283 UU 7/2017 tentang Pemilu dengan ancaman kurungan 1 tahun penjara dan denda Rp12 juta.
Terkait status 13 oknum Satpol PP tersebut bukan ASN, kata dia, secara aturan dalam SKB 5 Menteri bahwa status tenaga kerja kontrak, maupun honorer misalnya, tetap penanganannya sama seperti ASN dengan ancaman satu tahun penjara dan denda Rp12 juta.
"Itu diperlakukan sama dengan ASN," katanya.
Advertisement