Pajak Hiburan Naik Bisa Bikin Wisatawan Kabur, Sandiaga Uno Minta Pemda Tunggu Hasil Judicial Review di MK

Sejauh ini, Sandiaga Uno menyebut ada empat kabupaten/kota di Bali yang sudah mengeluarkan perda pajak hiburan berdasarkan aturan baru di UU HKPD. Namun, ia menyatakan wisatawan tak akan dikenai biaya tambahan selain pajak wisata Rp150 ribu.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 15 Jan 2024, 20:00 WIB
Menteri Sandiaga Uno di Ajang GPDRR 2022 Bali Dewi Divianta/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno kembali merespons gaduh ketetapan pajak hiburan yang besarannya antara 40--75 persen. Ia menyadari isu tersebut begitu sensitif sehingga berdampak langsung pada dunia pariwisata, termasuk bisa membuat wisatawan enggan berkunjung.

Ia berharap semua pihak tidak terlalu berpolemik yang menimbulkan persepsi negatif. "Saya khawatir kalau kita terus mengekskalasi ini, akhirnya nanti wisatawan melihat ada situasi yang tidak kondusif di Indonesia, apalagi sekarang kita menjadi sorotan setelah kita berhasil bangkit," kata Sandiaga seusai Weekly Brief with Sandi Uno (WBSU) di Jakarta, Senin (15/1/2024).

Ia meminta semua pihak mempromosikan bahwa pariwisata Indonesia berkualitas dan berkelanjutan. Sejauh ini, pihaknya fokus menyosialisasikan pajak wisata sebesar Rp150 ribu untuk wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali. Aturan itu mulai berlaku pada 14 Februari 2024.

"Di samping itu, tidak ada lagi tambahan per hari ini dan tidak ada kenaikan dari jasa-jasa pariwisata yang ditawarkan selama mereka berwisata, sembari kita menunggu dan menata kembali sektor hiburan parekraf," ujarnya.

Di sisi lain, Sandi mengimbau agar pemerintah daerah tidak buru-buru menerapkan aturan baru pajak hiburan menurut pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pasalnya, sejumlah pihak, terutama pengusaha spa, sedang mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Prosesnya ini baru 3 Januari dimasukkan dan sedang dipersiapkan jadwal pembahasannya. Jadi, mohon kita bersabar dan di saat yang sama, mari kita gunakan kesempatan ini untuk berdiskusi mencari sebuah solusi yang memajukan industri parekraf, tetapi juga bisa membantu memperkuat keuangan negara," ucap Sandi.

 


Besaran Pajak Hiburan Usulan Sandiaga

Ilustrasi spa. (dok. pexels.com/Jonathan Borba) 

Sandi menyatakan yang bisa dilakukan Kemenparekraf saat ini adalah menyuarakan, memfasilitasi, dan berkolaborasi dengan Pemda sembari menunggu putusan MK atas judicial review yang dilakukan. Ia mengingatkan bahwa pariwisata Indonesia harus berdaya saing sehingga mampu menarik wisatawan-wisatawan yang berdampak pada ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja.

"Kalau usahanya dibebani terlalu besar pajaknya, ini enggak sehat, enggak kondusif. Jadi, harus dicari suatu titik equlibrium di mana mereka bisa berusaha, tetap membuka lapangan kerja, tapi juga membayar komitmen terhadap penerimaan negara," katanya.

Sandi pun menyebutkan usulan besaran yang ideal semestinya tidak terlalu jauh dari negeri tetangga. Ia mencontohkan Singapura saat ini menetapkan pajak hiburan 15 persen tanpa dibebani biaya ekstra lainnya.

"Mestinya enggak terlalu jauh dari mereka, yaitu 20--25 persen. Mungkin itu yang pas untuk industri," katanya.

Ia berpendapat besaran itu pas karena rezim pajak di Indonesia memberikan banyak insentif untuk investasi. Ia juga mengusulkan kalau pun pajak hiburan tetap diberlakukan 40 persen, pengusaha bisa diberikan insentif nonfiskal lain. " Ini solusi yang kita harapkan untuk dimungkinkan dalam proses diskursus ini," sambungnya.


Pengusaha Bali Protes

Inul Daratista saat berada di tempat karaokenya sembari membahas isu soal pajak. (Tangkap layar TikTok @inul.daratista)

Meski meminta pemda menahan diri, Sandi mengakui bahwa sejumlah daerah sudah membuat perda pajak hiburan berdasarkan aturan yang baru. Ia menyebut Badung, Tabanan, Gianyar, dan Kota Denpasar sebagai daerah yang menetapkan besaran pajak hiburan 40 persen.

"Tapi, saya sangat menyarankan dan nanti kita jadi bahasan dalam diskusi ini bahwa sembari kita menunggu hasil judicial review di MK, ini kita diskusikan dulu dengan para pelaku usaha," sahutnya.

Sementara, Kadispar Bali Tjok Bagus Pemayun kembali mengungkapkan kekhawatiran para pengusaha spa di Bali atas aturan tersebut karena mereka juga dikategorikan sebagai objek pajak hiburan. "Karena spa masuk di hiburan, tentu narasinya menjadi negatif untuk spa itu sendiri," katanya.

"Tadi kami sudah bertemu dengan Bali Spa Association, di mana diskusi tadi jg ada peluang di pasal 101, kita, wajib pajak itu bisa melakukan keberatan. Kami sampaikan, agar mereka bersurat ke pemda kabupaten/kota se-Bali karena ruang itu ada sehingga tembusannya bisa kepada Pak Gubernur sehingga Pak Gubenur bisa dari dasar ini mendorong kabupaten/kota untuk memerhatikan daripada keberatan teman-teman pengusaha spa," sambungnya.


Bunyi Pasal 55 dan 58 UU HKPD

Pura Lempuyang Luhur, Bali. (dok. Instagram @st.ana93/https://www.instagram.com/p/BzILUEqncC9/)

Pasal 55 (1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi:

a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visuallainnya yang dipertontonkan secara langsung disuatu lokasi tertentu;

b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;

c. kontes kecantikan;

d. kontes binaraga;

e. pameran;

f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;

g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;

h. permainanketangkasan;i. olahraga permainan dengan menggunakantempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkaphnuntuk olahraga dan kebugaran;

j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahanapendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahanapermainan, pemancingan, agrowisata, dan kebunbinatang;k. panti pijat dan pijat refleksi; dan

l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandiuap/spa.

(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:

a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;

b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau

c. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.

Pasal 58

(1) Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluhpersen).

(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek,karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spaditetapkan paling rendah 4Oo/o lempat puluh persen) danpaling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:

a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain olehindustri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan

b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri,ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma limapersen).

(4) Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (l), ayat (2),dan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.

 

Infografis Lapor Pajak dengan E-Filing (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya