Penelitian baru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) Amerika Serikat mengungkapkan bahwa jumlah diagnosis gangguan pemusatan perhatian atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) meningkat tajam. New York Times melaporkan, satu dari lima anak usia sekolah mengalami derita ini.
Jika dilihat secara keseluruhan, sebanyak 11 persen dari anak usia sekolah didiagnosis mengalami ADHD. Angka ini meningkat tajam selama satu dekade terakhir.
Sekitar 6,4 juta anak usia 4 dan 17 tahun terdiagnosis ADHD pada 2013. Angka ini meningkat 16 persen dibanding diagnosis yang dibuat pada 2007. Bila dilihat selama 10 tahun terakhir, ada peningkatan sekitar 53 persen.
Dalam hal pengobatan, CDC juga menemukan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang didiagnosis ADHD mendapat resep stimulan seperti Ritalin dan Adderall. Meski obat ini dapat bermanfaat bagi anak hiperaktif, dikhawatirkan masih ada efek sampingnya seperti kecanduan dan kecemasan.
"Gejala ringan yang didiagnosis begitu mudah, yang melampaui gangguan dan di luar zona ketidakjelasan pada peningkatan murni anak-anak yang sehat," jelas seorang ahli saraf pediatrik di New Heaven dan seorang profesor di Yale School of Medicine, Dr William Graf, seperti dikutip Fox News, Rabu (3/4/2013)
Untuk mendapatkan data ini, CDC mewawancarai lebih dari 76.000 orang tua tentang riwayat kesehatan anak-anaknya. 15 persen anak laki-laki usia sekolah ditemukan mengalami ADHD, sementara 7 persen anak perempuan.
Di usia sekolah, 10 persen anak perempuan terdiagnosis, sementara anak lelaki 19 persen.
Banyak dokter percaya bahwa angka dan data ini mungkin mencerminkan pengenalan yang lebih baik tentang persoalan ini. Namun, yang lain khawatir tentang adanya over diagnosis ADHD, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pengobatan yang tidak perlu dengan obat stimulan.
Beberapa berspekulasi bahwa sejak obat-obatan itu beredar membantu anak-anak meningkatkan fokusnya.
Prosedur saat ini untuk mendiagnosa ADHD masih subyektif, yaitu berbicara dengan orangtua, guru, dan pasien tentang gejala yang terjadi. Untuk sementara mengesampingkan penjelasan medis lainnya. Tidak ada tes definitif untuk gangguan ini. (Adt/Abd)
Jika dilihat secara keseluruhan, sebanyak 11 persen dari anak usia sekolah didiagnosis mengalami ADHD. Angka ini meningkat tajam selama satu dekade terakhir.
Sekitar 6,4 juta anak usia 4 dan 17 tahun terdiagnosis ADHD pada 2013. Angka ini meningkat 16 persen dibanding diagnosis yang dibuat pada 2007. Bila dilihat selama 10 tahun terakhir, ada peningkatan sekitar 53 persen.
Dalam hal pengobatan, CDC juga menemukan bahwa dua pertiga dari anak-anak yang didiagnosis ADHD mendapat resep stimulan seperti Ritalin dan Adderall. Meski obat ini dapat bermanfaat bagi anak hiperaktif, dikhawatirkan masih ada efek sampingnya seperti kecanduan dan kecemasan.
"Gejala ringan yang didiagnosis begitu mudah, yang melampaui gangguan dan di luar zona ketidakjelasan pada peningkatan murni anak-anak yang sehat," jelas seorang ahli saraf pediatrik di New Heaven dan seorang profesor di Yale School of Medicine, Dr William Graf, seperti dikutip Fox News, Rabu (3/4/2013)
Untuk mendapatkan data ini, CDC mewawancarai lebih dari 76.000 orang tua tentang riwayat kesehatan anak-anaknya. 15 persen anak laki-laki usia sekolah ditemukan mengalami ADHD, sementara 7 persen anak perempuan.
Di usia sekolah, 10 persen anak perempuan terdiagnosis, sementara anak lelaki 19 persen.
Banyak dokter percaya bahwa angka dan data ini mungkin mencerminkan pengenalan yang lebih baik tentang persoalan ini. Namun, yang lain khawatir tentang adanya over diagnosis ADHD, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pengobatan yang tidak perlu dengan obat stimulan.
Beberapa berspekulasi bahwa sejak obat-obatan itu beredar membantu anak-anak meningkatkan fokusnya.
Prosedur saat ini untuk mendiagnosa ADHD masih subyektif, yaitu berbicara dengan orangtua, guru, dan pasien tentang gejala yang terjadi. Untuk sementara mengesampingkan penjelasan medis lainnya. Tidak ada tes definitif untuk gangguan ini. (Adt/Abd)