Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi China diprediksi melambat menjadi 4,6 persen pada 2024. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan menurun menjadi 4,5 persen pada 2025.
Prediksi pertumbuhan ekonomi China itu berdasarkan jajak pendapat Reuters dikutip dari Channel News Asia, Selasa (16/1/2024).
Advertisement
Seiring pertumbuhan ekonomi itu meningkatkan tekanan pada pembuat kebijakan untuk melakukan lebih banyak langkah stimulus di tengah tekanan deflasi dan sektor properti yang lesu.
Produk domestik bruto (PDB) China kemungkinan tumbuh 5,2 persen pada 2023, memenuhi target pertumbuhan tahunan pemerintah, sebagian terbantu oleh efek dasar rendah pada tahun sebelumnya yang ditandai dengan lockdown akibat COVID-19. Hal ini menurut perkiraan dari 58 ekonom yang disurvei oleh Reuters.
Namun, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini sulit bangkit kembali setelah pandemi COVID-19 yang kuat dan berkelanjutan, terbebani oleh krisis properti yang berkepanjangan, Selain itu, kepercayaan konsumen dan dunia usaha yang lemah, meningkatnya utang pemerintah daerah dan pertumbuhan global yang lesu.
Data terbaru menunjukkan awal 2024, kondisi ekonomi goyah dengan tekanan deflasi yang terus menerus dan sedikit peningkatan ekspor kemungkinan tidak akan mampu membalikkan keadaan dengan cepat dalam aktivitas domestik yang lemah. Pinjaman bank juga lemah pada Desember.
“Prospek perekonomian China pada 2024 akan dibentuk oleh prospek sektor real estate,” ujar Analis Swiss Life Asset Management.
Analis menyebutkan, tujuan pemerintah adalah mengurangi kelebihan pasokan yang terjadi di sektor ini dalam beberapa tahun terakhir dan menyesuaikan pasokan dengan permintaan yang nyata. “Oleh karena itu, kami memperkirakan perlambatan ini akan terus berlanjut pada 2024 dan seterusnya,” demikian disampaikan Analis Swiss Life Asset Management.
Target Pertumbuhan Ekonomi China
PDB pada kuartal IV 2023 kemungkinan tumbuh 5,3 persen dari tahun sebelumnya lebih cepat dari laju kuartal III sebesar 4,9 persen, menurut jajak pendapat.
Namun, secara kuartalan, ekonomi diperkirakan tumbuh 1 persen pada kuartal IV, dibandingkan pertumbuhan 1,3 persen pada Juli-September, menurut jajak pendapat tersebut.
Adapun pemerintah China akan merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023 dan kuartal IV bersama dengan data aktivitas pada Desember, Rabu, 17 Januari 2024.
“Pemulihan yang rapuh mungkin tetap berjalan sesuai rencana pada Desember meskipun mungkin hanya bersifat lunak. Penyampaian kebijakan bisa menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Analis CITI.
Adapun China mematok pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen pada 2023. Pengamat prediksi China akan pertahankan target tersebut pada 2024.
Advertisement
Lebih Banyak Stimulus
Bank Sentral China atau the People’s Bank of China (PBOC) telah berjanji untuk meningkatkan dukungan kebijakan bagi perekonomian pada 2024 dan mendorong pemulihan harga.
Namun, PBOC menghadapi dilemma karena lebih banyak kredit yang mengalir ke sektor produktif dibandingkan konsumsi yang dapat menambah tekanan deflasi dan mengurangi efektivitas alat kebijakan moneternya.
Pada Senin, Bank Sentral China mempertahankan suku bunga dalam jangka menengah. Hal ini berlawanan dengan harapan pasar penurunan suku bunga karena tekanan terhadap mata uang yuan terus membatasi ruang lingkup pelonggaran moneter.
Analis yang disurvei Reuters prediksi bank sentral akan memangkas suku bunga pinjaman satu tahun (LPR), suku bunga acuan pinjaman pada kuartal I.
Ekonom Minsheng Bank Wen Bin menuturkan, PBOC juga dapat memangkas rasio persyaratan cadangan bank pada Maret-April, jika indikator ekonomi terus melemah.
Pada Oktober, pemerintah China menerbitkan obligasi negara senilai 1 triliun yuan untuk mendanai proyek investasi. Analis menuturkan, kemungkinan akan terus meningkatkan belanja fiskal untuk mendorong pertumbuhan.
Inflasi konsumen akan meningkat menjadi 1 persen pada 2024 dari 0,2 persen pada 2023, dan terus meningkat menjadi 1,6 persen pada 2025, menurut jajak pendapat tersebut.
S&P: Ekonomi China Loyo, India Bakal Pimpin Pertumbuhan Asia Pasifik
Sebelumnya diberitakan, ketika perekonomian Tiongkok melambat, mesin utama pertumbuhan Asia-Pasifik diperkirakan akan beralih ke kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat S&P Global.
Melansir CNBC International, Jumat (1/12/2023) S&P memperkirakan ekonomi India akan semakin menguat dalam tiga tahun ke depan, memimpin pertumbuhan di kawasan Asia-Pasifik.
S&P meramal, PDB India untuk kuartal pertama 2024 diperkirakan mencapai 6,4 persen, lebih tinggi dari perkiraan mereka sebelumnya sebesar 6 persen.
S&P mengaitkan perubahan ini dengan peningkatan konsumsi domestik India yang menyeimbangkan inflasi pangan yang tinggi dan aktivitas ekspor yang buruk.
Demikian pula, negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB yang positif pada tahun ini dan tahun depan karena kuatnya permintaan domestik.
Namun, S&P menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,5 persen pada tahun fiskal 2025, turun dari prediksi mereka sebelumnya sebesar 6,9 persen.
Ekonomi India diperkirakan akan naik kembali menjadi 7 persen pada tahun fiskal 2026.
Sebagai perbandingan, pertumbuhan Tiongkok diperkirakan sebesar 5,4 oersen pada tahun 2023, 0,6 persen lebih tinggi dari perkiraan S&P sebelumnya.
Sementara pertumbuhan pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 4,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,4 persen.
"Persetujuan Tiongkok baru-baru ini terhadap penerbitan obligasi negara senilai 1 triliun renminbi Tiongkok (RMB) dan tunjangan bagi pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi tahun 2024, berkontribusi terhadap perkiraan pertumbuhan PDB riil kami," kata S&P dalam catatannya.
Advertisement
Sektor Real Estate
Namun, S&P memperingatkan bahwa gejolak di sektor real estat Tiongkok akan terus menjadi ancaman bagi perekonomiannya.
"Permintaan terhadap properti baru masih lesu, sehingga mempengaruhi arus kas pengembang dan penjualan lahan," kata Eunice Tan, kepala penelitian kredit Asia-Pasifik di S&P Global.
"Di tengah terbatasnya likuiditas, kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV) yang memiliki banyak utang dapat menyebabkan tekanan kredit semakin meningkat dan berdampak pada posisi permodalan bank-bank Tiongkok," jelasnya.
Dampak Konflik Israel-Hamas
Terlepas dari optimisme S&P di Asia-Pasifik, guncangan energi akibat konflik Israel-Hamas dan risiko penurunan ekonomi AS menyebabkan lembaga S&P menurunkan perkiraannya untuk wilayah tersebut (tidak termasuk Tiongkok) tahun depan menjadi 4,2 persen dari 4,4 persen.