UNIQLO Gugat Shein, Dituduh Plagiat Desain Tas Bahu yang Viral

Sebelum UNIQLO, Shein sebelumnya sudah digugat Hennes & Mauritz AB atas pelanggaran hak cipta di Hong Kong.

oleh Asnida Riani diperbarui 18 Jan 2024, 05:00 WIB
Produk tas kuning UNICLO:C yang diduga diplagiat Shein. (Foto: Dokumen/UNIQLO)

Liputan6.com, Jakarta - UNIQLO menggugat Shein di Jepang, menuduh pengecer China tersebut meniru desain tas Round Mini Shoulder mereka yang populer. Shein dituntut untuk segera menghentikan penjualan "produk imitasi" dan memberi kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan, kata Fast Retailing, perusahaan yang menaungi UNIQLO.

Melansir TIME, Rabu, 17 Januari 2024, tas bahu yang dijual seharga 1,5 ribu yen (sekitar Rp159 ribu) di Jepang ini jadi hit global. Karena itu, UNIQLO telah memperingatkan konsumen tentang produk palsu dan item serupa yang dijual secara online.

Fast Retailing bergabung dengan saingannya, Hennes & Mauritz AB, dalam menuntut Shein atas pelanggaran hak cipta di Hong Kong. Litigasi yang bertujuan mengurangi "ancaman yang ditimbulkan" retailer China ini telah berlangsung sejak 2021.

Perwakilan Shein, perusahaan yang didirikan China dan sekarang berbasis di Singapura, tidak segera menanggapi permintaan komentar TIME. UNIQLO mengajukan gugatan terhadap Roadget Business Pte, Fashion Choice Pte., dan Shein Japan Co. pada 28 Desember 2023 di Pengadilan Distrik Tokyo.

"Perusahaan mengajukan pengaduan ini karena menilai bentuk produk tiruan yang dijual Shein sangat mirip dengan produknya sendiri," kata Fast Retailing dalam keterangannya. "Penjualan produk tiruan oleh Shein secara signifikan melemahkan tingkat kepercayaan pelanggan yang tinggi terhadap kualitas merek UNIQLO dan produknya."

Tuntutan serupa telah diajukan merek pakaian olahraga Jerman adidas terhadap jenama New York Thom Browne. Gugatan yang sudah diajukan sejak 2021 ini telah kembali ke pengadilan sekali lagi pada Desember 2023. Hakim Jed Rakoff dari Distrik Selatan New York menjadwalkan sidang pada 21 Desember 2023.


Tuntut Ganti Rugi

Sepatu Adidas Gazelle Bold. (Liputan6.com/Asnida Riani)

Agenda sidangnya adalah mendengarkan argumen baru seputar maksud pengungkapan empat email tambahan yang muncul setelah kesimpulan awal persidangan. Adidas sebelumnya menggugat Browne karena menggunakan empat garis, mengklaim bahwa hal itu memicu kebingungan dengan desain "tiga garis" ikonis merek olahraga tersebut.

Namun, sang desainer mengklaim bahwa ia telah menggunakan aksen garis-garis selama bertahun-tahun. Pada Januari 2023, juri yang beranggotakan delapan orang kembali dengan putusan yang menyatakan Browne tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau keuntungan menjual produk dengan empat garis.

Tuntutan tampaknya tidak berakhir di situ. Adidas America dan Adidas Ag telah meminta ganti rugi sebesar 867.225 dolar AS (sekitar Rp13,6 miliar) sebagai "biaya lisensi." Mereka juga menuduh Browne berhutang keuntungan sebesar 7 juta dolar AS pada mereka.

Email baru muncul pada Oktober 2023 ketika Adidas menyatakan adanya "niat buruk" dari karyawan Thom Browne. Posel tersebut menunjukkan bahwa karyawan memperingatkan desainer tentang penggunaan garis karena berpotensi menimbulkan kebingungan dengan Adidas.


Tidak Hanya Adidas

Sepatu futsal Adidas Mundial Team. (Dok. adidas)

Di upaya terbaru, Adidas sedang melakukan uji coba baru untuk membuktikan email baru tersebut. Browne berpendapat bahwa email tersebut tidak pernah sengaja disembunyikan. Pengacara Browne juga menegaskan kembali bahwa "tangan adidas sangat bersih."

Pihaknya mengklaim bahwa merek olahraga tersebut telah melanggar perjanjian kerahasiaan Inggris dengan membagikan email tersebut pada penasihat perusahaan tersebut di AS, lebih awal dari yang diungkap sebelumnya.

Adidas tentu bukan satu-satunya merek internasional dalam kasus pengadilan terkait merek dagang. Sebelumnya, Gucci kalah dalam gugatan merek dagang terhadap produsen kaus Jepang, Parodys, yang memiliki rekam jejak meniru logo merek fesyen mewah.

Kendati demikian, pengacara spesialis paten yang memenangkan kasus atas nama perusahaan pakaian yang berbasis di Osaka tersebut mengakui bahwa ia merasa undang-undang Jepang saat ini perlu dievaluasi. Melansir SCMP, 17 September 2022, pada Juli 2021, Gucci mengajukan gugatan terhadap Parodys, yang dimiliki Nobuaki Kurokawa, setelah mencatat bahwa ia punya merek dagang bernama "CUGGL" pada Oktober 2020.


Kasus Merek Dagang Brand Fesyen

Ilustrasi produk Gucci. (dok. unsplash/Flow Clark)

Komplain yang diajukan Gucci adalah garis tersebut mengaburkan bagian-bagian dari huruf yang akan mengungkap mereka untuk terbaca sebagai "CUGGL." Mengingat Gucci adalah merek terkenal secara internasional, siapa pun yang hanya melihat bagian atas huruf-huruf itu akan menganggap mereka mengarang kata Gucci.

Namun pada Juli 2021, Kantor Paten Jepang memutuskan bahwa merek dagang CUGGL "tidak mungkin disamakan dengan GUCCI," atau mungkin memiliki "hubungan ekonomi atau organisasi dengan pemohon." Masaki Mikami, pendiri Marks IP Law Firm, sebelumnya mengatakan bahwa ia yakin memenangkan kasus ini atas nama Kurokawa.

Di sisi lain, Manolo Blahnik, label sepatu ternama berbasis di Inggris, justru memenangi gugatan hukum agar bisa menggunakan nama merek tersebut di China lewat perjuangan hukum selama 22 tahun, yang tidak hanya memakan waktu, tapi juga biaya.

Dalam putusan yang jarang terjadi, pengadilan tertinggi Tiongkok membatalkan merek dagang yang menggunakan nama Manolo Blahnik milik pengusaha sepatu Tiongkok, Fang Yuzhou. Keputusan hukum itu memungkinkan Blahnik untuk pertama kalinya menjual mereknya di pasar barang mewah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia itu.

Infografis Fakta-Fakta Menarik tentang Fashion. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya