Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, dibutuhkan dukungan internasional dalam hal pembiayaan untuk percepatan transisi dari energi kotor menuju energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Percepatan pemanfaatan EBT ini diperlukan untuk mewujudkan target emisi karbon netral atau net zero emission pada 2060 mendatang. Bahkan, bisa lebih cepat dari target tersebut untuk mengatasi permasalah iklim.
Advertisement
"Kemudian juga dalam hal menghadapi tantangan ini, Indonesia tidak mungkin M/menghadapi tantangan (pembiayaan) ini dalam suasana kesendirian," kata Darmawan dalam acara Peresmian Indonesia Energy Transition Implementation Joint Office di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (17/1).
Darmawan menerangkan, bahwa dampak perubahan iklim global tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, melainkan juga seluruh negara di dunia. Dengan ini, bantuan pembiayaan internasional diperlukan untuk percepatan transisi EBT di Indonesia.
"Karena ini adalah global climate change. Ini adalah permasalahan global," tegas Darmawan.
Pemerintah, lanjut Darmawan terus membuka kerja sama bersama dunia internasional untuk memperoleh dukungan pembiayaan bagi percepatan transisi EBT. Seperti kesepakatan komitmen pendanaan suntik mati PLTU batu bara dari kelompok negara maju yang tergabung dalam Just Energy Transition Partnership (JETP).
"Tentu saja ini banyak sekali platform internasional yang menjadi bagian kekuatan dari transition of energy. Ada JETPI, Just Energy Transition Partnership, kemudian ada AZEC dari Jepang ASEAN Zero Emission Community, kemudian juga dari berbagai dunia internasional dan ini perlu clearing house," beber Darmawan.
Percepatan Transisi EBT
Dari sisi internal, pemerintah juga meminta kementerian/lembaga terkait untuk memperkuat kolaborasi sebagai dukungan percepatan transisi EBT di Indonesia. Salah satunya dukungan Kementerian Keuangan terkait anggaran melalui APBN.
"Ada aspek dari Kemenko Marves dalam kerangka dan Kemenko Perekonomian dalam kerangka makroekonomi, hubungan internasional, dan kemudian juga dalam Kementerian Keuangan dalam alokasi budget bagaimana mempengaruhi dari postur APBN, dan tentu saja dari Kementerian BUMN bagaimana dampak terhadap financial, commercial viability (kelayakan komersial), dari BUMN tersendiri," pungkas Darmawan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Gedung Putih, Washington DC. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menanyakan kembali komitmen pendanaan suntik mati PLTU batubara dari kelompok negara maju yang tergabung dalam Just Energy Transition Partnership (JETP).
Seperti diketahui, Indonesia tengah menanti pencairan dana JETP senilai USD 20 miliar, atau setara Rp 300 triliun. Sebagian besarnya dicairkan dalam bentuk pinjaman atau utang, dan sebagian kecil hibah untuk mendorong program transisi energi.
Advertisement
Pinjaman
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah memohon agar JETP tidak mengenakan bunga komersil untuk porsi pinjamannya.
"Dananya ada, cuman kan hampir sama dengan dana komersil. Kemarin juga dipertanyakan oleh pak Presiden ke pak Biden, bahwa harus ada sumber dana yang bukan hubungannya memudahkan, tidak seperti commercial finance," ujarnya di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Namun, dana JETP tidak hanya berfokus pada pensiun dini PLTU batubara.Sebab, ada 5 program yang diusung dalam langkah mencapai transisi energi."Kan kita juga minta JETP 5 program. Early retirement (pensiun dini), transmission, baseload renewable, kemudian renewable yang tidak baseload, kemudian untuk ekosistemnya," papar dia.