Liputan6.com, Jakarta - Sampah plastik masih menjadi permasalahan besar dalam pengelolaan sampah di tanah air. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengolahan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun 2022 timbulan sampah Indonesia mencapai lebih dari 31 juta ton.
Di mana berdasarkan jenisnya, sisa makanan menjadi sampah terbanyak yang mencapai 44% dari total sampah. Kedua diikuti oleh sampah plastik dengan persentase sekitar 18,5%. Kemudian di urutan 3 dan 4 adalah sampah berjenis kayu/ranting (13,17%) dan kertas/karton (11,43%). Sampah jenis logam menyusul dengan persentase sekitar 3,05%. Komposisi sampah kain, kaca, maupun karet / kulit memiliki persentase yang tidak berbeda jauh. Masing-masing persentasenya sekitar 2,64%, 2,27%, dan 2,1%. Sementara itu, masih ada sekitar 7,02% sampah dengan jenis lain yang tidak tergolong dalam kategori di atas.
Net Zero Wate Management Consorsium pada November lalu telah merilis laporan 'Potret Sampah di Enam Kota'. Konsorsium riset berbasis Jakarta itu menyebutkan sampah gelas plastik sejumlah brand minuman ternama ditemukan dalam volume yang besar di banyak site, baik di bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi.
Baca Juga
Advertisement
Tercatat, daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan yang terbesar yakni 59.300 buah ada pada serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus Indomie (37.548).
Empat peringkat setelahnya adalah sampah plastik empat brand minuman populer, yakni Aqua kemasan gelas, botol Sprite, Club kemasan gelas dan VIT kemasan gelas dan botol Fanta. Bila ditotal, total sampah AQUA gelas, Club gelas dan VIT gelas (urutan ketujuh) masih lebih besar dari total serpihan plastik (urutan pertama) yang berhasil diidentifikasi. VIT merupakan anak usaha PT Tirta Investama, pabrikan AQUA.
Sementara itu, dalam daftar 10 teratas sampah air mineral kemasan gelas, ikut masuk pula sampah gelas plastik dari merek Cleo, Prima, Sanqua, dan Chrystaline. Dalam daftar yang sama, ikut masuk pula sampah gelas plastik brand minuman berperisa Ale-Ale (urutan tujuh) dan Value Plus (urutan sepuluh).
Lebih Banyak Sampah Plastik Kecil
Lebih lanjut, Lead Researcher Net Zero Ahmad Syafrudin dalam keterangan tertulis mengakui sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut. "Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar, mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya," katanya.
Di sisi lain, sampah plastik berukuran besar seperti galon sekali pakai tidak ditemukan di enam kota berdasarkan laporan riset tersebut. Namun sampah plastik berukuran kecil cukup mendominasi berdasarkan hasil riset.
Sampah botol produk minuman misalnya, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat. Plastik jenis ini sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Namun sayangnya, ada permasalahan ketika bank sampah yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema ekonomi sirkular pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.
"Kami mendapati bank sampai di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning)," katanya.
Advertisement
Rekomendasi Kebijakan
Guna mengurangi sampah, sebenarnya ada skema Extended Producer Responsibility atau EPR, yang merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk.
Namun menurut Ahmad, temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif. Begitu juga dengan kebijakan Up Sizing di mana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.
Ahmad menilai ada ketidakjelasan terkait implementasi EPR dan ekonomi sirkular yang menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu.
Laporan tersebut juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan review terhadap program pengurangan sampah yang dilakukan oleh produsen (brand) agar program ini berjalan efektif; dan menggulirkan atau mereplikasi program yang berhasil ke produsen, area dan atau kota lain. Selain itu, perlu ada kampanye sanksi sosial bagi produsen yang tidak patuh dan tidak menunjukkan kinerja pengurangan sampah secara efektif, misalnya dengan mempublikasikan volume timbulan sampah kemasan sesuai brand.
"Melakukan review dengan melibatkan publik terkait kinerja pengurangan sampah kemasan oleh produsen secara terukur, pelaksanaan ketentuan pengurangan sampah dan konsekuensi perlakuan hukum (termasuk reward/penalties) bagi yang patuh dan tidak patuh terhadap ketentuan, termasuk dengan merujuk pada yurisprudensi pidana lingkungan hidup dan pidana korporasi, dan menetapkan panduan teknis pelaksanaan EPR dan sirkular ekonomi yang terukur," demikian bunyi laporan tersebut.