Pakar Hukum Sebut Pemakzulan Presiden Jokowi Tak Bisa Dilakukan Karena Tidak Cukup Alasan

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid merespons atas usulan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan ini mencuat.

oleh Tim News diperbarui 18 Jan 2024, 12:22 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid merespons atas usulan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan ini mencuat. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid merespons atas usulan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belakangan ini mencuat.

Diketahui, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mendatangi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md untuk menyampaikan permintaan mengenai pemakzulan Presiden Jokowi.

"Pemakzulan 'impeachment' terhadap Presiden harus memenuhi anasir-anasir absolut yang bersifat measurable, yaitu terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya 'attainable'," ujar Fahri melalui keterangan tertulis, Kamis (18/1/2024).

"Artinya diluar 'article of impeachment' sebagaimana rumusan konstitusi itu, maka tidak cukup alasan atau berdasar untuk malakukan pemakzulan presiden," sambung dia.

Fahri Bachmid menilai, manuver yang dilakukan oleh Petisi 100 bersifat politis dan lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.

"Oni sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini, sebab secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," ucap dia.

Fahri Bachmid menguraikan bahwa lembaga Pemakzulan/Impeachment Presiden telah diatur secara limitatif dalam konstitusi Undang-Undang Dasar atau UUD 1945.

"Seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B yang mengatur bahwa 'Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden'," beber dia.

 


Undang-Undang Selanjutnya

Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Ibu Kota Nusantara (IKN), Provinsi Kalimantan Timur, Jumat (24/2/2023). (Foto: Sekretariat Presiden)

Selanjutnya, Fahri membeberkan, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

"Ketentuan terkait proses tersebut kemudian diajukan Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, ketika proses telah beralih pada MK, maka Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK," terang dia.

Fahri Bachmid menguraikan, aabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

"Langkah selanjutnya adalah MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut" dan Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR, dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum," tutup Fahri Bachmid.

 


Petisi 100 Minta Jokowi Dimakzulkan

Presiden Jokowi memantau perkembangan pembangunan training center PSSI di IKN (istimewa)

Sebelumnya, belum lama ini muncul Petisi 100 dari sejumlah tokoh dan mendatangi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud Md di kantornya.

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 itu menyebut, ada 22 tokoh dari Petisi 100 datang ke kantornya. Di antaranya Faizal Assegaf, Marwan Batubara, Rahma Sarita, dan Letnan Jenderal TNI Mar (Purn) Suharto.

Tujuan kedatangan mereka yang tergabung dalam Petisi 100 tersebut untuk menyampaikan permintaan mengenai pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kedatangan mereka juga untuk melaporkan dugaan kecurangan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.

"Ada 22 tokoh yang datang ke kantor saya. Mereka minta pemakzulan Pak Jokowi, minta Pemilu tanpa Pak Jokowi," ujar Menko Polhukam Mahfud Md, Selasa 9 Januari 2024.

"Mereka menyampaikan, tidak percaya, Pemilu 2024 ini berjalan curang. Oleh sebab itu nampaknya sudah berjalan kecurangan-kecurangan. Sehingga mereka minta ke Menko Polhukam untuk melakukan tindakan," sambung Mahfud.

 


Istana Angkat Bicara, Persilahkan Sampaikan Kritik

Presiden Joko Widodo atau Jokowi meninjau progres pembangunan Hotel Nusantara di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, pada Rabu (20/12/2023). (Dok. Istimewa)

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menanggapi soal permintaan Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat mengenai pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelum Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.

Ari mengatakan, masyarakat bebas menyampaikan kritik dan mimpi politiknya.

"Dalam negara demokrasi, menyampaikan pendapat, kritik atau bahkan punya mimpi-mimpi politik adalah sah-sah saja," kata Ari kepada wartawan, Jumat 12 Januari 2024.

Dia menyampaikan narasi pemakzulan presiden memang kerap dimanfaatkan sejumlah pihak di tahun politik. Namun, kata Ari, mekanisme pemakzulan presiden sudah diatur dalam konstitusi.

"Koridornya juga jelas, harus melibatkan lembaga-lembaga negara (DPR, MK, MPR), dengan syarat-syarat yang ketat. Di luar itu adalah tindakan inkonstitusional," ucap Ari.

Infografis Respons PDIP Terkait Isu Kerenggangan Jokowi - Megawati. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya