Liputan6.com, Jakarta - Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan kepada para ketua dewan lokal dari komunitas di dekat Jalur Gaza pada Selasa (16/1/2024), dia mengantisipasi perang melawan Hamas akan berlanjut hingga tahun 2025. Hal tersebut dilaporkan TV Israel Channel 12 dan dilansir Times of Israel, Jumat (19/1).
"Kita tentu bisa melihat bahwa bagi Netanyahu adalah tidak ada cara lain untuk keluar dari peperangan ini selain obsesinya untuk memenangkan perang. Tapi kan realitasnya hingga 100 hari ini tanda-tanda kemenangan Israel juga belum tampak dan potensi untuk mendapatkan kemenangan strategis juga diragukan, sementara katakan lagi ini sudah berjalan sedemikian rupa, korban sudah sangat banyak," tutur pengamat urusan Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi, kepada Liputan6.com, Kamis (18/1).
Advertisement
"Maka dengan itu, saya kira Netanyahu memang membutuhkan way out, cara keluar dari peperangan ini secara terhormat, dia tidak mau kehilangan muka dan biaya sudah terlalu besar. Korban di pihak Israel juga cukup besar."
Yon menuturkan bahwa salah satu cara menuju perdamaian adalah melalui mediasi.
"Dalam hal ini, saya kira Qatar menjadi negara yang punya peluang besar untuk dapat memberikan solusi atas peperangan. Negosiasi antara Israel dan Hamas yang dimediasi oleh Qatar bisa membuahkan salah satu pertukaran tahanan dan juga dilakukan ceasefire (gencatan senjata). Nah, ini saya kira yang bisa dilakukan karena tidak mungkin untuk melanjutkan perang dalam waktu yang lama sementara dukungan internasional juga semakin berkurang," terang Yon.
Nama Qatar memang tidak asing sebagai mediator konflik Hamas Vs Israel. Amerika Serikat (AS) tentu saja memainkan peran, begitu pula Mesir. Namun, Qatar adalah penengah utama.
Jauh sebelum perang Hamas Vs Israel yang terbaru pecah, negara Teluk yang kecil namun kaya ini telah memiliki reputasi sebagai mediator, terutama dalam negosiasi penyanderaan. Citra tersebut dinilai sengaja dibangun Qatar, yang mengelola hubungan pragmatis dengan para pemain utama di kawasan - menjadi semacam perantara antara pihak-pihak yang tidak akur.
Qatar tidak hanya signifikan karena salah satunya menjadi tuan rumah pangkalan militer AS yang penting untuk operasi di Suriah dan Irak, namun negara ini juga memiliki hubungan baik dengan kelompok-kelompok Islam, termasuk Hamas yang cabang politiknya memiliki kantor di Doha.
Fakta tersebut jelas memberikan Qatar pengaruh dan yang terpenting: akses. AS dan Israel tidak bernegosiasi langsung dengan Hamas maka Qatar adalah perantara yang sangat diperlukan. Melansir VOX, Qatar juga sebelumnya juga memainkan peran perantara antara AS dan Taliban sebelum keduanya merundingkan perjanjian damai secara langsung di Doha.
Hubungan terbuka Qatar dengan Taliban disebut pula telah membantu memfasilitasi evakuasi dari Afghanistan pasca jatuhnya Kabul pada tahun 2021, dan bahkan setelahnya.
China Harus Lebih Agresif
Ketika ditanya peluang negara lain menjadi mediator perdamaian seperti China atau bahkan Indonesia, Yon mencatat sejumlah hal.
"China harusnya lebih agresif ya di dalam hal menawarkan alternatif solusinya guna memediasi konflik antara Israel dan Palestina yang sudah cukup panjang karena tentu tidak mungkin menyerahkan urusan ini kepada AS. AS kan tidak lagi menunjukkan sikap yang objektif, tetapi justru berpihak dan mendukung Israel," beber Yon.
Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi beberapa hari lalu menyerukan konferensi perdamaian yang lebih besar terkait konflik Israel-Palestina.
"China mendesak diadakannya konferensi perdamaian internasional berskala lebih besar, lebih otoritatif dan lebih efektif; perumusan jadwal dan peta jalan yang spesifik untuk penerapan solusi dua negara; dan dukungan untuk segera dimulainya kembali perundingan perdamaian Israel-Palestina," ungkap Wang Yi seperti dikutip dari Reuters.
Dalam kesempatan berbeda, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan, peta jalan yang dimaksud harus mengikat.
Melalui pernyataan bersama dengan Sekretaris Jenderal Liga Arab pada Minggu (14/1) mengenai konflik di Jalur Gaza, Menlu Wang Yi menggarisbawahi, "Negara-negara berpengaruh, khususnya, perlu memainkan peran objektif, tidak memihak dan konstruktif dalam hal ini."
Advertisement
Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Lebih lanjut, Yon menuturkan bahwa Indonesia harus tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan dukungan terhadpa Palestina.
"Karena itu adalah kapasitas Indonesia untuk menjaga moral internasional berkaitan dengan kekejian, tragedi kemanusiaan yang ada di Gaza yang dilakukan oleh Israel. Ada perbedaan pandangan antara negara-negara yang terlibat dengan pendudukan penjajahan dengan negara-negara yang menjadi korban penjajahan yang biasanya mereka anti terhadap pendudukan Israel, sementara negara-negara Eropa cenderung memberikan semacam legitimasi terhadap aksi self-defense yang dilakukan Israel yang ujungnya adalah justru melakukan pemusnahan secara massal," ungkap Yon.
"Nah ini saya kira yang harus diperhatikan betul-betul tentang peran Indonesia agar kemudian bisa menjadi standar moral pertama, kemudian yang kedua negosiasi pembicaraan dengan negara-negara yang memiliki potensi kuat dalam menyelesaikan ini dalam hal ini adalah Qatar, tentu harus lebih diperkuat agar mediasi itu bisa dilakukan dan tentu juga bisa menghentikan peperangan."